Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
.....
Bait lagu masa kanak-kanak yang mengingatkan akan ketangguhan nenek moyang Bangsa Indonesia; bangsa inter-nusa, bangsa antar pulau, Bangsa Nusantara; bangsa yang dihadiahi Semesta dengan lautan luas, gugusan pulau-pulau berjajar elok dalam balutan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sebuah kebanggaan yang menggetarkan hati ketika bait-bait lagu yang kini sudah jarang diperdengarkan lagi (mungkin dilupakan) mencoba mengawali gempita anak cucu Nusantara dalam berproses mencari jati diri. Jati diri yang karakteristiknya semakin dilunturkan atas dominasi bangsa-bangsa pandemen invasi; bangsa-bangsa yang menganggap penakhlukan-penakhlukan adalah bagian cara pembuktian eksistensi.
Berabad-abad lamanya bangsa ini akrab dengan budaya maritimnya dan dapat dikatakan sebagai mercusuar kebudayaan maritim dunia yang sangat bijaksana dalam memberikan pengakuan atas dirinya, sehingga pada dasarnya pengakuan diri atas bangsa lain hanyalah kesemuan. Kepercayaan diri bangsa yang seharusnya sampai saat ini tetap utuh sebagaimana karakteristik bangsa maritim yang mampu menampung semua aspek kebudayaan dari berbagai penjuru dimana secara alami memiliki filter dalam dirinya untuk mengolah bahkan mengawinkan input yang didapat; tidak ditelan mentah-mentah; sehingga menghasilkan output organisme yang ramah lingkungan.Â
Kebudayaan maritim yang sudah mendarah daging dalam diri Bangsa Indonesia memiliki sentuhan local wisdom yang mencakup tatanan religiusitas, astronomi, ekonomi dan pertanian dimana semuanya bersifat cyclical saling berhubungan satu sama lain. Keseluruhannya merupakan riset ilmiah turun-temurun yang sebenarnya memiliki muatan universal, bagaimana tidak? dalam budaya tutur masyarakat Jawa dikenal istilah niteni, nirokne, nambahi. Niteni adalah proses pengamatan yang berlangsung lama dalam mengamati gejala-gejala atau kemungkinan-kemungkinan dalam sebuah peristiwa yang nantinya proses tersebut dapat dijadikan langkah antisipasi atas peristiwa yang berlangsung. Nirokne adalah upaya menirukan apa yang sudah diamati, disimpulkan atau dihasilkan sebelumnya; seolah olah generasi berikutnya secara otomatis berhak atas lisensi value yang sudah diterapkan moyangnya, sehingga eksistensi yang dicapai oleh masyarakat berbudaya maritim terdahulu adalah values atau nilai-nilai yang diturunkan kepada generasi berikutnya.
 Berbeda dengan kebudayaan kontinental yang dalam membuktikan sebuah keberadaan memerlukan bentuk fisik berupa wilayah kekuasaan dan sumber daya didalamnya. Sementara, nambahi merupakan proses belajar secara berkesinambungan; mengkaji hal yang sudah terumuskan sebelumnya namun tidak menutup kemungkinan terjadi modifikasi-modifikasi atas sesuatu hal yang sudah ditetapkan tanpa mengabaikan tatanan sosial yang sudah berjalan sehingga banyak tercipta akulturasi-akulturasi yang mencakup banyak aspek kehidupan.Â
Melalui budaya gotong royong serta musyawarah dalam mengambil keputusan merupakan ciri masyarakat maritim yang komunal, saling melengkapi satu sama lain dan memliki konsep berbagi yang terbuka; tidak ada klaim individu atas sebuah karya kepada khalayak, melainkan pengakuan khalayak atas hasil karya yang mahsyur kepada pencetus baik secara personal atau kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan maritim memiliki kemerdekaan berpikir yang luas dan tidak membatasi perkembangan ilmu pengetahuan. Konteks tersebut akan menjadi sangat kontras ketika disejajarkan dengan konsep kebudayaan kontinental yang cenderung linier; bagaimana mungkin Copernicus lebih dari 30 tahun memilih mengunci rapat teori Heliocentrisnya, meski akhirnya diterbitkan dan baru diakui setelah 70 tahun sepeninggalannya lantaran regulasi pada waktu itu yang tergolong kaku.Â
