Pagi hari ini tidak secerah hari biasanya, awan mendung disertai dengan rintik-rintik hujan. Namun waktu akan terus berputar bukan? Yah! Tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, aku harus bergegas pergi kerja, yang jarak tempuh rumah dengan kantor ku sekisaran 2km. Jalan yang ku lalui setiap harinya yaitu bawah jembatan flyofer. Pemandangan yang selalu tersuguh dihadapan ku setiap paginya adalah anak-anak kecil yang masih tidur beralaskan karton bekas bersama orangtuanya.  Begitu pula ketika sore harinya aku pulang, aku melihat mereka sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang mungkin sudah mereka cari selama satu hari.Â
     Namun ada hal yang menarik, satu waktu ketika aku libur bekerja, aku melihat mereka sedang belajar beramai-ramai dan ada seorang gadis muda yang mungkin masih duduk dibangku kuliah mengajari mereka. Mengandalkan alat yang seadanya, sebuah papan tulis kecil dan alat tulisnya, ia mengajari anak-anak itu berhitung dan membaca. Selesainya ia mengajar, aku menemui gadis itu. Aku banyak berbincang dengannya, aku menanyakan nama nya, kegiatannya dan keluarganya. Benar saja, ia adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negri yang saat ini sedang menjalani semester 6 di perkuliahannya, ia bernama Rani. Dia berasal dari keluarga yang lumayan secara finansial, ayah nya seorang pengusaha dan ibu nya seorang dokter.Â
     Aku bertanya mengapa ia mau mengajar anak-anak pinggiran itu? Dia hanya menjawab dengan satu kalimat yang menurut ku sangat menohok hati ku "anak pinggiran juga manusia". Dia banyak mengeluarkan keluh kesahnya kepada ku terhadap pemerintah yang kurang memperhatikan kelayakan anak pinggiran, mulai dari kesehatan, tempat tinggal bahkan pendidikan mereka. Ia mengatakan, pendidikan adalah modal mereka di masa depan, ia tidak ingin anak-anak itu tumbuh menjadi anak-anak yang bodoh, ia tidak ingin anak-anak itu akan terus menikmati kemiskinan itu dari lahir sampai matinya nanti.
     Dia berkata dengan caranya ini, ia mau orang-orang lebih memperhatikan anak pinggiran, mereka juga memiliki masa depan toh? Mereka juga pasti ingin merubah nasib mereka dan keluarganya. Maka dari itu Rani ingin berbagi sedikit apa yang dia punya kepada anak-anak itu agar kelak anak-anak itu mengerti bahwa pendidikan adalah jalan mereka keluar dari kemiskinan itu. Selama perbincangan kami yang cukup lama itu, aku sangat takjub melihat semangatnya, bahkan diriku yang setiap hari berada tidak jauh dari mereka tidak pernah memikirkan sampai kepada hal itu. Aku hanya memikirkan diri ku, bagaimana aku bisa dan mampu. Padahal mereka juga penerus bangsa, bangsa ini ada ditangan mereka dikemudian hari nanti. Jadi bagaimana nasib bangsa ini kalau memiliki anak-anak yang bodoh?Â
     Aku sangat bersyukur bertemu dengan Rani sosok yang menginspirasi ku untuk selalu  berbagi. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Mulai hari itu, aku memutuskan untuk mengajari anak-anak itu di waktu luang ku, aku belajar banyak dari mereka, aku belajar arti bahagia disaat aku tidak memiliki uang sekalipun. Aku belajar menghargai waktu dan memanfaatkanya sebaik mungkin. Dan aku sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan anak pinggiran, mereka juga manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H