Tak pernah terpikirkan sebelumnya (tepat setahun yang lalu) untuk berkunjung ke beberapa kota di Jepang selama satu minggu dimulai pada 14 Mei 2015. Spekulasi meng’iya’kan tawaran tiket murah dari teman SMA yang merantau dan tinggal di Jakarta pada dua bulan sebelum keberangkatan menjadikan resiko untuk berkunjung ke Negeri Matahari Terbit menjadi semakin terang benderang, meskipun saat itu kami tidak terlalu memikirkan persyaratan dan kelengkapan penunjang kunjungan kami di negara itu, ‘dipikir karo mlaku’.Â
Benar, dua minggu sebelum keberangkatan kami mulai sedikit panik; visa belum di tangan, sedangkan  tempat di mana kami akan tinggal nanti juga belum terpikirkan; yang ada dalam pikiran kami saat itu hanyalah ‘yen diijini mangkat, yo mangkat!’. Beruntung kami mempunyai partner in crime yang kami anggap sebagai ahli srawung dan diplomasi dikelasnya. Alhasil, atas hasil olah cangkem beliau dan kehendakNya, dua hari sebelum keberangkatan visa pun sudah digenggaman dan kepastian dimana kami akan bertempat tinggal untuk tiga hari pertama telah ditentukan.Â
Terus terang, kami bukanlah orang yang memiliki banyak referensi tentang Jepang, itinary yang saya buat pun hanyalah hasil copy-paste milik teman dimana tujuannya hanya sebagai pelengkap syarat pembuatan visa saja. Tampaknya kami seperti tidak memiliki tujuan di negara tersebut, kami pun tidak terlalu banyak mencari referensi mengenai hal-hal menarik negara tersebut karena sebelumnya kami sudah mempersiapkan diri untuk menerima dan menikmati setiap kejutan yang akan kami temui disana. Â
Osaka! Perjalanan yang kami mulai dari Negeri Jiran dimana kami sudah singgah sehari sebelumnya hingga akhirnya setelah menempuh penerbangan selama lebih kurang enam jam dari Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA 2) sampailah kami di Kansai International Airport (KIX). Wow! Kami pun macak gumun karena ternyata KIX berada di tengah lautan, meskipun dua hari sebelumnya kami sudah mengetahui via search google dan tetap gumun ketika melintasi rel kereta di atas lautan dengan kereta Nankai yang menghantarkan kami dari KIX ke Stasiun Tengachaya sebagai transit awal menuju lokasi tempat kami bertinggal di Onohara Highasi, Osaka. Sempat bingung, ketidakcermatan kami ketika membeli tiket kereta dari Tengachaya menuju Kitasenri membuat gate keluar di stasiun tujuan tidak bisa terbuka, akhirnya petugas stasiun pun menjelaskan bahwa tiket yang kami bawa adalah tujuan stasiun sebelumnya sehingga kami harus membayar selisih kekurangan harga tiket di stasiun tujuan. Perbedaan bahasa rupanya tidak menjadi kendala, keramahtamahan Jepang pun mulai terasa hingga akhirnya bus mengantarkan kami ke Onohara Highasi sekitar pukul sembilan pagi.
Bermodal screenshoot whatsapp berisikan alamat tujuan, mata kami tertuju pada seorang anak perempuan berseragam sebagaimana Kagome dalam serial kartun Inuyasha yang sepertinya sedang mengayuh sepedanya menuju sekolah. Bertanyalah kami, perlu diketahui bahwa kebanyakan orang Jepang menganggap bahwa berbahasa Inggris itu susah; juga dengan anak perempuan tersebut, di awal percakapan ia sudah mencoba menjelaskan bahwa Bahasa Inggris itu susah; akhirnya dengan percakapan blank to blank diantarkanlah kami pada sebuah toko roti.Â
Ibu penjaga toko roti itu sangat ramah, meski kami tidak saling  memahami bahasanya, nampaknya ibu itu lebih tahu apa yang kami cari. Ibu tersebut mengantarkan kami ke alamat yang kami tuju meskipun harus meninggalkan tokonya selama hampir 20 menit, disini kami baru tahu bahwa tiang listrik sangat berperan penting dalam pembacaan alamat di sebuah distrik. Di setiap tiang listrik tertera penanda semacam RT/RW atau padukuhan di suatu wilayah.
Melalui jejaring tersebut sebenarnya banyak orang lokal Jepang yang mau menerima kami terlebih beberapa dari mereka tertarik dalam hal bertukar pengetahuan tentang kesenian dan kebudayaan, namun alasan klasik keterbatasan berbahasalah yang mungkin mereka anggap sebagai penghambat. Wah, pantas saja Doraemon pernah membantu Nobita dan teman-temannya dengan menggunakan pil penerjemah, meskipun diaplikasikan pada hewan, mungkin hal itu adalah salah satu angan alam bawah sadar orang Jepang.Â
Bahwa, mereka tetap ingin menjadikan negaranya sebagai solusi bagi semesta terlepas dari cita rasa ultranasionalis paska kolonial yang masih cukup terpelihara. Hahaha..cukup mengada-ada bukan apa yang kami pikirkan?
Apato yang kami tinggali cukup nyaman dan aman, bahkan pemiliknya tidak pernah mengunci pintu setiap harinya. Biasanya ia pergi meninggalkan apatonya pukul delapan pagi untuk kuliah, kemudian baru kembali pukul sebelas malam setelah ia menyelesaikan baitonya (kerja paruh waktu) di sebuah rumah sakit. Kami diberi kebebasan mengakses semua fasilitas di apatonya mulai dari wi-fi hingga PlayStation.Â
Namun ada hal diluar dugaan yang membuat kami semakin ngirit yaitu ketika kami dibelikan beras, telur, bumbu, buah dan sayuran oleh pemilik apato sepulang ia dari bekerja dengan mengajak kami berbelanja di Kansai Supermarket. Katanya, "Disini tidak mudah mendapatkan makanan halal, lebih baik jika memasak makanan sendiri saja". Alhasil, Â setiap pagi menjelang tourism kami memasak untuk sarapan dan bekal makan siang.
Terbersit dalam pikiran bahwasanya kami sedang mengadakan lelaku puasa menjadi Warga Negara Indonesia untuk beberapa hari. Penataan kota yang menurut kami sangat memperhatikan keseimbangan alam dimana kami pernah berprasangka bahwa gunung, danau, sungai, lembah  dalam bumper kartun Ninja Hattori dimana bangau, kura-kura, dan ikan bebas berkeliaran berdampingan dengan manusia itu telah disesuaikan dengan setting zaman tertentu ternyata salah dan hal itu memang tenanan, lembayung sore diliputi gagak-gagak berterbangan ketika Roberto memperhatikan Tsubasa Ozora kecil berujar ‘bola adalah teman’ di lapangan sepakbola dekat sungai adalah benar, lapangan bermain anak-anak dalam serial Shinchan dan Chibi Maruko Chan ternyata bukan bualan, bahkan Koban pada kartun Bakabon pun adalah sungguhan.Â
Keping-keping lansekap kehidupan yang terekam mata telah merangkai mozaik kartun-kartun dalam ingatan yang sebelumnya hanya menjadi sebuah acara hiburan. Perjalanan terus berlanjut setelah Osaka, maka Kobe dan Kyoto adalah cerita berikutnya. ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H