Pada kurun waktu tersebut orang-orang Eropa masih (sedang) berpikir dan berlomba membuktikan kebenaran teori tersebut berdasarkan parameter masing-masing, sepertihalnya Ferdinand Magelhaens, bangsawan Portugal yang tercatat sebagai pelaut Eropa yang pertama kali berlayar mengelilingi dunia. Sebuah catatan yang saat itu menginspirasi pelaut-pelaut Eropa lainnya untuk berlayar mencari daratan baru sehingga menimbulkan ekspansi besar-besaran yang nantinya berdampak pada colonialism dan merchantilism. Namun, jauh 200 tahun sebelumnya Gadjah Mada telah menyelesaikan ekspedisinya atas Amukti Palapa untuk mempersatukan Nusantara dengan cakupan yang lebih luas hingga Malagasi (Madagaskar), Perairan Tiongkok bahkan konon New Zealand termasuk ke dalam imperium Majapahit. Tidak heran jika pada sebuah catatan James Cook dalam ekspedisi ke pantai timur Benua Australia; di Arnhem Land para nelayan pencari teripang dari Makassar sudah berbaur dengan orang-orang Aborigin dengan perkampungannya yang disebut ‘Macassan’.
Pada perkembangannya produk kebudayaan maritim dengan segala nilai-nilai yang diwariskan dari zaman ke zaman masih sangat kental mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Indonesia berhadapan dengan produk kebudayaan kontinental yang semakin hari semakin mengakar kedalam aspek-aspek kehidupan masyarakat. Laut yang hakekatnya penghubung daratan kini berubah makna bahwasannya pemisah daratan adalah laut. Sehingga dalam rencana jangka panjang dimana telah dan akan dibangunnya jembatan penghubung antar pulau kemudian reklamasi laut yang mulai marak akhir-akhir ini sangat bertentangan dengan semangat kebudayaan maritim, tentu saja dalam deal tertentu dikaitkan dengan kepentingan industri global.Â
Namun, masih banyak pula pemangku kebudayaan yang tetap konsisten menjadi diri mereka di tengah gerusan global, misalnya ritual sedekah laut yang masih dilakukan oleh masyarakat pesisir di Indonesia adalah sebuah bentuk harmonisasi yang seperti dijelaskan sebelumnya bersifat cyclical; masyarakat pesisir yang notabene bermatapencaharian sebagai nelayan memiliki hubungan yang harmonis antara dirinya, alam dan Sang Pencipta. Sebuah cinta segitiga dimana dalam hal ini Sang Pencipta ditempatkan sebagai perantara nelayan yang menggantungkan kehidupannya kepada laut  dengan sarana sesaji yang dipersembahkan berupa hasil bumi yang nantinya dilarung kelautan.Â
Secara logika menjadi masuk akal ketika yang dipersembahkan nantinya adalah sesuatu yang dapat menjadi daya tarik penghuni laut (ikan), sebagaimana manusia, keajegan sebuah event yang menimbulkan daya tarik sudah pasti akan membuat audiens kembali menyambangi event tersebut. Pada konteks ini terjadi sebuah hubungan atau interaksi sebab-akibat yang saling memberikan manfaat. Hal adiluhung seperti inilah yang sampai saat ini seharusnya dibanggakan, dilestarikan serta diharmonisasikan sebagai identitas kebudayaan maritim Bangsa Indonesia.Â
Sebuah rahasia dimana keperkasaan Bangsa Indonesia telah terbangun sejak berabad-abad silam. Mercusuar kebudayaan maritim yang sangat bijak dalam memberikan pengakuan atas kebesaran dan kemahsyuran dirinya yang menjadikan pengakuan pihak lain atas dirinya tidaklah menjadi suatu hal yang prioritas. Bait-bait dalam lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut ‘ buah karya Ibu Sud menyiratkan kedigdayaan yang seharusnya dimiliki oleh pewaris kebudayaan maritim yaitu memiliki pemikiran seluas samudera, berani menentukan sikap serta mampu beradaptasi dalam situasi apapun sebagaimana menerjang badai dan ombak dilautan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H