Menyusul demonstrasi tanggal 14 Oktober silam, direncanakan sebuah unjuk rasa yang lebih besar lagi oleh ormas Islam, Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 4 November 2016. Demo yang katanya akbar ini mitosnya akan diikuti oleh 80.000 massa FPI. Mereka berangkat dari berbagai penjuru Indonesia digerakkan oleh tujuan yang sama: Menuntut Ahok diperiksa oleh Bareskrim. Padahal, Senin kemarin (24/10), Ahok telah datang ke Kantor Bareskrim untuk diperiksa. Masih proporsional kah aksi-reaksi Islamic Putsch yang timbul dari polemik ini?
Kecurigaan muncul dari banyak mata, memahami “aksi damai” ini sungguh berdekatan dengan event demokrasi kian besar, yaitu pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Banyak yang menimbang-nimbang bahwa demonstrasi ini bergerak atas nama politik. Premisnya cukup relevan: (1) kemunculan Amien Rais dari koalisi Cikeas dalam demo 14 Oktober dan (2) Ahok adalah calon terkuat dari tiga calon yang akan maju Pilkada 2017.
Namun, di zaman modern ini, saat paham transnasionalisme dan globalisme meraja dan border antar negara menjadi ilusi semata, mungkinkah narasi politik Pilkada Jakarta ternyata memiliki dampak yang lebih luas?
Mari kita pahami sejenak keadaan dunia 15 tahun terakhir lewat kacamata barat.
Dari kacamata Barat, dunia internasional 15 tahun terakhir dilewati oleh 4 musim: American Fall, European Winter, Arab Spring, dan Asian Summer. American Fall ditutup dengan krisis global yang dampaknya menyebrangi lautan sampai ke Eropa. Krisis ini membekukan perekonomian Uni Eropa yang membawa Yunani dan Spanyol menuju kebangkrutan. Keadaan Eropa juga diperkeruh oleh Paris Attack dan ditutup dengan Brexit yang cukup sensasional. Ini lah musim dingin Eropa atau European Winter.
Musim dingin Eropa membuka jalan untuk Pembebasan Arab (Arab Spring). Pembebasan Tunisia, Libya, dan Mesir adalah prihal jalur pipa gas baru untuk memasok Eropa.
Negara-negara Eropa beralih dari Rusia, yang sebelumnya memasok 70% kebutuhan gas Eropa. Akibatnya, Rusia harus mencari sekutu baru. Bergabunglah ia dengan RRC, yang perekonomiannya masih dalam masa pemulihan sejak krisis 2008. Terjadilah Aliansi Asia Utara yang menandai Asian Summer.
Aliansi ini bisa berpengaruh terhadap hubungan AS-Eropa, maka masuk lah isu-isu ini ke dalam agenda kedua Calon Presiden Amerika Serikat.
Donald Trump bersahabat dengan raja-raja Arab, khususnya Arab Saudi. Atas dasar hubungan bisnis ini, ia lebih banyak diuntungkan apabila konflik Timur Tengah digeser ke RRC. Ia juga meyakini negara-negara Timur Tengah akan membantu AS dalam perang tersebut.
Lain lagi dengan Hillary Clinton. Hillary merasa AS akan mendapatkan lebih banyak keuntungan lewat hubungan yang baik dengan Eropa. Ia merasa perekonomian AS akan membaik apabila perang Timur Tengah dilanjutkan. Bagaimana cara ia bisa melegitimasi konflik-konflik tak berkesudahan ini? Lewat isu terorisme. Islamophobia tengah merebak di Eropa dan Amerika Serikat. Apabila diperkuat lagi dengan lebih banyak isu gejolak Islam garis keras di berbagai negara, masyarakat global akan menuntut dihabisinya lebih banyak lagi ummat Islam di dunia.
Sampai lah lingkup rencaha Hillary ke Indonesia. Selain memiliki penduduk Islam terbanyak di dunia, Indonesia juga penentu nasib 27 Blok Migas habis kontrak. Hillary tak akan membiarkan soladaritas Islam membuat Indonesia terikat dengan konflik Timur Tengah karena bisa terjadi negosiasi perpanjangan Blok Migas dengan solidaritas Islam.
Maka muncul lah usaha untuk ‘menyekulerkan’ Indonesia. Apabila Islamic Putsch oleh FPI pada tanggal 4 November nanti terjadi seperti yang diramalkan, akan ada potensi ripple effect yang membuat panas dunia Islam. Akibatnya, akan semakin kuat anti-terorisme global. Indonesia sendiri akan mengisolasi garis keras Islamnya. Artinya, negosiasi Blok Migas takkan terjadi dan legitimasi dunia yang dibutuhkan Hillary Clinton untuk meneruskan Perang Timur Tengah akan ia kantungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H