Pada bulan September 2023, telah terbit buku dengan judul Namaku Alam 1 karya Leila S. Chudori. Buku ini merupakan sebuah spin-off dari buku sebelumnya dengan judul Pulang yang sudah terbit pada tahun 2017. Menurut penulis, dalam buku tersebut penulis novel membahas hal yang dirasakan oleh orang-orang yang dianggap oleh pemerintah berpaham komunis. Buku ini mengambil sudut pandang Alam, salah satu anak dari tokoh Lekra yang lahir di tahun 1965 dan menjadi salah satu korban perundungan dari masa kanak-kanak hingga ia remaja.
Dalam buku tersebut, penulis tidak menemukan letak ataupun adanya implementasi dari poin kedua dan kelima dalam sila pancasila, sebagaimana kita ketahui berisi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sebagai seorang pembaca dan penikmat literasi, beberapa pertanyaan muncul setelah penulis selesai membaca buku tersebut seperti, “Apakah paham komunis harus dituntaskan dengan cara-cara yang tidak hormat seperti menunjukkan senjata kepada anak-anak? Menunjukkan kepada mereka tempat yang penuh dengan darah, melihat sisa-sisa penyiksaan dan paksaan? Lalu bagaimana dengan nilai-nilai pancasila yang pada zaman itu ditegakkan?Bagaimana bisa perundungan tersebut terjadi? Serta bagaimana peran penting pancasila dalam menegakkan keadilan bagi pelaku perundungan yang dilakukan kepada korban yang merupakan keluarga dari eks tapol (tahanan politik) jika diimplementasikan dalam era saat ini?”
Dapat kita ketahui bahwa perundungan memiliki pengertian yakni kekerasan, ancaman atau paksaan yang digunakan seseorang untuk mengintimidasi orang lain. Perundungan memiliki beberapa bentuk, yakni ada perundungan fisik dan perundungan psikologis. Perundungan fisik dapat berupa menyakiti atau melukai fisik seseorang dengan cara menampar, memukul, atau hal lain yang dapat menimbulkan luka. Sedangkan perundungan psikologi adalah kegiatan perundungan yang dapat menimbulkan trauma secara psikis kepada korban.
Terjadinya perundungan memiliki beberapa faktor. Jika merujuk pada Novel Namaku Alam, penulis menilai bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya perundungan adalah didikan orang tua. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa orang tua si perundung ini memberitahukan kepada anaknya keburukan-keburukan dari keluarga korban sehingga korban selalu disudutkan dan dibuat tidak aman atas perlakuan tersebut dengan alasan korban memiliki ayah yang berlatar belakang sebagai eks tahanan politik zaman itu.
Berdasarkan nilai yang terkandung didalam sila-sila Pancasila, perilaku perundungan ini sangat tidak baik dan masuk ke dalam kategori merusak ideologi Pancasila itu sendiri. Mengutip dari mediaindonesia.com , ada dua poin yang saya garis bawahi mengenai nilai yang terkandung di dalam sila kedua. Yang pertama adalah mengakui dan memperlakukan manusia sebagaimana harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME. Yang kedua adalah mengakui persamaan hak, persamaan derajat, dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Sedangkan nilai yang terkandung didalam sila kelima, penulis mengambil dua poin yakni yang pertama adalah menjunjung tinggi nilai keadilan sosial di masyarakat terkhusus dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Yang kedua adalah menanamkan rasa adil dan kesetaraan.
Adanya perundungan di masa tersebut tidak jauh dari peran pemerintah yang secara tidak langsung, mendiskreditkan warganya yang masih memiliki hak untuk hidup aman dan tentram di wilayah NKRI. Menurut penulis, kebijakan pemerintah pada kisaran tahun 1965-1980, sebagaimana yang tertera dalam buku Namaku Alam jilid 1, mengenai bersih lingkungan, dimana yang dimaksud di dalam buku adalah membersihkan sisa-sisa pemberontak yang berpaham komunis, merupakan hal yang tidak mencerminkan sila-sila dalam Pancasila, terutama sila kedua dan kelima sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya.
