Mohon tunggu...
Annisa Nur Fadhillah
Annisa Nur Fadhillah Mohon Tunggu... -

Salah satu mahasiswa psikologi di Malang. Mari apresiasi orang lain, mari mengkritik yang membangun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antropologi; Kita Semua adalah Kerabat, mengapa berperang?

24 Mei 2014   17:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Annisa Nur Fadhillah

Kasus hangat yang sering beredar dimasyarakat mengenai adanya perang saudara. Perang saudara sendiri juga banyak macamnya, mulai dari perang dalam satu keluarga misalnya perebutan harta warisan hingga perang antar kelompok dalam satu negara misalnya sengketa tanah antar desa atau antar suku. Kejadian-kejadian ini sering ditemui dalam pemberitaan massa saat ini. Jika membicarakan perang maka, terjadi kecenderungan munculnya konflik. Perang juga dideskripsikan ke dalam area desktruktif walau sebenarnya perang bisa juga dikontekskan pada tingkatan kemashalatan. Hanya saja dalam artian, aktivitas ini memiliki kecenderungan terhadap munculnya kerusakan atau yang membawa kerugian terhadap pihak tertentu. Misalnya, terjadinya perang saudara mengakibatkan tingginya kriminalitas didalamnya seperti pembunuhan,perusakan barang orang lain dan masih banyak yang lainnya. Walaupun demikian, perang itu dilakukan dalam satu kesatuan yang erat, dengan pemaknaan bahwa peperangan terjadi diatas kekentalan akan kesatuan, kesatuan ini dihubungkan dalam “persaudaraan” yang seharusnya tidak terjadi peperangan karena semua perbedaan yang ada dirangkul dalam satu kesatuan pertalian yang selalu mengental yaitu darah.
Pernyataan diatas merupakan awal dari pembicaraan mengenai kekerabatan. Dikatakan saudara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah saja). Jika dilihat secara kontekstual, pandangan terhadap saudara hanya sebatas dalam garis keturunan yang sempit. Tetapi secara luas, dapat ditelaah bahwa nabi Adam AS merupakan ayah dari anak-anak Adam dan kita adalah bagian dari keluarga Adam tersebut. Artinya, semua manusia adalah saudara, dari tali darah yang sama. Akan tetapi, jika melihat dari silsilah keluarga atau kekerabatan dapat dikategorikan ke dalam kekerabatan yang jauh. Menurut Keesing (1981:213), kekerabatan adalah hubungan yang berdasarkan pada “model hubungan” yang dipandang antara ada seorang ayah dan anak serta antara seorang ibu dan anak. Dalam pernyataan ini menjelaskan bahwa dalam aturan sosial kekerabatan bukanlah sekedar ayah atau orang yang andil dalam kelahiran si anak tetapi bisa dimaknai dengan hal lain. Misalnya, orang tua angkat didalam masyarakat kita dan kebanyakan masyarakat lainnya, sama berdasarkan model hubungan orang tua yang dalam konteks yang mempunyai peran andil dalam kelahiran si anak (orang tua sesungguhnya).
Dalam hal penyataan diatas secara implisit menjelaskan bahwa kekerabatan dalam konteks ini kontras dari biologi. Kontras yang dimaksudkan adalah sisi lain kekerabatan yang sekedar pertalian darah. Artinya, aspek biologi dalam pandangan masyarakat umum menjadi penentu dari sistem kekerabatan. Dalam pandangan ini sebenarnya menjelaskan bahwa aspek biologi bukan sekedar membawa kategori keindividuan saja, tetapi kategori sosial pun dalam naungan aspek ini. Kategori sosial tersebut berupa sistem kekerabatan. Kemudian, aspek biologi disini menjadi aspek terkuat dalam pembangunan sistem kekerabatan karena menurut keesing (1981:211), kekerabatan itu secara emosional mengikat kuat oleh analogi darah lebih kental daripada air. Namun perlu dicatat bahwa aspek terkuat bukan berarti satu-satunya aspek yang terlibat.
Dari sistem-sistem inilah, berbagai cara manusia berbeda-beda dan membentuk kebudayaan-kebudayaan yang terorganisir oleh penerus atau ikatan pertalian darah. Kemunculan-kemunculan kebudayaan ini pada dasarnya dapat disebabkan oleh kerabat kita sendiri. Secara filosofi, perbedaan kebudayaan patutlah kita hargai karena kebudayaan yang ada dilahirkan dari kerabat kita sendiri. Dalam hal ini, ketika sebuah cara menyebabkan peperangan,maka ingatlah bahwa kita adalah kerabat yang dinaungi dalam suatu persamaan. Perbedaan yang terjadi sebenarnya sebagai persamaan yang tersembunyi. Maka dari itu, perbedaan yang terjadi dikaitkan pada persamaan yang ada untuk mencapai satu kesatuan yang hakiki dan memerangi adanya perang itu sendiri.

Sumber : Keesing, Roger M. 1981. Antropologi Suatu Budaya; Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun