Tau ga sih kalau misalnya jurnalis jaman sekarang udah kayak detektif loh! Eits tapi bukan seorang mencari penjahat ya.
Apakah kalian pernah mendengar tentang banjir informasi? Kalau belum, banjir informasi merupakan banyaknya informasi yang diterima oleh masyarakat melalui media sosial atau media berbasis internet. Adanya banjir informasi dapat membawa dampak negatif karena terdapat berita yang belum diketahui kebenarannya dan dapat dikatakan sebagai berita bohong atau hoax. Hal tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia namun terjadi secara global. UNESCOÂ menyadari bahwa pengecekan fakta merupakan "keterampilan abad ke-21" yang diperlukan.
Terdapat dua jejak historis yang menyebutkan awal kemunculan yang menjadi titik tolak perkembangan jurnalisme pengecekan fakta. Awalnya muncul fenomena "jurnalisme contong" ("muckracking journalism") pada awal abad ke-20 yang berarti jurnalisme mendalam untuk mengulas pemberitaan kontroversial dengan menggunakan laporan investigasi. Terdapat sumber lain yang menyebutkan bahwa praktik jurnalisme ini berkembang sejak era Ad-Watch Advertising yang mengaburkan wilayah jurnalisme dengan kampanye politik (Nurlatifah, 2019). Adanya jejak jurnalisme memberikan gambaran tentang proses pengecekan fakta melalui proses verifikasi dari berbagai data dan sumber informasi.
Pada tahun 2017, Duke Reporters Lab menghitung terdapat sebanyak 114 tim pemeriksa fakta aktif (Brandtzaeg and Folstad, 2017). Layanan pengecekan fakta merupakan individu atau organisasi yang menganalisis dan menentukan keakuratan klaim dan konten di domain publik dan memberi tahu pengguna tentang kredibilitas konten online. Pada skala global terdapat StopFake, FactCheck.org, Snopes, dan Google News yang menjadi layanan pengecekan fakta dengan menyediakan analisis dan penilaian klaim dan konten di domain publik.
Di Indonesia ada dua kategori organisasi pemeriksa data sampai saat ini. Kategori pertama merupakan organisasi media yang melakukan pemeriksaan fakta dengan menyediakan kanal khusus untuk fact- checking journalism, misalnya Tirto.id, Liputan6.com, Tempo.co yang sudah disetujui oleh International Fact Checking Network (IFCN). Lalu terdapat kategori kedua merupakan organisasi sosiasi, baik dari media maupun non media, misalnya CekFakta.com. Hadirnya CekFakta.com berkat kerja sama Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan 22 media publikasi.
Fenomena jurnalisme pengecekan fakta yang berkembang di Indonesia merupakan manifestasi dari organisasi hipermedia (Nurlatifah, 2019). Selain memberikan informasi yang akurat, jurnalisme pengecekan fakta juga melibatkan masyarakat dalam proses verifikasi informasi yang berlangsung. Terdapat pengguna yang merupakan pengakses, pembaca, dan penilai di dalam aplikasi digital yang menjadi ekosistem untuk menjembatani publik dan jurnalis. Tidak hanya sebaagai watchdog, platform informasi, edukasi, dan sebagainya, tetapi sistem media juga dibangun untuk mengembangkan dan memfasilitasi kecerdasan manusia.
Faktualitas dan verifikasi informasi pada platform jurnalisme merupakan jantung jurnalisme. Menurut kode etik jurnalistik Pasal 4, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul sehingga jurnalis berkomitmen tinggi pada kebenaran. Kebenaran merupakan tujuan dari faktualitas. Melaporkan peristiwa yang sesuai dengan kejadian lapangan sehingga pembaca dapat memahami kronologi suatu peristiwa secara benar dan sistematis. Salah satu prinsip jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Adanya disiplin verifikasi membedakan jurnalisme dengan bentuk- bentuk komunikasi yang lain (Ishwara, 2005).
Seiring berjalannya waktu, pengecekan fakta bukan hanya sekedar aktivitas jurnalisme pada media digital, namun mendorong jurnalisme pengecekan fakta menjadi salah satu bentuk jurnalisme baru dalam jurnalisme digital. Jurnalisme pengecekan fakta bukanlah isu baru dalam perkembangan jurnalisme. Setiap proses jurnalisme pada dasarnya membutuhkan pengecekan fakta dan tetap berpegang pada nilai- nilai jurnalisme.
cek fakta liputan6.
Liputan6 menyadari bahwa untuk memerangi hoaks tidak bisa dilakukan sendiri oleh para jurnalis. Dengan memberikan literasi pada masyarakat luas, perang melawan hoaks dapat dilakukan secara masih dan lebih efektif. Liputan6 juga bekerja sama dengan semua pihak yang memiliki komitmen untuk memerangi hoaks. Pada Juli 2018, Cek Fakta Liputan6 bergabung dalam Jaringan Periksa Fakta Internasional atau IFCN dan Facebook. Selain itu juga bekerja sama dengan Google News Initiative dan 24 media nasional dalam CekFakta.com. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dengan mengirimkan email keTerdapat lima kategori penilaian yang digunakan
- Benar: klaim terbukti akurat dengan didukung bukti yang dapat dipertanggungjawabkan
- Klarifikasi: berisi klarifikasi oleh pihak terkait atas klaim tertentu
- Disinformasi: klaim didasari fakta atau data yang benar, namun disertai narasi yang keliru
- Salah: klaim tidak didasari bukti yang dapat dipertanggungjawabkan
- Hoaks: sama sekali tidak didasari oleh bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, klaim terindikasi sengaja dibuat oleh pihak tertentu untuk mencapai tujuan tertentu
Sabtu, 25 Oktober 2020, saya berkesempatan mewawancarai seorang  Jurnalis Liputan6.com, Adyaksa Vidi. Nah, Kak Vidi sendiri sudah bekerja selama enam tahun di Liputan.com sebagai jurnalis. Sejak empat bulan belakangan, Kak Vidi mulai menulis untuk Cek Fakta Liputan6.com. Setiap harinya Kak Vidi menulis empat berita untuk cek fakta. Selain Kak Vidi, ada lima orang lainnya yang bekerja untuk bagian cek fakta.
"Sebenarnya untuk cek fakta sendiri memang sudah menjadi bagian dari kerja jurnalistik. Apapun yang kita tulis harus berdasarkan fakta, tetapi sekarang memang cek fakta diberikan porsi khusus mengingat banyaknya hoaks yang beredar di masyarakat" ujar Kak Vidi. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, prinsip seorang jurnalis adalah menulis berdasarkan fakta. Liputan6 memberikan peluang bagi jurnalisme pengecekan fakta sejak tahun 2018 untuk menyajikan artikel verifikasi atas klaim-klaim tertentu secara lebih sistematis dan terstruktur.
"Untuk hoaks dalam negeri kita minta konfirmasi atau verifikasi ke minimal dua narasumber yang bersangkutan jika memungkinkan. Tetapi jika hoaks berupa gambar atau video maka bisa menggunakan beberapa metode pencarian fakta seperti memakan Google Reverse Image atau Yandex. Sementara untuk hoaks luar nereri biasanya kita memakai sumber dari organisasi cek fakta luar negeri seperti AFP, Reuters, BBC atau Snopes" ujar kak Vidi. Cara yang dipaparkan Kak Vidi tidak jauh berbeda dengan metode dari Cek Fakta Liputan6.com, yaitu pemilihan klaim yang akan diverifikasi dan riset.
Menurut Kak Vidi, lumayan susah untuk mencari fakta karena banyaknya hoaks yang beredar sehingga tidak dapat langsung di bantah saat ada hoaks. Cek fakta di Liputan6 tidak menuntut kecepatan karena satu isu di cek fakta lebih didalami. Walaupun berita itu sudah menjadi 'basi' tetap akan diverifikasi. Hoaks akan semakin viral jika didiamkan sehinggalebih baik telat daripada tidak sama sekali.
Salah satu berita yang sulit untuk diverifikasi menurut Kak Vidi adalah soal vaksin COVID-19 disebut haram. Tim cek fakta harus mengkonfirmasi ke MUI dan yang berwenang. Cukup sulit untuk mencari kontak dan menghubungi sehingga terkendala di waktu.
Nah jadi gimana? Kira-kira tertarik gak untuk terjun ke dalam dunia jurnalisme pengecekan fakta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H