Sementara itu, argumentasi bagi yang setuju dengan positive legislature dalam Judicial Review berdiri pada teori bekerjanya hukum oleh Robert B. Seidman dan William J. Chambliss, yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum tidak semata dikendalikan oleh peraturan hukum, melainkan seyogyanya memerhatikan atas apa yang disebutnya sebagai kekuatan sosial dan politik, atau yang kemudian menggunakan justifikasi sejenis, sebagai simbolisasi harapan publik atas keadilan.[7]Â
Hal ini kemudian didukung dengan kewajiban dalam ranah kekuasaan kehakiman dimana hakim konstitusi wajib utuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[8] Dengan demikian, maka keberadaan hakim dalam memutuskan suatu perkara sejatinya tidaklah dapat terbelenggu dengan aturan normatif belaka namun perlu pula untuk melihat nilai-nilai keadilan yang hadir serta tumbuh di masyarakat.
Keberadaan dari positive dan negative legislature masih menjadi perdebatan dalam ranah hukum tata negara hingga saat ini. Masing-masing memiliki argumentasi serta dasarnya masing-masing.Â
Pada intinya, Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai The Guardian of Constitution serta The Protector of Human Rights haruslah mampu untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat dalam situasi apapun. Dengan demikian, cita-cita luhur Mahkamah Konstitusi sebagai penegak hukum di negeri ini pun dapat tercapai.Â
Â
REFERENSI
Peraturan Perundang-Undangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Jurnal, dll.