Hal yang serupa terjadi kepada Erlin, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung menyatakan bahwa dirinya juga pernah mengalami self-diagnose akibat menonton konten TikTok yang menunjukan seseorang terkena depresi, perasaan cemasnya semakin meningkat terlebih saat itu dirinya baru saja putus cinta.
Dirinya kerap mengaitkan berbagai ciri-ciri orang terkena depresi melalui TikTok dengan kondisinya pada saat itu, “Waktu itu gue lagi putus, paling parahnya ya sampe nggak mau tidur dan makan gitu karena gue merasa lagi kena depresi.” Ujar Erlin melalui wawancara Zoom kepada tim kami di Subang, Selasa (25/07/2023).
Dampak berbahaya dari self-diagnose tidak hanya dirasakan oleh dirinya saja melainkan orang lain di sekitarnya, seperti membatasi diri dengan lingkungan, menjadikan penyakit mental sebagai alasan dalam beraktivitas, merugikan orang lain dengan sifat yang dibuat-buatnya, dan lain-lain.
Meningkatnya konten-konten terkait isu kesehatan mental memang memberikan manfaat sebagai sarana edukasi khususnya untuk meningkatkan kesadaran umum penonton, khususnya Gen Z. Akan tetapi, sebagai penonton kita juga perlu untuk selalu waspada terkait konten-konten yang menyesatkan terlebih dapat mengakibatkan self-diagnose.
Saat ini sudah banyak lembaga profesional yang dapat membantu Anda untuk berkonsultasi terkait isu kesehatan mental, seperti Ibunda.id, Yayasan Pulih, Ubah Stigma, atau biro jasa konsultasi dokter lainnya. Jika Anda merasa ada sesuatu yang salah dalam diri Anda, segeralah konsultasikan kepada ahlinya agar tidak menimbulkan diagnosa yang menyesatkan.
Sumber Referensi:
https://www.pramborsfm.com/tech/riset-gen-z-lebih-suka-cari-informasi-di-tiktok-daripada-google/all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H