Mengapa demikian? Menurut penulis, setelah menelaah dan membaca buku tersebut hingga selesai, tokoh Alam, dan seluruh keluarganya yang tersisa saat itu, yang tidak terlibat dalam pemberontakan langsung pada tahun 1965, masih memiliki hak untuk berkehidupan dengan aman di negara Indonesia tanpa harus merasa terintimidasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan di masa tersebut. Terkhusus di dalam kehidupan sekolah tokoh Alam. Hal ini dikarenakan menurut penulis, di masa tersebut tokoh Alam masih berstatus pelajar dan harus terpenuhi haknya dalam menuntut ilmu selagi ilmu yang dipelajari olehnya tidak mengandung unsur diluar nilai-nilai Pancasila.
Dalam hal ini, tokoh Alam yang merupakan tokoh utama dalam novel ini dan juga korban perundungan oleh teman-teman sebayanya, memilih menyalurkan amarahnya melalui kesenian bela diri agar ia tidak ikut melakukan hal yang sama kepada teman yang merudungnya. Hal tersebut juga didukung oleh ibunda Alam dengan tujuan agar Alam dapat menyalurkan emosinya kepada hal yang bermanfaat. Perundungan yang dialami oleh tokoh Alam tersebut, tidak menjadikannya berkecil hati, namun menjadikan Alam untuk lebih bisa mengontrol sesuatu hal yang masih bisa dikontrol dan dikendalikan seperti semangat belajarnya bertambah dan mulai menggunakan ilmu bela dirinya untuk melindungi diri sendiri tanpa membalas menyakiti.
Hal tersebut dapat kita jadikan contoh atau mungkin dalil, bahwasannya walaupun mungkin tokoh Alam ini adalah anak salah satu dari eks tapol di tahun 1965 kala itu, bukan berarti ia pantas untuk diperlakukan tidak adil di negeri ini. Sebagai warga negara Indonesia yang sah, dan sebagai anak yang kala itu masih dibawah umur, ia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta keadilan di dalam lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Tindakan perundungan dan tindakan semena-mena juga tidak mengharuskan peran negara lepas dalam memberikan tanggung jawab terhadap rakyatnya dan memberikan perlakuan tidak adil terhadap keluarga eks tapol di masa tersebut. Karena bagaimanapun, menurut penulis, mereka juga keluarga yang ditinggalkan. Secara tidak langsung mereka juga merupakan “korban” dalam tindakan pemerintah yang memerintahkan “bersih lingkungan” pada zaman tersebut.
Sebagai penutup tulisan ini, izinkan penulis menyampaikan opini penulis sebagai pembaca buku Namaku Alam jilid 1, dan sebagai seorang pelajar dalam merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam novel tersebut, dapat kita ketahui bahwa kehidupan di era tersebut pasca kejadian berdarah yakni 30s/pki, Indonesia dalam tahap tidak baik-baik saja. Keluarga korban kekejaman peristiwa tersebut, pemerintah, serta mereka yang dianggap berkomplotan dengan ormas-ormas terlarang pun juga kena imbasnya. Dalam hal ini, dapat penulis pahami bahwa sulit bagi pemerintah untuk membuat warga negaranya merasa aman jika masih ada bibit pemberontakan. Namun, memberikan perlakuan yang tidak layak terhadap keluarga yang dinilai terlibat, juga bukan menjadi solusi yang bernilai kemanusiaan. Apalagi jika melibatkan anak dibawah umur, dimana nilai keadilan serta kemanusiaan yang digunakan jika mereka melakukan tindakan diluar dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri?
Di era ini, dimana demokrasi ditegakkan, penulis berharap semoga tidak ada lagi diskriminasi atau perundungan yang dilakukan terhadap keluarga eks tapol lainnya dan semoga, nilai-nilai pancasila dalam benar-benar terealisasikan dengan baik dan tepat sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H