Mohon tunggu...
Angabei Purwa S.
Angabei Purwa S. Mohon Tunggu... -

Seorang pencicip hujan, Penghirup udara, Perasa suara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revolusi Mental, Se-Revolusioner Apa?

23 Oktober 2014   20:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:58 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini hanya persembahan untuk mengetahui kenapa harus revolusi mental, dan tolak ukur-nya.

Menyinggung sedikit masalah belum lama ini, di mana beberapa tokoh di sosial media, tak henti hentinya mengajak teman temanya yang datang ke syukuran rakyat kemarin senin, untuk tak membuang sampah tidak pada tempatnya. Namun, yang terjadi adalah sampah di-mana mana, taman rusak seada-adanya. Pihak penyinyir bilang "kaya gini nih Revolusi mental".

Jika dijawab dengan sederhana, maka jawaban sederhananya adalah tidak mungkin sebuah revolusi akan terjadi dalam hitungan jam, hari, bahkan minggu. Bahkan seorang alim seperti Kiyai, Pastur, Biksu-pun tak akan mampu mengubah sikap manusia menjadi baik secepat itu.

Kita perlu ketahui alasan dibalik keperluan dua kata tersebut muncul. Dalam artikelnya pada Kompas, mei 2015 sebelum menjadi Presiden tentunya, Bpk Jokowi menekankan Indonesia kini telah terlalu liberalis, yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya dan karakter bangsa. Kini, saatnya mencanangkan Revolusi Mental dengan menciptakan paradigma, budaya politik dan pendekatan Nation Buliding yang baru, lebih manusiawi dan sesuai dengan budaya nusantara.

Berbicara tentang revolusi, Presiden Soekarno pernah mencanangkan yang namanya Character Building, dimana situasinya saat itu adalah masyarakat Indonesia bermental babu, sebabnya setelah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Fokus dari Character Building tentu saja menjadikan Masyarakat Indonesia lebih percaya diri. Bermental sebagai pemilik bangsa sesungguhnya.

Kini, beda kondisi dengan dahulu. Masyarakat Indonesia tidak bermental babu seperti dahulu, namun jauh lebih kompleks. Beberapa masy. Bermental tempe, pasrah pada keadaan. Cukuplah hidup ini, selama masih dalam parameter ini, ini bukan opini. Sapengalamanku sebagai konsultan desain UMKM, mereka nggak mau berinventasi pada branding. Mereka bilang yang penting produk laku.

Sementara itu, di sisi lain ada juga masyarakat bertipe rakus yang berkiblat pada materialisasi. Tidak memperhatikan orang lain di-sekitarnya kecuali keluarganya, konco konconya, gengnya atau bahkan partainya.

Kebutuhan revolusi yang kompeks tentu saja tidak bisa disama-ratakan. Dalam pemasaran, perlu adanya segmentasi yang oriented sehingga tujuan perusahaan dapat tepat sasaran. Begitupula dengan konsep RevolusiMental. Siapa yang di tuju maka akan berbeda cara penyampaian-nya. Meskipun pesan yang akan disampaikan itu sama.

Maka, tolak ukur keberhasilan dan ke-Revolusioneran Revolusi Mental memang juga kompleks. Misalnya saja parameter keberhasil berdasarkan perubahan massa. Hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan. Yudi latif, dalam artikelnya Kompas 12 juni menganggap pendidikan adalah sektor utama perubahan pola mental masyarakat. Jikalau diterapkan pada pendidikan dasar, lama juga ya?.

Pendidikan kini, yang berpacu pada nilai konvesional sering melupakan nilai kesantunan. Dalam sebuah artikel di facebook yang aku lupa penulisnya, mengatakan kalau orang tua sekarang lebih menekankan hasil berupa prestasi anaknya dibandingkan "bagaimana" cara anaknya mendapatkan sebuah hasil. Ada pula yang membahas perbedaan anak anak indonesia dengan negara tertentu. Di mana saat belajar antri, anak indonesia pasti maen terobos. Katanya..

Tolak ukur kedua dari Revolusi Mental adalah usaha suatu individu yang berdampak pada masyarakat disekitarnya. Contoh, lihat Pak Jokowi yang mengubah Solo, atau walaupun kontroversi serta menggeser rakyat kecil, cara Ignatius Jonan mengubah KAI dari merugi menjadi menguntungkan dapat dikatakan sebagai revolusi. Atau lain-nya yg mungkin aku tak tahu.

Konsep Revolusi Mental yang sudah dicontohkan Pak Jokowi seharusnya juga pernah dilakukan oleh calon kabinetnya nanti. Karena bagaimanapun, jika kabinet di isi oleh orang2 yang mempunyai track record revolusioner, maka akan menjadi teladan untuk bagian kementrianya, bahkan publik. Mengapa? Kita tahu, mungkin sedikit klasik jika pemberian teladan adalah cara efektif untuk mengubah seseorang, Walaupun sulit, getir, melelahkan dsb.

Pertanyaanya, jika dijadikan skala Nasional, berapa lamakah konsep Revolusi Mental dapat dirasakan?

Mungkin ada yang mau mengulasnya?

Sumber:


Disarikan dari Buku Revolusi Mental.(institute Darma Mahardika). Sedikit pengalaman hidup. Serta analisis dan awam dari penulis. Jika terdapat masukan silahkan di kolom komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun