Hari ini, 26 September 2023 adalah tanggal dimana saya mulai menuliskan paragraf pertama artikel ini. Sementara itu, empat hari lagi adalah tanggal 30 September —hari dimana kita, sekali lagi akan diingatkan kembali dengan tragedi kelam pemberontakan G30S/PKI, hari dimana bendera merah-putih akan dikibarkan setengah tiang di seluruh penjuru Indonesia.
Jujur saja, saya selalu tidak bisa menahan perasaan melankolis saya pada penghujung September setiap tahunnya. Saya kerap kali membayangkan pada hari ini, di jam yang sama ketika saya menuliskan kalimat ini, tepat 58 tahun yang lalu, Kapten Pierre Tendean barangkali sedang bermain sepeda dengan Ade Irma di halaman kediaman keluarga Jenderal AH Nasution di Jalan Teuku Umar, begitu pula dengan Jenderal Ahmad Yani yang barangkali sedang asyik berlatih golf di Rawamangun —keduanya tidak tahu bahwa dalam empat hari, mereka akan menjadi korban pembunuhan yang keji dalam suatu upaya pengkhianatan terbesar yang terjadi dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Saya tumbuh besar dengan kisah mengenai peristiwa G30S/PKI. Masih teringat jelas di memori saya bahwa paparan pertama saya terhadap kisah peristiwa Sejarah G30S/PKI adalah ketika saya masih duduk di bangku SD, ketika televisi tabung di ruang tamu saya memutar Film Pengkhinatan G30S/PKI pada malam 30 September. Sebagai anak kecil, setiap adegan dalam film tersebut terasa membekas dalam pikiran dan membawa kengeriannya tersendiri —bagaimana sekelompok orang dengan golok dan celurit menyerang sejumlah orang yang tengah melakukan salat jamaah di masjid, backsound yang bikin merinding, sampai adegan penyiksaan para jenderal yang bikin gak bisa tidur.
Paparan terhadap kisah peristiwa G30S/PKI ini tetap berlanjut sampai saya SMP, saat saya masih jadi ABG labil yang tiba-tiba nge-fans berat sama Kapten Pierre Tendean setelah salah satu buku paket PPKN mencantumkan foto tampan Sang Kapten di dalam sub-bab mengenai Pahlawan Revolusi.
Karenanya, saya mulai kepo dengan kehidupan Sang Kapten dan membaca buku “Sang Patriot : Kisah Seorang Pahlawan Revolusi” karya Abie Besman. Setelah menamatkan buku tersebut, saya galau berhari-hari. Bukannya lebay, tapi melalui biografi, kita diajak menyelami kehidupan seorang pahlawan revolusi sebagai seorang pribadi —perannya sebagai anak, kakak, adik, sahabat, pasangan. Kita diajak untuk melihat dari dekat perkembangan karakter seorang pahlawan revolusi sebagai seorang manusia dari lahir, sekolah, dewasa, berkarier, hingga jatuh cinta. namun pada akhirnya harus kehilangan nyawa secara mengenaskan karena fitnahan keji PKI. Sungguh tragis.
Uraian diatas hanyalah intermezzo mengenai beberapa hal yang membawa saya kepada ketertarikan untuk mencari tahu dan membaca buku-buku mengenai Peristiwa G30S/PKI. Diluar itu, saya berkeyakinan bahwa kisah ini penting untuk diketahui seluruh generasi muda sebagai sebuah sejarah kelam bangsa yang darinya semoga generasi ini dapat belajar mengenai betapa pentingnya memegang erat ideologi dan kepribadian bangsa.
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai berideologi komunisme yang pernah berdiri mentereng di Indonesia. Adapun tujuan utamanya adalah menentang imperialisme dan kapitalisme Belanda dengan membangun Serikat Pekerja dan menanamkan kesadaran politik di antara para buruh tani. Dalam usahanya mengubah ideologi negara menjadi komunis, PKI terlibat dalam banyak sekali aksi pemberontakan. Aksi ini walaupun berbeda-beda bentuknya, semuanya menjurus ke arah satu hal : perebutan kekuasan 1 Oktober 1965.
