Schindler’s List adalah film yang dirilis pada tahun 1994 yang diperankan oleh Liam Neeson sebagai tokoh utama Oskar Schindler. Film ini diadaptasi dari sebuah novel yang berjudul Schindler’s Ark karya Thomas Keneally. Film ini memiliki latar belakang waktu yang dimana saat kejadian Holocaust pada saat Perang Dunia II terjadi. Menurut britannica.com, Holocaust adalah saat dimana pembunuhan secara sistematis terjadi yang dilakukan oleh Jerman Nazi dan para kolaboratornya untuk membunuh sebanyak 6 Juta Orang yang beragama Yahudi (Berenbaum, 2021). Intensi awal Schindler saat mempekerjakan Yahudi di pabriknya adalah untuk keuntungan dirinya semata, untuk menekan biaya gaji pekerja pabrik, dengan bantuan manipulasi yang dilakukan oleh Itzhak Stern. Itzhak Stern sendiri adalah seorang Yahudi yang ia percayai untuk urusan segala administrasi dan sebagai Akuntan dirinya, dan untuk membantu mengurus pabrik milik Schindler. Namun, setelah ia melihat bagaimana kejamnya tentara Nazi saat melakukan pembunuhan massal yang dilakukan kepada orang Yahudi dijalanan Ghetto, ia merasakan diri dan hati nuraninya terusik. Dan secara perlahan membuka hatinya untuk Yahudi dan memutuskan untuk menyelamatkan para Yahudi dari kekejaman tentara Nazi dengan membuat list orang Yahudi untuk membeli mereka, dan membawa mereka ke Brunnlitz dan mempekerjakan mereka di pabriknya.
Sumber : Berenbaum, M. (2021, July 1). Holocaust | Definition, Concentration Camps, History, & Facts | Britannica. Retrieved June 22, 2022, from britannica.com website: https://www.britannica.com/event/Holocaust
Oskar Schindler adalah seorang penganut Katolik, namun ia berbohong dan menyogok Nazi untuk mempekerjakan Yahudi dipabriknya. Menyogok adalah perbuatan curang yang termasuk kepada korupsi, dan agama Katolik dalam hal ini menentang korupsi karena disebut sebagai tindakan yang tidak bermoral dan tidak jujur. Berbohong pun bila dilihat dari perspektif Katolik termasuk kepada sebuah pelanggaran yang akan mendatangkan dosa. Karena kebohongan yang dilakukan oleh Schindler ini masuk kepada kebohongan demi kebaikan, maka ia akan dianggap mendapatkan kategori dosa yang ringan.
Sumber: Bolehkah berbohong demi kebaikan? (https://katolisitas.org/bolehkah-berbohong-demi-kebaikan/)
Walaupun tindakan yang ia lakukan menurut agama Kristiani adalah hal yang salah dan mendatangkan dosa, namun saya tidak menganggap tindakannya secara etis salah. Tidak semua orang bisa mengambil tindakan berani yang sama, seperti apa yang dilakukan oleh Schindler. Ia memperlakukan orang Yahudi lebih baik daripada tentara Nazi yang menganggap seolah-oleh orang Yahudi tidak memiliki martabat manusia. Ia berusaha untuk menghentikan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Nazi dengan cara berbohong dan menyogok. Jadi, tindakan Oskar Schindler ini secara etis lebih baik daripada tentara Nazi yang melakukan kekejaman dan pembunuhan kepada orang Yahudi. Yang dimana secara etika universal, tindakan kejam dan membunuh adalah salah secara etis dan melanggar hukum Hak Asasi Manusia dunia modern.
Tindakan yang dilakukan oleh Schindler sebagai seorang katolik dapat dilihat dalam sudut pandang meta-etika. Yang dimana meta-etika ini mempersoalkan tentang objektivitas dari moral itu sendiri. Hal ini berbicara tentang standar moral yang berbeda disetiap kelompok dan budaya masyarakat yang berbeda. Apa dasar moral yang dapat membenarkan tindakan Oskar Schindler dalam membantu Yahudi? Pada dasarnya semua manusia mengetahui perbedaan antara tindakan baik dan buruk menurut pengalaman, pengetahuan dan lingkungan diri sendiri. Ia pun secara sadar juga memiliki pilihan untuk melakukan tindakan kebajikan atau keburukan. Maka, dalam meta etika, kita dapat merefleksikan secara kritis tentang relativitas moralitas. Jadi, etika normatif manakah yang dapat membenarkan hal yang dipersoalkan dalam film ini?
Dasar moral yang dapat membenarkan tindakan Oskar Schindler ini adalah etika Utilitarianisme, yang dimana mengusahakan kebahagian dan keuntungan kepada sebanyak mungkin orang. Etika Utilitarianisme ini masuk kedalam perspektif etika teori Teleological atau Konsekuensialis dalam penalaran moral. Teori Teleological atau Konsekuensialis memiliki gagasan bahwa keputusan benar secara etis adalah keputusan yang menghasilkan konsekuensi terbaik untuk sejumlah besar orang.
Didalam hal ini, kewajiban Schindler sebagai umat kristiani yang diperintahkan untuk tidak berbohong dan menyogok dipertaruhkan. Ia memilih untuk berbohong dan menyogok Nazi demi menyelamatkan banyak orang Yahudi, dan tindakannya ini mendatangkan dosa kepada dirinya dan merupakan tindakan seorang utilitarian sejati.
