Mohon tunggu...
Andy Setyanta
Andy Setyanta Mohon Tunggu... -

pencari yang diperjalankan | pedagang merch. TRAVELERMBAHMU! >> ig: travelermbahmu | crafter & artisan | twitter: @andysetyanta | instagram: andysetyanta x andivanovsky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ihtifal Maiyah; Perjamuan, Kemesraan, Perjalanan

31 Mei 2016   09:35 Diperbarui: 31 Mei 2016   09:43 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: andysetyanta/instagram

Didaulat untuk menunjuk 2 orang untuk memulai prosesi, Mbah Nun memilih Cak Fuad dan Cak Mif sebagai bagian dari prosesi menaiki ondho tebu sap pitu, yaitu sebuah tangga yang terbuat dari bambu kemudian dirangkap dengan batang-batang tebu yang dirangkai sedemiakian rupa membentuk tangga dengan 7 baris tangga. Tebu dalam tata bahasa Jawa dapat diakronimkan menjadi anteping kalbu atau kemantapan hati, dan 7 adalah pitu dimana dalam budaya Jawa diwujudkan sebagai angka pitu-lungan atau pertolongan. ‘Sebuah’ hasil ijtihad para pepunden Tanah Jawa yang adiluhung. 

Adapun dalam prosesi tersebut semua saling dipertemukan dengan kemesraan masing-masing, dimana pisang adalah symbol yang selalu digunakan oleh Cak Mif dalam metode pengajaran. Pisang dalam keseluruhan pohon pisang adalah wujud dari keberartian hidup dalam memberikan manfaat (buah) sebelum mati, rubuh dimakan tanah, serta angka 7 yang menunjukkan angka bagi Cak Fuad. Beliau selalu bersinggungan dengan angka 7 dalam keseharian beliau, termasuk hingga nomor rumah pun beliau peroleh tanpa beliau ingini.

Banjaran Jawadwipa pun dimulai, berkisah wayang-wayang serangga yang hidup mendiami Jawadwipa lebih awal harus terusir oleh keserakahan manusia. Disini nampak kemerdekaan dalam berekspresi, sang dalang dengan asyiknya memainkan peran wayang-wayang, gending-gending instrumental hasil olah cangkem pesindennya, hingga wong yang diperwayangkan. Inilah puncak kedaulatan; sesuatu yang tampaknya disajikan secara ngawurbukan berarti tidak dapat menghantarkan nilai-nilai yang menghasilkan output kebaikan. Bukan mencari siapa yang benar, namun apa yang benar, begitu kiranya kata Mas Sabrang.

Letto! Akhirnya, salah satu penampil yang ditunggu-tunggu telah tiba. Lantunan lirik-lirik romatis multi tafsir nan relijius mulai diperdendangkan, dipadukan dengan komposisi aransemen musik yang mencoba menyelami kemungkinan-kemungkinan semakin memecah keheningan malam yang mulai menyongsong bangbang wetan. Tak lupa bedah lirik yang selama ini menelurkan banyak tanda Tanya dikepala sedikit-sedikit dibabarkan maknanya, walau tidak semuanya namun cukup menimbulkan ‘citta’; percik-percik gairah pengetahuan yang nantinya dapat memunculkan rentetan ‘citta-citta’ yang lainnya.

Rasanya malam tak ada habis-habisnya, hingga prosesi perayaan diakhiri masih banyak gelombang, nuansa, suasana yang sukar untuk dituangkan dalam apa yang saya ketikkan. Sungguh energi yang luar biasa. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang setelah semuanya mulai bubaran, entah teman-teman kami tadi sudah sampai mana. 

Mau menghubungi, apa daya sudah tak ada lagi sisa energi baterai dalam handphone saya alias mati. Yasudah. Untuk keluar dari Desa Menturo kami diijinkan untuk menumpangi mobil pick up GrandMax dari jamaah asal Kediri yang saat itu hanya berdua di kabin depan. Ditambah 3 teman baru lagi; 2 asal Solo, 1 asal Pasuruan yang mulai bergabung nyawiji nyengklak mobil pick up putih tersebut. Masuk Menturo kami bertujuh, keluar Menturo pun bertujuh.

Kami berpisah pertigaan diflyover Peterongan karena pick upharus mengambil arah yang berbeda, 3 jamaah lainnya menunggu bus menuju kota masing-masing, sedangkan kami berdua harus kembali ke Stasiun Jombang untuk kembali pulang. Tak lama, sebelum nyegat bus menuju stasiun kami mampir ke Masjid Peterongan untuk sejenak subuhan. 

Mungkin sudah digariskan, karena kami kembali dipertemukan oleh ketiga teman dari Jogja yang bersama-sama berangkat menuju Menturo. Meski tidak satu kendaraan saat pulang ke Jogja, cukup untuk saling berpamitan dan merekatkan jalinan paseduluran. Inilah ihtifal, bentuk kesadaran silaturahmi yang dikemas dalam sebuah bentuk pengalaman perjalanan bagi setiap individu maiyah. Sugeng ambal warsa Mbah Nun yuswa ingkang kaping 60 taun punjul 3 taun, mugi tansah pinaringan berkah lan rahmah saking ngarsanipun Allah SWT. Al-Fatihah.

source: andysetyanta/instagram
source: andysetyanta/instagram

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun