Jauh sebelum virus SARS-CoV-2 atau yang dikenal masyarakat awam sebagai virus Corona masuk ke Indonesia, Dahlan Iskan pernah menuliskan dalam catatannya bahwa ketika wabah ini melanda, yang harus diperangi itu bukan hanya virusnya, tetapi juga hoaks yang menyertainya. Hoaks itu jauh lebih berbahaya dari virus itu sendiri.
Saat awal COVID-19 masuk ke Indonesia, sebuah video beredar luas di internet yang memperlihatkan suasana kepanikan orang-orang di China menghadapi wabah. Setelah dilakukan cek dan ricek, ternyata video tersebut adalah suasana di sebuah stasiun kereta api ketika orang-orang di China berebutan pulang kampung untuk merayakan Imlek.
Mungkin video tersebutlah yang memicu orang-orang kaya memborong masker dan handsanitizer. Aksi borong tersebut menyebabkan masker dan handsanitizer menjadi sangat langka di pasaran. Kepanikan ini jugalah yang dimanfaatkan spekulan untuk menimbun masker, sehingga tenaga medis kekurangan masker dan handsanitizer. Maka keluarlah himbauan pemerintah bahwa yang wajib pakai masker hanya orang sakit dan masker yang dipakai hanya masker kain, masker medis untuk tenaga medis.
Setelah badai hoaks kepanikan berlalu, muncul badai hoaks yang lain. Mulai dari COVID-19 adalah flu biasa yang tidak berbahaya, COVID 19 adalah konspirasi elit global, dan terakhir yang paling menyakitkan tentu tuduhan bahwa tenaga kesehatan mengambil keuntungan dari pasien COVID-19 dan Rumah Sakit untung besar merawat pasien COVID-19.
Sebagian besar masyarakat sudah termakan hoaks bahwa tenaga kesehatan mengambil keuntungan dari pasien COVID-19, sehingga mereka menganggap upaya pencegahan tidak lagi penting. Mereka menganggap untuk apa mematuhi protokol kesehatan jika hanya untuk menguntungkan tenaga kesehatan.
Padahal jika logikanya dibalik, untuk apa seluruh tenaga kesehatan bersusah payah melakukan upaya pencegahan jika pasien COVID-19 memberikan keuntungan? Bukankah jika semakin banyak pasien COVID-19 semakin besar pula keuntungan yang didapat oleh tenaga kesehatan? Jika COVID-19 hanya menguntungkan Rumah Sakit dan tenaga kesehatan, seharusnya masyarakat berusaha keras agar tidak tertular, agar Rumah Sakit dan tenaga kesehatan tidak diuntungkan.
Saya dan teman-teman tenaga kesehatan berusaha keras meluruskan berbagai hoaks tersebut melalui tulisan di sosial media maupun blog pribadi. Lalu ada yang mengatakan bahwa kami hanya menakut-nakuti. Untuk apa kami menakut-nakuti? Tidak ada keuntungan yang kami dapat jika masyarakat takut, apalagi sampai panik.
Kami hanya khawatir jika wabah benar-benar terjadi, kita tidak siap menghadapinya. Sarana dan prasarana kesehatan kita sangat terbatas. Negara maju yang memiliki fasilitas dan sistem kesehatan yang sudah sangat baik saja kewalahan menghadapi wabah COVID-19 yang terjadi di negara mereka. Apalagi negara kita yang "harap maklum" ini.
Jika wabah COVID-19 benar-benar meledak, daya tampung fasilitas kesehatan yang terbatas tentu tidak bisa menampung orang yang sakit dalam jumlah banyak dan dalam waktu bersamaan. Saya tidak bisa membayangkan jika sampai UGD penuh dan ruang perawatan Rumah Sakit juga sudah penuh. Betapa sedihnya jika banyak pasien yang terlantar, tidak tertangani, dan harus mengantri sampai ke selasar dan halaman Rumah Sakit. Yang dirugikan bukan hanya pasien COVID-19, tetapi akan berimbas kepada berbagai penyakit gawat lainnya. Jika kemungkinan terburuk ini terjadi, jumlah kematian akan meningkat tajam.
