Mohon tunggu...
Andy Setyanta
Andy Setyanta Mohon Tunggu... -

pencari yang diperjalankan | pedagang merch. TRAVELERMBAHMU! >> ig: travelermbahmu | crafter & artisan | twitter: @andysetyanta | instagram: andysetyanta x andivanovsky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ihtifal Maiyah; Perjamuan, Kemesraan, Perjalanan

31 Mei 2016   09:35 Diperbarui: 31 Mei 2016   09:43 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: andysetyanta/instagram

Suatu pagi semakin teranglah apa yang kami jadikan rasan-rasanuntuk menghadiri Ihtifal Maiyah di Menturo, Sumobito, Jombang pada tanggal 27 Mei 2016. Memang saat itu kami masih bergelut dengan bentrok jam kerja dimana kami hanyalah karyawan perusahaan swasta dan wiraswasta. Mungkin saya lebih lega karena sedang tidak terikat dengan perusahaan, namun teman saya harus mempertimbangkan masak-masak karena jadwal jam kerja perusahaan yang keluarnya setiap seminggu sekali dan keterbatasaan mengambil cuti. Akhirnya semua tak jadi soal, karena jadwal jam kerja dan ijin cuti rekan saya keluar sesuai harapan. Lantas, kami memutuskan untuk menggunakan moda transportasi kereta api untuk menuju lokasi.

Sepengetahuan kami untuk menuju Menturo yang penting sampai Jombang dulu; untuk selanjutnya itu urusan belakang, karena jauh-jauh hari kami sudah siap untuk dipertemukan dengan kejutan-kejutan yang nantinya akan kami temui. Di sela order tiket secara online, iseng-iseng kami browsingmengenai kisah Jamaah Maiyah dari luar Jombang yang melakukan perjalanan menuju Padhang mBulan di Menturo. 

Kami menemukan dalam sebuah blog tulisan tentang jamaah yang berjalan kaki dari Stasiun Jombang sampai Menturo dengan dalil apa yang dilakukan ‘si pejalan’ tidak sebanding dengan ritual jalan malam Emha ketika masih bersama-sama dengan Umbu Landu Paranggi. Wow! Sebuah ketawadlu’an yang bisa menjadi teladan, kemudian sebuah istilah “diperjalankan” yang digunakan dalam beberapa tulisan entah itu hanya sekedar update status atau kicauan cukup memantapkan hati kami yang belum pernah menginjakkan kaki di Jombang dan nglurug maiyahan hingga sejauh ini.

Tibalah titi wanci perjalanan kami, berangkat dari Stasiun Lempuyangan selepas Isya’ dengan Kereta Gaya Baru Malam. Sengaja berangkat Kamis malam karena Jum’at pagi kami berniat ingin berziarah ke makam brayat ageng Mbah Kyai Hasyim Asyhari sekalian Jum’atan di Masjid Pondok Pesantren Tebu Ireng. Di tengah perjalanan ada hal yang membuat ger-geran ketika saya baru mengetahui bahwa teman saya tidak membawagadget apapun ketika saya berupaya meminjam charger handphone; “menikmati perjalanan ki yo ngene iki”,ujarnya sembari mrenges. Saya tidak mau kalah ger, “karang urip iku urup, mulane butuh powerbank”, kata saya sambil mengeluarkan powerbank.

Tepat tengah malam, pukul 00.00 lebih sedikit sampailah kami di Stasiun Jombang. Rasanya ingin segera menatap mentari lalu melanjutkan perjalanan inti. Sejenak kami menikmati kopi dan indomie di warung pojokan stasiun seberang alun-alun sembari saya cek lokasi dengan android mencari masjid, walaupun kami yakin bahwa di dekat alun-alun pasti ada masjid besar. Benar, kami tertuju pada Masjid Agung Jombang di barat alun-alun untuk melepas lelah. Di masjid tersebut kami dipertemukan dengan tiga orang jamaah yang juga berasal dari Jogja yang juga memiliki tujuan yang sama. Akhirnya, dari berdua menjadi berlima.

Berangkat menuju Pondok Pesantren Tebu Ireng pukul 7 pagi setelah mandi dan berbenah menggunakan angkutan kota untuk men-tunai-kan apa yang sudah diniatkan dari awal perjalanan. Sempat diperjumpakan dengan Jamaah Maiyah Lamongan motoran yang berbagi ancer-ancer lokasi maiyahan.  Perjalanan kami lanjutkan ba’da Jum’atandengan menggunakan angkot kuning dan mau mengantarkan kami sampai lokasi Ihtifal Maiyah. 

Hanya berisi 7 orang sudah termasuk seorang kenek dan seorang sopir tentunya dengan tarif carteryang ternyata memang sebanding dengan jarak yang kami pikir mudah untuk diakses. Lega rasanya ketika memasuki Desa Menturo disambut iring-iringan kendaraan jamaah dari berbagai daerah/kota seraya seperti ada yang menyambut dalam batin dengan alunan shalawat Thola’al badru alaina….

Semakin malam, semakin padat arena Ihtifal Maiyah, semakin cair pula suasana antar jamaah berbaur dengan lingkungan sekitar. Rintik hujan yang berpadu dengan aroma tanah basah perlahan mendinginkan darah yang sedikit panas terpompa jantung kala perjalanan, mengubah lelah menjadi pijar-pijar sumringah sudah mulai nampak jelas pada setiap wajah para jamaah. 

Ihtifal Maiyah adalah sebuah perjamuan, perayaan dan perjalanan maiyah bagi saya dan mungkin bagi mereka. Lantunan Doa Khatmil Qur’an dari Kiai Kanjeng membuka rangkaian acara malam itu dilanjutkan dengan sajian persembahan dari simpul-simpul Maiyah Nusantara untuk mangayubagya ambal warsa yang ke 63 tahun bagi Sang Resi Maiyah, Emha Ainun Nadjib semakin memperjelas kekhususannya; Padhang mBulan, Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan dan yang lainnya turut ambyur, ajur, ajer berihtifal dalam kerayaan tanggal kelahiran EAN.

Malam semakin larut, rintik hujan berangsur reda, rembulan mulai nampak cekikikan ketika Cak Kartolo didaulat untuk mempersembahkan banyolan jenaka dengan jula-julinya yang khas Jawa Timuran membuka pertunjukan ludruk yang tentu saja dikhususkan sebagai sajen bagi shohibul hajat dan hadirin Jamaah Maiyah. Ditemani ‘Istri’ dan Cak Sapari, Cak Kartolo menyajikan sebuah cerita dimana jaman mulai diliputi dengan muslihat-muslihat. Namun, apapun kedzaliman yang sudah dirancang oleh manusia tak akan pernah kekal; semua nampak kecil bagi Sang Maha Perancang. Wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makiriin, begitulah saya menghikmahi ludruk yang sepanjang ceritanya selalu meregangkan urat tawa.

Saat yang ditunggu telah tiba dimana Pak Tanto Mendut akan memulai prosesi merti ukhrawi cara Jawi yang dikhususkan kepada Mbah Nun menjelang dipergelarkannya Banjaran Jawadwipa. Prolog Pak Tanto pun berujung tangis bahagia yang cukup mewakili jawaban akan pertanyaan yang dilontarkan Mbah Nun akan persembahan yang akan disajikan oleh Komunitas Lima Gunung. Sebuah kirab dengan arak-arakan ondho tebu sap pitu,diikuti dengan barisan masyarakat yang membawakan 63 jenis pala kependhem;ialah harta karun kedaulatan pangan yang mulai dilupakan,pisang, taburan bunga dan wewangian menyan yang memunculkan isyiktersendiri dalam rangkaian prosesi. 

Didaulat untuk menunjuk 2 orang untuk memulai prosesi, Mbah Nun memilih Cak Fuad dan Cak Mif sebagai bagian dari prosesi menaiki ondho tebu sap pitu, yaitu sebuah tangga yang terbuat dari bambu kemudian dirangkap dengan batang-batang tebu yang dirangkai sedemiakian rupa membentuk tangga dengan 7 baris tangga. Tebu dalam tata bahasa Jawa dapat diakronimkan menjadi anteping kalbu atau kemantapan hati, dan 7 adalah pitu dimana dalam budaya Jawa diwujudkan sebagai angka pitu-lungan atau pertolongan. ‘Sebuah’ hasil ijtihad para pepunden Tanah Jawa yang adiluhung. 

Adapun dalam prosesi tersebut semua saling dipertemukan dengan kemesraan masing-masing, dimana pisang adalah symbol yang selalu digunakan oleh Cak Mif dalam metode pengajaran. Pisang dalam keseluruhan pohon pisang adalah wujud dari keberartian hidup dalam memberikan manfaat (buah) sebelum mati, rubuh dimakan tanah, serta angka 7 yang menunjukkan angka bagi Cak Fuad. Beliau selalu bersinggungan dengan angka 7 dalam keseharian beliau, termasuk hingga nomor rumah pun beliau peroleh tanpa beliau ingini.

Banjaran Jawadwipa pun dimulai, berkisah wayang-wayang serangga yang hidup mendiami Jawadwipa lebih awal harus terusir oleh keserakahan manusia. Disini nampak kemerdekaan dalam berekspresi, sang dalang dengan asyiknya memainkan peran wayang-wayang, gending-gending instrumental hasil olah cangkem pesindennya, hingga wong yang diperwayangkan. Inilah puncak kedaulatan; sesuatu yang tampaknya disajikan secara ngawurbukan berarti tidak dapat menghantarkan nilai-nilai yang menghasilkan output kebaikan. Bukan mencari siapa yang benar, namun apa yang benar, begitu kiranya kata Mas Sabrang.

Letto! Akhirnya, salah satu penampil yang ditunggu-tunggu telah tiba. Lantunan lirik-lirik romatis multi tafsir nan relijius mulai diperdendangkan, dipadukan dengan komposisi aransemen musik yang mencoba menyelami kemungkinan-kemungkinan semakin memecah keheningan malam yang mulai menyongsong bangbang wetan. Tak lupa bedah lirik yang selama ini menelurkan banyak tanda Tanya dikepala sedikit-sedikit dibabarkan maknanya, walau tidak semuanya namun cukup menimbulkan ‘citta’; percik-percik gairah pengetahuan yang nantinya dapat memunculkan rentetan ‘citta-citta’ yang lainnya.

Rasanya malam tak ada habis-habisnya, hingga prosesi perayaan diakhiri masih banyak gelombang, nuansa, suasana yang sukar untuk dituangkan dalam apa yang saya ketikkan. Sungguh energi yang luar biasa. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang setelah semuanya mulai bubaran, entah teman-teman kami tadi sudah sampai mana. 

Mau menghubungi, apa daya sudah tak ada lagi sisa energi baterai dalam handphone saya alias mati. Yasudah. Untuk keluar dari Desa Menturo kami diijinkan untuk menumpangi mobil pick up GrandMax dari jamaah asal Kediri yang saat itu hanya berdua di kabin depan. Ditambah 3 teman baru lagi; 2 asal Solo, 1 asal Pasuruan yang mulai bergabung nyawiji nyengklak mobil pick up putih tersebut. Masuk Menturo kami bertujuh, keluar Menturo pun bertujuh.

Kami berpisah pertigaan diflyover Peterongan karena pick upharus mengambil arah yang berbeda, 3 jamaah lainnya menunggu bus menuju kota masing-masing, sedangkan kami berdua harus kembali ke Stasiun Jombang untuk kembali pulang. Tak lama, sebelum nyegat bus menuju stasiun kami mampir ke Masjid Peterongan untuk sejenak subuhan. 

Mungkin sudah digariskan, karena kami kembali dipertemukan oleh ketiga teman dari Jogja yang bersama-sama berangkat menuju Menturo. Meski tidak satu kendaraan saat pulang ke Jogja, cukup untuk saling berpamitan dan merekatkan jalinan paseduluran. Inilah ihtifal, bentuk kesadaran silaturahmi yang dikemas dalam sebuah bentuk pengalaman perjalanan bagi setiap individu maiyah. Sugeng ambal warsa Mbah Nun yuswa ingkang kaping 60 taun punjul 3 taun, mugi tansah pinaringan berkah lan rahmah saking ngarsanipun Allah SWT. Al-Fatihah.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun