Mohon tunggu...
Angdrico
Angdrico Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia.

A lifetime learner. Staying at Bandung, studying at ITB. 082118040289

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Kampus Merdeka", Hmmm Begini, Mas Nadiem...

29 Januari 2020   00:44 Diperbarui: 29 Januari 2020   15:35 6665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ketika menjelaskan Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Jumat (24/1/2020). (Foto: Humas Kemendikbud via KOMPAS.id)

Sebuah opini.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim kembali mengusung gebrakan baru dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya dunia perkuliahan. 

Setelah kebijakan "Merdeka Belajar", menjadikan UN 2020 sebagai Ujian Nasional terakhir dan menggantinya dengan so-called-asesmen, menjalin kerjasama dengan Netflix, baru-baru ini Nadiem Makarim kembali mengeluarkan gebrakan baru, yaitu program "Kampus Merdeka".

Apa itu Kampus Merdeka?

Kampus Merdeka adalah sebuah rombakan dalam dunia perkuliahan, di mana bagi kampus, diperbolehkan untuk membuka prodi baru apabila kampus tersebut terakreditasi A atau B. Lalu bagi mahasiswa, jumlah SKS yang wajib diambil oleh seorang mahasiswa akan dikurangi.

Mahasiswa nantinya hanya diwajibkan untuk berkuliah sebanyak 5 semester dari total 8 semester, kemudian kampus wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak 2 semester (setara 40 SKS).

Entah itu magang, pengabdian masyarakat, pertukaran pelajar, riset, maupun menjadi pengajar di daerah-daerah terpencil. Lalu, mahasiswa juga boleh mengambil SKS di prodi yang berbeda namun masih di dalam kampus yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20 SKS).  Tapi, ini tidak wajib yaa, jika kalian mau kuliah selama 8 semester juga boleh.

Sampai sini aman-aman saja kan? Yang memang ingin lebih mendalami bidang yang sedang dikuliahi tidak perlu mengambil jalur yang Nadiem tawarkan saat ini, jika ingin mencoba-coba merasakan rasanya berkulian di prodi lain serta melakukan proyek kecil-kecilan saat kuliah dan terhitung ke dalam SKS, why not?

(via monitor.co.id)
(via monitor.co.id)

Saya pribadi sempat heran, kenapa gebrakan dari pendiri startup GoJek ini banyak ditentang. Wong bapake hanya menawarkan opsi lain, kok. Bagi Anda yang ingin "mengabdi" di kampus selama 8 semester, silakan. Tidak ada larangannya.

Anda yang "merasa" salah jurusan, ingin meng-explore diri dengan berbagai kegiatan seperti mengajar di daerah terpencil, kegiatan kewirausahaan, selamat! Nadiem is at your back. 

Namun yang sedikit kurang saya setuju dari pernyataan Mas Nadiem adalah (opini lho yaa, hehe) latar belakang dan tujuan sang Mendikbud memberlakukan kebijakan ini, yaitu demi memberikan pengalaman dunia kerja kepada mahasiswa.

Kenapa saya kurang setuju? Well, begini. Sebuah program studi S-1 telah merancang kurikulumnya sedemikian rupa sehingga output yang diharapkan adalah seorang profesional yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Inilah yang membedakan program sarjana dengan diploma. Lulusan diploma itu diharapkan mampu mengembangkan keterampilan dan penalarannya dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bisa dibilang secara garis besar, sarjana unggul dalam hal teori, namun secara praktik, belum tentu sih diploma lebih unggul, namun sarjana sudah pasti lebih mantap dalam hal ilmu pengetahuan dan teorinya.

Kembali lagi ke pembahasan tentang program studi S-1, kampus sudah menyusun kurikulum dari sebuah disiplin ilmu ke dalam 144 SKS (umumnya) yang akan diselesaikan dalam 8 semester. Sehingga apabila mahasiswa tersebut belum menyelesaikan ke-144 SKS dalam prodinya, di atas kertas mahasiswa tersebut belum dianggap capable enough.

Dalam perkuliahan pun mahasiswa diberi tahapan-tahapan dalam pembelajarannya. Semester 1 dan 2 masih dalam tahap pembekalan agar kemampuan dasar mahasiswa itu cukup untuk menghadapi materi-materi di prodinya masing masing. Semester 3 dan 4 materi mulai menjorok ke arah prodi.

Semester 5 dan 6 kita sudah diberikan materi advance di disiplin ilmu tersebut hingga akhirnya, semester 7 dan 8 yang mempersiapkan kita masuk ke dunia kerja, mempersiapkan kita untuk menjadi seorang sarjana.

(Shutterstock via KOMPAS.com)
(Shutterstock via KOMPAS.com)
Masalahnya adalah, apakah mahasiswa semester 5 itu pantas diberi hak seperti itu? I mean, kalian hanya cukup berkuliah selama 5 semester di prodi tersebut, sisanya kalian bebas menentukan mau ngapain, bahkan kalian bisa mengambil jalur yang tidak ada hubungannya dengan prodi kalian.

