Pada tahun 2006 lalu - saat pertama kali menjejakkan kaki di ibu kota ini - melihat sendiri situasi lalu lintas Jakarta menjadi hal yang benar-benar menarik. Apa yang sebelumnya hanya saya lihat dari layar TV, benar-benar nyata. Bermacam-macam kendaraan bermotor, mobil-mobil mewah, bus Transjakarta yang berwarna mencolok, bus metromini yang jalannya limbung seperti orang mabuk, serta sepeda motor yang berseliweran membuat jalurnya sendiri, benar-benar ada.
Semula, mengendarai mobil atau sepeda motor di Jakarta, merupakan hal yang benar-benar mengerikan. Walau jalanan banyak yang lebar, luas, dan 'indah' [ dibandingkan jalan di kota asal saya] tetapi perilaku para pengguna jalan benar-benar mengerikan. Seolah jalan raya ibu kota itu menjadi BELANTARA KENDARAAN yang mengusung aturan dasar "Yang kuat, [baca: Yang cepat], akan Menang [baca: akan sampai duluan]". Dan jika saya perhatikan, mungkin sebagian besar pengendara kendaraan bermotor di Jakarta ini, pasti tidak akan lulus ujian SIM jika dilihat dari cara berkendara mereka. Tapi, kembali lagi, di Hutan Kendaraan di Ibu Kota ini, bukan peraturan itu yang laku.
Kini tahun 2014. Apa yang saya lihat di jalanan ibu kota kita ini masih juga sama seperti keadaan 8 tahun silam. Trotoar tidak menjadi surga para pejalan kaki, tetapi justru tempat yang paling mengerikan bagi pejalan kaki. Zebra cross, tidak lain dari 'sekedar' garis putih di jalanan yang entah apakah masih ada fungsinya masih bisa dikenali. Dan, lampu lalu-lintas, yang berwarna merah, kuning dan hijau, mungkin telah menjelma menjadi hiasan persimpangan jalan. Tempat menggantung dagangan para pengasong, atau tempat menempel stiker kampanye atau iklan. Tingkah laku para pengendara kendaraan tetaplah 'liar' dengan mengusung hukum Rimba Kendaraan. Situasi yang nyaris membuat saya berpikir: "Ya, sudahlah. Bodoh amat. Yang penting saya bisa pergi-pulang dengan selamat. Tidak perlu mimpi aneh-aneh." Yah, pikiran orang putus asa, dan menyerah pada situasi.
Tetapi, pikiran saya seperti berubah, setelah melihat satu hal yang sebenarnya sudah tiap hari saya jumpai tapi luput dari perhatian saya. Hal tersebut justru saya sadari ketika, berhenti di persimpangan lampu merah - saya yang membiasakan diri berhenti di belakang garis batas - melihat ada juga pengendara sepeda motor yang juga melakukan hal yang sama. Yang dengan sabar menunggu lampu hijau dengan tetap mematuhi aturan yang ada. Memang jumlahnya tidak sebanding dengan sesama pengendara yang berhenti hampir di tengah persimpangan. Tetapi bagi saya perilaku orang-orang yang tetap mencoba taat pada garis batas, seperti membangkitkan harapan saya. Harapan bahwa, lalu lintas ibu kota yang tertib, teratur dan tidak semrawut bisa terwujud.
Dari pengalaman di persimpangan lampu merah itu saya juga tersadar bahwa, masih ada orang yang mencoba taat pada peraturan dan tidak mudah terbawa arus. Bahwa masih ada orang yang peduli dengan orang lain. Bahwa, kepribadian seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh bagusnya kendaraan mereka, tetapi dari wawasan mereka akan berlalu-lintas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H