Negara kita bukan negara China yang bisa membangun Rumah Sakit darurat dalam waktu cepat. Mereka membangun Rumah Sakit darurat lengkap dengan tenaga, prasarana, dan peralatannya sampai siap digunakan sepenuhnya hanya membutuhkan waktu satu minggu saja.
Benar bahwa pemerintah sudah menyiapkan Rumah Sakit Darurat di tiap daerah. Tapi jika anda menilik lebih jauh ke dalamnya, akan akan menghela nafas panjang. Tenaga kesehatan dan peralatan yang dimiliki sungguh tidak memadai jika terjadi ledakan wabah COVID-19.
Penyakit COVID-19 ini bukan hoaks, penyakit ini ada dan berbahaya. Benar bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, malah tanpa pengobatan spesifik. Tapi itu berlaku bagi pasien yang daya tahan tubuhnya kuat. Bagi pasien yang daya tahan tubuhnya lemah seperti orang lanjut usia atau orang yang punya penyakit penyerta, penyakit ini bisa berakibat fatal. Komplikasi paling serius adalah sesak nafas berat atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) akibat Pneumonia, Syok Septik, dan kegagalan organ tubuh yang bisa menyebabkan kematian.
Di Indonesia, Per tanggal 21 Juni 2020 jumlah penderita yang dinyatakan positif COVID-19 berjumlah 45.891 orang, sementara pasien yang meninggal dunia berjumlah 2.465 orang. Jika melihat angka tersebut, rasio jumlah kematian jika dibandingkan dengan jumlah positif COVID-19 adalah 5,4%. Artinya dari seribu orang yang dinyatakan positif COVID-19, 54 orang meninggal dunia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, rasio jumlah kematian sebesar 5,3%, selisih 0,1% dari Indonesia.
Angka tersebut di atas sebenarnya bisa menggambarkan apakah penyakit COVID-19 berbahaya atau tidak. Sayangnya sebagian besar masyarakat sudah terlanjur menganggap bahwa COVID-19 itu hanya rekayasa dan mengada-ada. Padahal dokter menentukan diagnosa suatu penyakit itu tidak asal-asalan.
Untuk menentukan diagnosa suatu penyakit perlu kajian menyeluruh. Mulai dari riwayat penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan lain-lain. Itulah yang disebut anamnesa, pemeriksaaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Setiap penyakit mempunyai tanda dan gejala yang khas atau spesifik. Jika anda berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit, anda akan mendapat banyak pertanyaan dari perawat atau dokter yang bertugas. Mereka bukan "kepo", tapi ingin melihat riwayat penyakit dan gejala yang anda alami untuk menentukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terjangan hoaks bahwa tenaga kesehatan mengambil keuntungan dari pandemi COVID-19 benar-benar membuat dokter dan perawat terjungkal dan terbenam. Seolah profesi itu adalah profesi paling hina di dunia. Hoax itu telah menginjak harga diri dan martabat profesi mereka.
Tapi mereka tetap bekerja seperti biasa. Mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajiban tanpa terpengaruh apakah akan bergelar pahlawan atau bukan. Walaupun resiko tertular tiap hari mengintai, bersiap bertukar tempat dari yang merawat menjadi dirawat, dan bersiap pindah tempat dari kantong hazmat ke kantong mayat.
Sementara yang membuat dan menyebarkan hoaks mungkin masih tertawa sambil menyiapkan hoaks yang berikutnya di rumah mereka. Untuk saat ini mereka menang besar. Tapi mungkin suatu saat nanti mereka akan menyesal, saat setiap hari bertemu perawat dan dokter dengan selang ventilator terpasang di leher.
Semoga saja hal itu tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H