Lalu kalian akan diwisuda dengan gelar sarjana prodi tersebut, padahal kalian baru berkuliah 5 semester! D-3 saja lebih lama berkuliah daripada Anda (maaf, tidak bermaksud mendiskreditkan diploma, kok).

Pengalaman apa yang Mas Nadiem inginkan dari mahasiswa semester 5? Apalagi di ITB, Pak. Semester 1 dan 2 kami habiskan bersama Matematika Dasar, Fisika, Kimia, bahkan Olahraga, belum menjadi mahasiswa prodi manapun.

Kami sedang menjalani program Tahap Persiapan Bersama. Hanya sekitar 2-4 SKS yang ada hubungannya dengan prodi kami, yaah sedikit berhubungan sih.

Kami "dipaksa" untuk menelan seluruh materi sarjana prodi kami masing-masing dalam waktu 3 tahun! Apalagi prodi manajemen dan kewirausahaan ITB, hanya 2 tahun apabila dikurangi TPB!

Kalau dari sudut pandang mahasiswa, diberikan opsi seperti ini yaa sah-sah saja bagi mereka. Mereka yang ingin menekuni bidangnya, sudah kepikiran mau jadi dosen A sejak masih TK, ya bakal bersikap bodo amat akan hal ini.

Mereka yang sudah penat berkuliah, malas-malasan, merasa salah jurusan, yang-penting-lulus-living, pasti melihat ini bagaikan oase di tengah gurun (lebay).

"Ngajar di kampung halaman, terus ngambil 1 semester di prodi A, udah deh lulus gua! Bye bye kampus". Dan berbagai macam watak mahasiswa yang tidak mungkin saya tulis di sini.

Tapi kalau dari sudut pandang sebagai Mendikbud (kok udah kaya Surat Cinta untuk Nadiem yak wkwk), saya hanya menakutkan objektif Mas tidak tercapai dalam program ini, lho.

Mahasiswa belum berpikir for the sake of Indonesia's education, Mas. Yang penting mah lulus, nyari kerja, kaya raya, udah. Saya tau ini semua Anda lakukan demi pendidikan Indonesia, saya tahu Anda ingin menjadikan kami sarjana yang lebih terampil dan siap bersaing di dunia kerja dan kalimat-kalimat klise lainnya.

Tapi, ya seperti yang saya katakan di atas, mungkin harus ada sistem yang mengatur ini semua sehingga kegiatan ini lebih tepat sasaran, Mas. Sarjana tidak cukup belajar 5 semester dalam prodinya, mau nyari pengalaman kerja ya ilmunya juga nanggung. Saya yakin, idealnya nih, pasti mahasiswa enggan mengambil kesempatan magang di semester 5 itu, idealnya yaah.

"Aku belum bisa apa-apa loh. Ilmuku baru dikit banget di bidang ini. Entar kalau aku magang, aku gabakal ikut kuliah materi-materi advance yang selanjutnya, dong. Nanti kalau magang pasti mereka masih memberi program magang yang bukan untuk expertise, kan ilmuku masih sedikit."

Itu dia, Mas. Program magang di semester 5 dan 6 ini belum setara dengan materi-materi yang akan diajarkan pada semester 6 atau 7 nanti (kecuali pertukaran pelajar loh ya), Mas Nadiem sempat menyebutkan hal itu, ya ndak apa-apa.

Hanya berpindah kampus, paling ada sedikit perbedaan kualitas. tapi kalau mengajar di daerah terpencil? Iya bagus sih, tapi apa setara dengan berkuliah? Apalagi di semester 6 dan 7 tuh, waktu di mana frekuensi doa seorang mahasiswa lagi tinggi-tingginya hehe.

Semangat, Mas Nadiem. Saya pernah terpikir saat sedang "duduk" di kamar mandi, saat saya sedang mencalonkan diri sebagai ketua di salah satu organisasi kebudayaan di kampus saya.

"Gak semua gebrakan itu bagus, bro. Belum tentu ketika lo membawa hal baru atau perubahan atau apapunlah itu, lo sudah mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Yang harus lo pikir, bukan gebrak-gebruknya, tapi apa yang lo hasilin setelah gebrak-gebruk itu.

Change your mindset to catch the attention not by the differences you make, but from the output that your differences made. Bukan dari hal unik dan baru yang kita buat, tapi dari apa yang hal unik dan menarik itu bisa perbuat. Hehe,"

P.S. Tulisan ini bukan dibuat oleh si mahasiswa yang rajin berkuliah dan ingin mendalami bidangnya sedalam-dalamnya samudra, kok. Penulis cuma pengen lulus, doain yah hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun