Suatu pagi semakin teranglah apa yang kami jadikan rasan-rasanuntuk menghadiri Ihtifal Maiyah di Menturo, Sumobito, Jombang pada tanggal 27 Mei 2016. Memang saat itu kami masih bergelut dengan bentrok jam kerja dimana kami hanyalah karyawan perusahaan swasta dan wiraswasta. Mungkin saya lebih lega karena sedang tidak terikat dengan perusahaan, namun teman saya harus mempertimbangkan masak-masak karena jadwal jam kerja perusahaan yang keluarnya setiap seminggu sekali dan keterbatasaan mengambil cuti. Akhirnya semua tak jadi soal, karena jadwal jam kerja dan ijin cuti rekan saya keluar sesuai harapan. Lantas, kami memutuskan untuk menggunakan moda transportasi kereta api untuk menuju lokasi.
Sepengetahuan kami untuk menuju Menturo yang penting sampai Jombang dulu; untuk selanjutnya itu urusan belakang, karena jauh-jauh hari kami sudah siap untuk dipertemukan dengan kejutan-kejutan yang nantinya akan kami temui. Di sela order tiket secara online, iseng-iseng kami browsingmengenai kisah Jamaah Maiyah dari luar Jombang yang melakukan perjalanan menuju Padhang mBulan di Menturo.
Kami menemukan dalam sebuah blog tulisan tentang jamaah yang berjalan kaki dari Stasiun Jombang sampai Menturo dengan dalil apa yang dilakukan ‘si pejalan’ tidak sebanding dengan ritual jalan malam Emha ketika masih bersama-sama dengan Umbu Landu Paranggi. Wow! Sebuah ketawadlu’an yang bisa menjadi teladan, kemudian sebuah istilah “diperjalankan” yang digunakan dalam beberapa tulisan entah itu hanya sekedar update status atau kicauan cukup memantapkan hati kami yang belum pernah menginjakkan kaki di Jombang dan nglurug maiyahan hingga sejauh ini.
Tibalah titi wanci perjalanan kami, berangkat dari Stasiun Lempuyangan selepas Isya’ dengan Kereta Gaya Baru Malam. Sengaja berangkat Kamis malam karena Jum’at pagi kami berniat ingin berziarah ke makam brayat ageng Mbah Kyai Hasyim Asyhari sekalian Jum’atan di Masjid Pondok Pesantren Tebu Ireng. Di tengah perjalanan ada hal yang membuat ger-geran ketika saya baru mengetahui bahwa teman saya tidak membawagadget apapun ketika saya berupaya meminjam charger handphone; “menikmati perjalanan ki yo ngene iki”,ujarnya sembari mrenges. Saya tidak mau kalah ger, “karang urip iku urup, mulane butuh powerbank”, kata saya sambil mengeluarkan powerbank.
Tepat tengah malam, pukul 00.00 lebih sedikit sampailah kami di Stasiun Jombang. Rasanya ingin segera menatap mentari lalu melanjutkan perjalanan inti. Sejenak kami menikmati kopi dan indomie di warung pojokan stasiun seberang alun-alun sembari saya cek lokasi dengan android mencari masjid, walaupun kami yakin bahwa di dekat alun-alun pasti ada masjid besar. Benar, kami tertuju pada Masjid Agung Jombang di barat alun-alun untuk melepas lelah. Di masjid tersebut kami dipertemukan dengan tiga orang jamaah yang juga berasal dari Jogja yang juga memiliki tujuan yang sama. Akhirnya, dari berdua menjadi berlima.
Berangkat menuju Pondok Pesantren Tebu Ireng pukul 7 pagi setelah mandi dan berbenah menggunakan angkutan kota untuk men-tunai-kan apa yang sudah diniatkan dari awal perjalanan. Sempat diperjumpakan dengan Jamaah Maiyah Lamongan motoran yang berbagi ancer-ancer lokasi maiyahan. Perjalanan kami lanjutkan ba’da Jum’atandengan menggunakan angkot kuning dan mau mengantarkan kami sampai lokasi Ihtifal Maiyah.
Hanya berisi 7 orang sudah termasuk seorang kenek dan seorang sopir tentunya dengan tarif carteryang ternyata memang sebanding dengan jarak yang kami pikir mudah untuk diakses. Lega rasanya ketika memasuki Desa Menturo disambut iring-iringan kendaraan jamaah dari berbagai daerah/kota seraya seperti ada yang menyambut dalam batin dengan alunan shalawat Thola’al badru alaina….
Semakin malam, semakin padat arena Ihtifal Maiyah, semakin cair pula suasana antar jamaah berbaur dengan lingkungan sekitar. Rintik hujan yang berpadu dengan aroma tanah basah perlahan mendinginkan darah yang sedikit panas terpompa jantung kala perjalanan, mengubah lelah menjadi pijar-pijar sumringah sudah mulai nampak jelas pada setiap wajah para jamaah.
Ihtifal Maiyah adalah sebuah perjamuan, perayaan dan perjalanan maiyah bagi saya dan mungkin bagi mereka. Lantunan Doa Khatmil Qur’an dari Kiai Kanjeng membuka rangkaian acara malam itu dilanjutkan dengan sajian persembahan dari simpul-simpul Maiyah Nusantara untuk mangayubagya ambal warsa yang ke 63 tahun bagi Sang Resi Maiyah, Emha Ainun Nadjib semakin memperjelas kekhususannya; Padhang mBulan, Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan dan yang lainnya turut ambyur, ajur, ajer berihtifal dalam kerayaan tanggal kelahiran EAN.
Malam semakin larut, rintik hujan berangsur reda, rembulan mulai nampak cekikikan ketika Cak Kartolo didaulat untuk mempersembahkan banyolan jenaka dengan jula-julinya yang khas Jawa Timuran membuka pertunjukan ludruk yang tentu saja dikhususkan sebagai sajen bagi shohibul hajat dan hadirin Jamaah Maiyah. Ditemani ‘Istri’ dan Cak Sapari, Cak Kartolo menyajikan sebuah cerita dimana jaman mulai diliputi dengan muslihat-muslihat. Namun, apapun kedzaliman yang sudah dirancang oleh manusia tak akan pernah kekal; semua nampak kecil bagi Sang Maha Perancang. Wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makiriin, begitulah saya menghikmahi ludruk yang sepanjang ceritanya selalu meregangkan urat tawa.
Saat yang ditunggu telah tiba dimana Pak Tanto Mendut akan memulai prosesi merti ukhrawi cara Jawi yang dikhususkan kepada Mbah Nun menjelang dipergelarkannya Banjaran Jawadwipa. Prolog Pak Tanto pun berujung tangis bahagia yang cukup mewakili jawaban akan pertanyaan yang dilontarkan Mbah Nun akan persembahan yang akan disajikan oleh Komunitas Lima Gunung. Sebuah kirab dengan arak-arakan ondho tebu sap pitu,diikuti dengan barisan masyarakat yang membawakan 63 jenis pala kependhem;ialah harta karun kedaulatan pangan yang mulai dilupakan,pisang, taburan bunga dan wewangian menyan yang memunculkan isyiktersendiri dalam rangkaian prosesi.