Penyakit COVID-19 ini bukan hoaks, penyakit ini ada dan berbahaya. Benar bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, malah tanpa pengobatan spesifik. Tapi itu berlaku bagi pasien yang daya tahan tubuhnya kuat. Bagi pasien yang daya tahan tubuhnya lemah seperti orang lanjut usia atau orang yang punya penyakit penyerta, penyakit ini bisa berakibat fatal. Komplikasi paling serius adalah sesak nafas berat atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) akibat Pneumonia, Syok Septik, dan kegagalan organ tubuh yang bisa menyebabkan kematian.
Di Indonesia, Per tanggal 21 Juni 2020 jumlah penderita yang dinyatakan positif COVID-19 berjumlah 45.891 orang, sementara pasien yang meninggal dunia berjumlah 2.465 orang. Jika melihat angka tersebut, rasio jumlah kematian jika dibandingkan dengan jumlah positif COVID-19 adalah 5,4%. Artinya dari seribu orang yang dinyatakan positif COVID-19, 54 orang meninggal dunia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, rasio jumlah kematian sebesar 5,3%, selisih 0,1% dari Indonesia.
Angka tersebut di atas sebenarnya bisa menggambarkan apakah penyakit COVID-19 berbahaya atau tidak. Sayangnya sebagian besar masyarakat sudah terlanjur menganggap bahwa COVID-19 itu hanya rekayasa dan mengada-ada. Padahal dokter menentukan diagnosa suatu penyakit itu tidak asal-asalan.
Untuk menentukan diagnosa suatu penyakit perlu kajian menyeluruh. Mulai dari riwayat penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan lain-lain. Itulah yang disebut anamnesa, pemeriksaaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Setiap penyakit mempunyai tanda dan gejala yang khas atau spesifik. Jika anda berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit, anda akan mendapat banyak pertanyaan dari perawat atau dokter yang bertugas. Mereka bukan "kepo", tapi ingin melihat riwayat penyakit dan gejala yang anda alami untuk menentukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terjangan hoaks bahwa tenaga kesehatan mengambil keuntungan dari pandemi COVID-19 benar-benar membuat dokter dan perawat terjungkal dan terbenam. Seolah profesi itu adalah profesi paling hina di dunia. Hoax itu telah menginjak harga diri dan martabat profesi mereka.
Tapi mereka tetap bekerja seperti biasa. Mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajiban tanpa terpengaruh apakah akan bergelar pahlawan atau bukan. Walaupun resiko tertular tiap hari mengintai, bersiap bertukar tempat dari yang merawat menjadi dirawat, dan bersiap pindah tempat dari kantong hazmat ke kantong mayat.
Sementara yang membuat dan menyebarkan hoaks mungkin masih tertawa sambil menyiapkan hoaks yang berikutnya di rumah mereka. Untuk saat ini mereka menang besar. Tapi mungkin suatu saat nanti mereka akan menyesal, saat setiap hari bertemu perawat dan dokter dengan selang ventilator terpasang di leher.
Semoga saja hal itu tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H