Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

"Speech Delay" Anak Saya Bisa Diatasi dengan Menggambar dan Mewarnai

22 Agustus 2017   18:13 Diperbarui: 24 Agustus 2017   11:25 2143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada rasa minder, sedih, dan semacamnya ketika saya berkumpul dengan tetangga komplek. Ocehan anak-anak mereka yang umurnya terpaut beberapa bulan dari Levana (nama anak saya), membuat saya berpikir, apa mungkin anak saya mengalami speech delay? Levana sudah berumur 3 tahun, tapi sedikit sekali kalimat yang keluar dari mulut mungilnya, meskipun kosa kata sehari-hari masih kerap ia ucapkan.

Speech delay memang menjadi ancaman serius bagi para ibu muda akhir-akhir ini. Kecanduan anak pada gadget-lah salah satu pemicunya. Dari beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti, hampir setiap hari ada ibu-ibu yang mengeluhkan masalah keterlambatan bicara anaknya. Bahkan ponakan saya sendiri mengalami, hingga harus terapi dengan biaya yang lumayan mahal.

Balita tidak pernah salah, jika ada kekurangan padanya, maka penyebabnya tentu pada orang tuanya, setidaknya itulah paradigma yang saya yakini. Jadi keterlambatan bicara pada Levana, tak lain karena kelalaian saya sendiri dan suami. Setelah memiliki anak, saya memutuskan untuk bekerja di rumah. Alasannya: agar bisa selalu dekat dengan buah hati. Saya pun bertekad menggeluti bisnis baju. 

Mulai dari belanja bahan, produksi, hingga pemasaran. Karena baru merintis dengan modal yang pas-pasan, saya hanya sanggup mempekerjakan dua orang pegawai yang bertugas menjahit. Sedangkan membuat pola dan menggunting bahan saya kerjakan sendiri. Alih-alih bisa berkomunikasi lancar dengan anak, yang terjadi malah saya selalu kerepotan dengan pekerjaan rumah dan usaha. Saya kerap memberi Levana gadget. Game edukatif, nyanyian, dan semacamnya diperlihatkan dan diperdengarkan, setidaknya agar ia tidak rewel saat saya harus menyelesakan pekerjaan.

Saat itu saya sudah melihat tanda-tanda Levana mulai kecanduan gadget. Setiap hendak dan bangun tidur, ia merengek minta dinyalakan video Youtube dari HP.  Kadang saya sampai harus 'rebutan' jika ingin membaca pesan dan mengangkat telpon.

Usaha bisnis baju saya tak berlangsung lama, hanya dua tahun. Suami memutuskan pindah ke luar kota karena urusan pekerjaan. Mau tak mau saya harus menutup usaha yang sudah beberapa tahun digeluti, mengikutinya pindah ke kota tersebut. Agar dekat dengan kantor,  kami memilih tinggal di apartemen. Nah, di apartemen inilah kemampuan berbicara Levana semakin berkurang. Lingkungan sosial apartemen yang cenderung individualis, membuat anak saya hanya bermain di dalam kamar, dan sesekali ke playground. Pun jarang sekali terlihat anak kecil berlalu lalang di sekitar apartemen. Kalaupun ada, mereka biasanya dititipkan di daycare oleh orang tuanya. Menjelang maghrib mereka baru dijemput. Praktis, teman bicara Levana, hanyalah saya sendiri dan papanya.

Kekhawatiran saya mulai menjadi-jadi karena sejak tinggal di apartemen Levana kerap terlihat takut pada orang asing, terlebih pada turis. Jika ada orang lain di lift, ia akan menenggelamkan wajahnya pada baju saya, atau ia akan menangis kencang jika disapa atau dielus kepalanya oleh orang yang baru dikenal. Sebagai orang tua saya tentu merasa was-was. Speech delay dan ketakutannya harus segera diatasi. Saya kemudian mengumpulkan info cara mengatasi masalah tersebut dari buku-buku, internet, dan bertanya pada orang tua serta mereka yang telah berpengalaman.

Berbagai cara saya lakoni, tapi hasilkan kurang berdampak. Hingga suatu hari secara tiba-tiba Levana menggambar wajah manusia pada secarik kertas. Tak ada yang mengajarinya, keterampilannya tumbuh secara alami. Saya kaget dan senang bukan main. Otak anak memang menakjubkan, saya tak pernah mengajarinya menggambar wajah dan tubuh manusia, tapi ia mempu mengembangkan keterampilannya sendiri. "Ini siapa sayang?" tanyaku sambil menunjuk pada gambar yang dibuatnya. "Mama?" tekanku. Ia mengangguk. Ya Tuhan, bahagia sekali saya saat itu. Air matapun tumpah tak terbendung. Saya mencari-cari berbagai metode cara mengatasi speech delaynya, tapi kuasa Tuhan langsung menunjukkan jalan keluarnya.

Kemampuan menggambar Levana itulah yang kemudian saya terapkan. Saya mengenalinya kosa kata baru padanya dengan cara melukis suatu benda. Misalnya, buah-buahan. Saya menggambar apel, kemudian memintanya untuk meniru gambar tersebut. Saya pun menerapkan teknik storry telling. Saya bercerita padanya: Apel ditanam oleh petani, lalu dijual ke pasar. Setelah itu dibeli oleh mama, lalu dimakan oleh Levana. Saya bukan lah pelukis yang baik, gambar yang saya buat juga pas-pasan atau mungkin bisa dibilang jelek, haha. Tapi Alhamdulillah Levana tetap menikmati. Bahkan ketika kami mudik ke kampung halaman yang jaraknya hampir seribu kilo, ia anteng-anteng saja. Sepanjang jalan kami melukis dan mewarnai berbagai benda yang kami temui dijalan.

Hanya 3 bulan saya menerapkan metode tersebut, kemampuan bicara Levana bisa dibilang cukup pesat. Ia bisa menghafal angka 1-30 dalam bahasa Inggris dan Indonesia, puluhan nama buah, hewan, dan tumbuhan. Ia mampu menghafal puluhan nyanyian anak baik dalam bahasa Inggris, Indonesia, bahkan Rusia (nyanyian Masha and the Bear).

Ada hal yang membuat saya selalu terharu. Karena kebiasaannya menggambar, ia akan melukis wajah orang yang sedang dikangeninya. Ketika maghrib tiba, dan suami belum juga pulang ke rumah, Levana akan menggambar papanya, ia lalu menunjukkan coretannya tersebut, seraya bilang: "Ma, ini Papa. Papa lagi kerja". Pun ketika ia sedang rindu dengan kakek dan neneknya di kampung, serta orang-orang terdekat yang kerap mengunjunginya.

Speech delay memang bukanlah suatu penyakit mematikan seperti tumor dan kanker. Namun keterlambatan bicara bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Jika bunda sekalian mengalami masalah yang sama seperti saya, tak ada salahnya mencoba teknik menggambar ini, sebelum diserahkan pada dokter atau psikolog.

Kemampuan menggambar harus terus diarahkan dan dikembangkan, sebab bisa dipergunakan untuk mengasah kecerdasan otak kanan. Menurut Urmet Seepter dalam artikelnya,  Great Heatlh Benefits of painting and drawing, menggambar dan mewarnai bisa mengasah motorik halus, melatih fokus, emosional, kreatifitas, menjaga keseimbangan antara otak kanan dan kiri,sehingga  otak tidak lelah atau stress ketika menghadapi persoalan aritmatik atau sosial.

Terakhir, gadget bukanlah musuh yang harus dihindari. Tapi menggunakannya secara berlebihan bisa menjadi dampak buruk bgi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Sebelum terlambat, ayo Bunda ambil kertas, pensil, dan krayon, ajak buah hati menggambar apa yang mereka inginkan. Percayalah tawa dan celoteh mereka akan mewarnai kehidupan. Tekhnologi bisa cepat berubah, tapi kertas dan pensil jangan sampai disingkirkan.
#Art4All
"Art4All"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun