Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca di salah satu kanal berita mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh para pasangan calon peserta Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ternyata semuanya memiliki pelanggaran dalam melakukan kampanye.
Dibanding kedua pasangan lainnya, pasangan Agus-Sylvi berada pada urutan teratas yang paling gencar melakukan pelanggaran. Dalam dua minggu masa kampanye, tercatat pasangan ini telah melakukan 15 kali pelanggaran seperti disebutkan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) DKI Jakarta, Mimah Susanti.Â
Dengan jumlah sebanyak itu, berarti pasangan ini menghasilkan minimalsatu pelanggaran di setiap harinya sejak kampanye dimulai.
Bawaslu mencatat, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasangan ini meliputi relawan yang tidak terdaftar, keterlibatan anak di bawah umur, kampanye yang tidak memiliki izin, serta alat peraga kampanye yang tidak sesuai ketentuan. Bahkan pada satu kesempatan, pelanggaran yang dilakukan adalah menggunakan fasilitas negara untuk tujuan berkampanye. Pelanggaran ini terjadi ketika ditemukannya mobil dengan plat merah, yang ternyata milik Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), ketika sedang melakukan pidato politik di Djakarta Theater.
Hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam pasal 70 (3) poin b Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berisikan larangan menggunakan fasilitas negara dalam kampanye.
Selain itu, calon Wakil Gubernur Sylviana Murni, juga sempat mendatangi majelis taklim di Kelapa Gading Jakarta Utara namun hanya mendapatkan teguran dari Bawaslu.
Entah pelanggaran tersebut berdampak secara signifikan atau tidak, namun di akhir minggu lalu saya juga membaca hasil perhitungan beberapa lembaga survey yang menyebutkan bahwa elektabilitas pasangan Agus-Sylvi mengalami peningkatan hingga mengungguli pasangan lainnya.
Di pihak lain, kubu Ahok-Djarot dirugikan dengan adanya masalah-masalah yang dihadapi pada masa kampanye seperti aksi penolakan untuk melakukan kampanye blusukan di beberapa tempat. Adanya penolakan tersebut telah merampas hak-hak paslon untuk berkampanye. Hingga kemarin, pasangan ini masih mendapat penolakan dari masyarakat, yang ternyata terbukti bukan warga sekitar.
Hal ini jelas merugikan pasangan calon yang memiliki hak berkampanye sebagaimana dijamin dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Saya mempertanyakan tentang keberadaan Bawaslu yang seharusnya tugasnya adalah menjaga jalannya pemilu serta bersikap tegas pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan juga melindungi hak-hak para pasangan calon yang mendapatkan kesulitan karena dilanggaroleh sekelompok orang yang kurang bertanggung jawab.