Anda sebelumnya mungkin sudah familier dengan istilah Dr. Google atau menggunakan Google sebagai alat untuk mendiagnosa berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan. Saat ini muncul tren baru yang serupa dengan nama lain, yaitu Dr. TikTok.
Dilansir melalui Katadata.co Indonesia saat ini memiliki peringkat kedua dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, yaitu mencapai 112,97 juta pengguna dan hanya memiliki selisih 3.52 juta pengguna TikTok di Amerika sebagai peringkat pertama. Pengguna TikTok ini juga didominasi oleh Gen Y (Milenials) dan Gen Z. Analisis Media dan Hiburan Kevin Tran melalui Morning Consult menjelaskan bahwa saat ini terdapat hasil penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa Gen Z lebih suka mencari informasi melalui TikTok dibanding di Google. Termasuk kepada informasi terkait penyakit dan masalah kesehatan.
Kemunculan video berisi konten-konten yang menunjukan gejala dari penyakit mental tertentu dapat mendorong penontonnya untuk mendiagnosa diri sendiri.
Misalnya adalah konten “Ciri-ciri kamu terkena bipolar” atau “POV terkena ADHD” atau menunjukan sudut pandang seseorang yang terkena penyakit mental lainnya.
Menurut Konselor Psikologi Chrysan Gomargana, kemunculan konten-konten tersebut menyebabkan dua hal, yang pertama adalah sebagai alat untuk menyebarkan kesadaran (awareness) terhadap isu kesehatan mental, khususnya bagi masyarakat awam. Sedangkan dampak lainnya yang cukup serius adalah menyebabkan munculnya asumsi dalam diri penontonnya yang berakibat pada self-diagnose.
“Konten semacam ini mendukung self-diagnose atau self-labelling ya, orang-orang yang menonton akan berpikir dan merasa relate bahwa saya ini ada mental illness. Meskipun sebenarnya yang punya konten maksudnya mungkin bukan seperti itu.” Ucap Chrysan kepada reporter di Tangerang, Rabu (26/07/2023) lalu.
Self-diagnose terdiri dari 2 kata, yaitu self yang berarti “diri” dan diagnose yang berarti “menentukan suatu penyakit yang diderita dengan meneliti gejala-gejala yang dialami”. Self-diagnose adalah upaya mendiagnosa diri dengan informasi yang didapat secara mandiri berdasarkan sumber tidak resmi atau profesional melalui internet, teman, keluarga atau pengalaman dari masa lalu. Self-diagnose kerap kali dilakukan karena rasa penasaran dengan gejala yang saat ini dialami yang kemudian dibandingkan dengan informasi yang didapat.
Mirisnya Chrysan juga menjelaskan bahwa dirinya pernah menemukan kasus self-diagnose yang menimpa pelajar SMP, bahkan keluarga pasien tersebut sampai merujuknya ke tempat pengobatan religi, yaitu dengan melaksanakan ruqyah.
“Karena dia termakan konten, jadi dia merasa berhalusinasi dan merasa bahwa dirinya memiliki skizofrenia sehingga dia berperilaku seperti orang yang skizofrenia. Tapi, saat kita cek, ngga ada sebenarnya. Dia ini normal dan pada saat itu di usianya dia masih mencari identitas dan jati diri sehingga merasa penyakit tersebut adalah hal yang keren.” Ucap Chrysan di Tangerang, Rabu (26/07/2023).