Schindler beruntung saat mengambil keputusan, karena keputusan memang benar mendatangkan konsekuensi yang baik. Orang-orang Yahudi yang ia beli untuk diselamatkan, pada akhirnya benar-benar selamat. Tindakannya pun mendatangkan penghargaan kepada dirinya sendiri sebagai ”Righteous Among the Nations” dan ia dibebaskan dari hukuman mati yang diperuntukkan kepada anggota Nazi. Etika Utilitarianisme ini tidak begitu peduli pada niatan, keputusan atau tindakan yang dilakukan ini benar atau tidak, yang penting adalah hasil atau konsekuensinya mendatangkan hal yang terbaik bagi semua orang. Jadi, etika Utilitarian ini menjustifikasikan tindakan yang dilakukan oleh Schindler, dianggap benar karena menghasilkan konsekuensi terbaik. Namun, tindakannya itu telah menjadikan nilai moral menjadi relatif, yang dimana berbohong dan menyogok dianggap diperbolehkan, bila untuk berniat baik atau menghasilkan konsekuensi yang baik.
Apakah etika deontologis (non-konsekuensialis) cocok untuk menilai tindakan Schindler (menyogok tapi menyelamatkan)?
Etika Deontologis yang dipelopori oleh Immanuel Kant, berarti bertindak berdasarkan prinsip atau menurut kewajiban moral universal tertentu, tanpa memperhatikan konsekuensi baik atau buruk dari tindakan mereka. Hal ini yang berarti sangat bertolak belakang dengan etika Utilitarianisme yang sebelumnya sudah ada. Teori Deontologis terkadang disebut sebagai ’absolutis’, yang dimana merupakan sebuah kewajiban dan keharusan untuk mengikuti dan mematuhi segala aturan, serta larangan dengan konsekuensi apapun. Etika ini selalu mewajibkan kita untuk melakukan kewajiban moral.
Dalam etika deontologis ada yang bernama prinsip rasionalitas moral dasar, yang dimana kesadaran dan tindakan perseorangan bisa dilihat oleh orang lain dan dinilai baik atau buruk, juga benar atau salahnya. Jadi, tindakan dapat dikatakan benar, bila hal tersebut didasarkan kepada prinsip moral yang disetujui oleh lingkungan dan pandangan masyarakat.
Ada kesulitan yang dihadapi oleh etika Deontologi ketika menghadapi suatu persoalan, yaitu saat kita dihadapi oleh persoalan yang dilematis, seperti apa yang dihadapi oleh Schindler. Disebut dilematis, karena ia diharuskan untuk memilih, bersikap diam untuk mendukung Nazi terhadap pembantaian orang Yahudi, atau bergerak untuk menyelamatkan mereka semua yang dibantai oleh Nazi. Kedua pilihan ini memiliki residu moral, yang bila ia memilih bersikap diam, dia akan mendapatkan residu moral komponen eksperensial (rasa tidak nyaman dan bersalah karena membiarkan pembantaian itu terus terjadi tanpa usaha apapun). Dan bila ia membantu para kaum Yahudi, yang benar-benar ia lakukan di dalam film, ia akan mendapatkan residu moral komponen kognitif (ia harus bertanggung jawab atas pilihannya, memberi penghidupan yang layak kepada kaum Yahudi yang bawa, dan jika ia ketawan menolong kaum Yahudi, ia akan dihukum karena akan dianggap mengkhianati Nazi).
Namun, persoalan dilematis ini dapat dipecahkan oleh W.D Ross dengan mengajukan prinsip prima facie. Prinsip ini lahir dikarenakan Ross memiliki gagasan bahwa kita dapat menghadapi berbagai macam kewajiban moral, bahkan secara bersamaan. Dalam situasi yang dilematis ini, kita perlu untuk menemukan kewajiban terbesar untuk dipilih dengan membuat perbandingan dengan pilihan kewajiban yang lainnya. Jadi, prinsip ini mengatakan bahwa etika Deontologi mengharuskan kita untuk melakukan kewajiban pertama bila tidak ada kewajiban lain yang lebih penting untuk dipertimbangkan. Namun, jika ada kewajiban yang lebih penting bila dibandingkan dengan kewajiban pertama, maka kita bisa memilih untuk mengabaikan kewajiban pertama.
Beberapa kewajiban prima facie diantaranya adalah fidelity (menepati janji), reparation (memperbaiki tindakan yang salah), gratitude (rasa syukur), non-injury/non-maleficence (tidak menyakiti orang lain, secara fisik atau psikologis), harm-prevention (mencegah melukai), dan beneficence (kewajiban untuk berperilaku baik), self-improvement (mengembangkan diri), justice (bersikap adil, mendistribusikan manfaat dan beban secara adil) (Garrett, 2004).
Sumber: Garrett, Dr. J. (2004, August 10). A Simple Ethical Theory Based on W. D. Ross. People.Wku.Edu. https://people.wku.edu/jan.garrett/ethics/rossethc.htm
Pada kasus yang dialami oleh Oskar Schindler didalam film ini, memilih untuk berbohong dan menyogok untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kekejaman Nazi adalah bentuk dari beberapa kewajiban prima facie yang seharusnya dilebih dahulukan dibanding kewajiban lainnya. Kewajiban prima facie yang telah didahulukan oleh Schindler ini adalah: reparation, harm-prevention, dan beneficence. Sehingga kewajiban untuk berperilaku dan berkata jujur serta tak menyogok bisa dikesampingkan karena adanya kewajiban yang lebih penting untuk dilakukan oleh Oskar Schindler. Prinsip kewajiban prima facie ini pada akhirnya memberikan justifikasi etika Deontologis dalam menilai tindakan yang diambil oleh Oskar Schindler.
Essay ini dibuat untuk memenuhi kewajiban saya mengerjakan tugas Proyek Modul 4 mata kuliah ETIKA / PJJ Ilmu Komunikasi 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H