Misalnya, 13 Januari 1965, di suatu subuh di Kediri, kurang lebih 8000 anggota PKI menyerbu Pemuda Islam Indonesia (PII). Mereka memasuki paksa rumah-rumah kyai dan imam masjid, menginjak-nginjak kitab suci umat Islam, dan terlibat dalam aksi penganiayaan terhadap para kyai. Peristiwa lain, misalnya, adalah sengketa tanah milik negara dengan kaum tani yang mendiami tanah secara tidak sah, yang mana sebelumnya perkara ini sudah terselesaikan dengan baik. Namun kaum tani tersebut dihasut oleh orang-orang PKI dan berakibat pada Peltu Sujono (orang yang ditugaskan pemerintah untuk mengawal tanah tersebut) dikeroyok hingga meninggal dunia
Lawan-lawan PKI dalam partai maupun perseorangan berhasil disingkirkan satu-satu. Akhirnya, tinggalah satu kekuatan besar yang menjadi penghambat bagi pelaksanaan politik PKI : Angkatan Darat. Mereka mendefinisikan Angkatan Darat sebagai si “kanan” kepala batu yang bagaimanapun caranya, harus segera disingkirkan. Hal ini diperkeruh dengan tuntutan PKI mengenai dipersenjatainya Buruh dan Tani Revolusioner, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Letnan Jenderal A.Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Demikian juga dengan tuntutan mengenai pembentukan Angkatan ke-V, yang oleh Presiden Soekarno hal ini dilemparkan kepada Letnan Jenderal A.Yani untuk ditanggapi. Akan tetapi, lagi-lagi tuntutan ini ditolak oleh A.Yani dengan alasan kekhawatiran akan pengawasan kekuatan bersenjata di Indonesia.
Hal-hal diatas tentu semakin menyulut kemarahan PKI. DN Aidit, seorang pemimpin senior PKI, lantas memfitnah Angkatan Darat melalui isu “Dewan Jenderal” — suatu istilah untuk menyebut dewan perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap memusuhi PKI. Adapun jenderal yang dianggap bagian dari “Dewan Jenderal” adalah Jenderal AH Nasution, Letjen A.Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S.Parman, Mayjen Haryono, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan dan Brigjen Sukendro. Berbagai isu untuk memfitnah dan memencilkan Angkatan Darat terus dilancarkan. Puncaknya adalah ketika Dewan Jenderal diisukan akan mengadakan coup/kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965 atau pada Hari Ulang Tahun ABRI.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari itu, malam begitu mencekam. Seluruh persiapan telah dikoordinasikan oleh PKI sedemikian rupa pada malam 30 September 1965. Letkol Untung dari Komando Batalion I Resimen Cakrabirawa ditugaskan untuk memimpin keseluruhan gerakan.
Sementara itu, usaha penculikkan dipimpin oleh Lettu Dul Arief. Pasukan mulai bergerak pada dini hari. Enam jenderal sasaran PKI yang berhasil ditangkap dan dibunuh antara lain Letjen Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo, serta satu perwira yaitu Lettu Pierre Tendean. Sementara satu jenderal selamat dalam penculikan yaitu Jenderal AH Nasution, namun sayang putri kecilnya, Ade Irma Suryani turut menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dengan kejinya, jasad 6 jenderal dan 1 perwira itu dimasukkan ke dalam sumur tua berdiameter 75 cm. Dengan diameter sekecil itu, seluruh Pahlawan Revolusi diletakkan dalam kondisi bertumpuk.
Saat ini, sumur tersebut masih dapat dilihat di Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Sebuah sumur tua yang menjadi saksi bisu atas tragedi kelam bangsa ini. Saat ini, tepat diatas bibir sumur tua tersebut, telah diletakkan plakat dengan kalimat yang selalu berhasil membuat bulu kuduk siapa saja yang membacanya merinding :
“TJITA-TJITA PERDJUANGAN KAMI UNTUK MENEGAKKAN KEMURNIAN PANTJASILA TIDAK MUNGKIN DIPATAHKAN HANJA DENGAN MENGUBUR KAMI DALAM SUMUR INI”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H