Waktu seakan berhenti. Rasanya jantungku juga sempat berhenti berdetak untuk sementara waktu. Rasanya kepalaku menjadi sangat panas, dan air mata mulai berlinang di ujung pelupuk mata. "Ini tidak mungkin kan? Lia...Lianna?" Lianna tidak mendengar dan tidak menjawab. Hanya ada hening yang berdenting memenuhi ruangan. "Kumohon...jawab aku Lianna, Lianna, Lianna, Lianna, LIANNAA!!!!!"
Serentak aku pun terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh dan aku memandang kedua tanganku yang bergetar. Ternyata tadi hanyalah mimpi buruk, tapi kenapa terasa begitu nyata? Aku memandang sekitar lalu menatap adikku yang tertidur di sebelahku dengan tatapan sedalam-dalamnya. "Lianna", ucapku sedikit lantang sampai adikku terbangun. Adikku yang masih setengah sadar terbangun lalu bergumam. "Hmmm, kenapa sih Kak?"
Sekarang adikku sudah bangun. Aku bingung harus berkata apa. Kira-kira apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus berdamai dengannya karena dia adikku yang tidak bersalah, atau membunuhnya karena dia sudah membuat hidupku tidak tenang?
Pilihanmu yang memutuskan untuk berdamai dengan adikmu :
Aku pun langsung memeluknya erat lalu menangis sejadi-jadinya "Lia, ma...maafkan kakak ya...Selama ini, kakak benci sama kamu padahal kamu gak ada salah sama kakak...ma..maaf ya Lia" Adikku heran melihat diriku yang jarang menangis, tapi ia pun memelukku juga dengan erat lalu tersenyum dengan begitu hangat.
Sejak malam itu aku bisa tidur dengan nyenyak
Pilihanmu yang memutuskan untuk membunuh adikmu :
Lantas, aku mencekik lehernya dengat amat erat lalu menatapnya dengan kedua mataku yang merah. "Lianna, lu bikin gue bener-bener GILA tau gak?! Mau di mimpi kek, di dunia nyata kek, Lu gak pernah tau dan gak mau pernah tau soal GUE yang selalu BERKORBAN buat LU! Sekarang, lu harus MATI ya, capek tau, CAPEK liat kamu tuh, MUAK!!!" teriakku sambil mengeluarkan air mata. Lianna yang shock tidak bisa berkata apa-apa. Mukanya mulai ungu dan mulutnya mulai mengeluarkan busa. Setelah beberapa lama aku mencekiknya, akhirnya Lianna menghembuskan napas terakhirnya. Karena aku tidak ingin tertangkap basah, aku bungkus jasadnya, lalu menguburnya sangaaat dalam di halaman rumahku. Sekarang tidak ada siapa pun yang akan tau. Dan benar saja, 2 hari kemudian ibuku yang mengetahui keberadaan adikku hilang, menelpon polisi untuk segera mencarinya. Untungnya meski polisi mencari kesana-sini, mereka tidak bisa menemukan adikku karena aku sudah membereskannya dengan begitu rapih dan apik. Bahkan, ketika aku diwawancara, polisi juga tidak curiga padaku karena aku bisa menangis tersedu-sedu berpura-peru bersedih akan kehilangan adikku. Sejak saat itu, adikku tidak ada lagi di dunia ini dan ibuku mengalami depresi berat yang berkepanjangan. Ibu meninggal dunia karena ia tidak makan selama berbulan-bulan dan kekurangan gizi.
Aku yang sekarang tidak mempunyai ibu, ayah, atau adik, dirawat oleh pamanku dan aku pun mulai bersekolah lagi seperti normal tanpa ada yang mengetahui perbuatan keji yang sudah kuperbuat. Bertahun-tahun aku menjalani hari dengan hati yang hampa dan teramat kosong melompong. Semuanya berjalan dengan normal, tapi rasanya ada rasa pilu yang sangat mendalam dalam diriku. "Aneh" pikirku ketika aku berada di atas kasur kamar tidur. Tiba-tiba air mataku mengalir deras tanpa kuketahui. Aku pun bangun, menuju ke meja kerja untuk membuka laci, lalu aku melihat sebuah tali yang tebal dan cukup panjang. Kemudian aku mengambilnya, menggantungkannya di layang-layang kamar, lalu mengikatnya ke leherku. Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H