"Ungkapan cinta dalam narasi kritis kadang berhujung memilukan, gujingan bibir sampai onani kejahatan adalah konsekuensi logis yang siap menerka kapan saja. Namun jika tujuannya adalah kemanusiaan, mari lakukan!"Â
                   *****
Akhir-akhir ini memang terasa rumit, dan itu bukan hanya tertanggal 15 mei kemarin, semenjak pendemi berkecamuk di negeri kita pada 28 februari lalu, setiap sendi struktur kehidupan kita dipenuhi gonjang-ganjing yang tiada usai, utamanya menyangkut psikologi dan ekonomi politik. Meski sulit, kita harus tetap menerima semuanya sebagai kenyataan yang harus dihadapi. Jelas, karena ini bukan pertama kalinya peradaban manusia dirongrong oleh wabah yang mematikan, apalagi bangsa kita.
Dalam narasi The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia,  Colin Brown  menyebutkan Indonesia pernah mengalami kematian 1.5 juta penduduk akibat serangan flu spanyol dan hampir semua wilayah dalam bentang Hindia Belanda terkontaminasi dengan wabah tersebut.  Jika kita mundur kebelakang, pada tahun 1821, wabah kolera juga telah membunuh 125.000 orang di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Jakarta, Semarang, hingga Surabaya. Demikian pada tahun 1625 sampai 1627. Menurut catatan historia di tahun itu ada wabah yang tidak kalah ganasnya dengan wabah sebelumnya atau Covid hari ini, masyarakat Batavia menyebutnya dengan sebutan radang paru-paru. Selain menyebar secara gusar, penyakit dada yang mematikan itu dapat membunuh 1/3 penduduk Banten dalam masa satu jam dan 2/3 di beberapa daerah di Jawa Tengah,  dan itu belum termaksud cacar, pes, dan malaria yang juga menjadi pisau pembunuh masal di dalam bangsa kita.
Sejak dulu kita memang punya pengalaman wabah yang dasyat, di atas kertas, semua angka kematian dalam fase wabah itu terlihat mengerikan, namun jika kita membuka realitas sejarah lebih jauh lagi, semua angka kematian itu penyebabnya bukan murni karena virus, indikator kelaparan karena mundurnya produksi, otoritas sistem yang abai, akses komunikasi yang terbatas, rasio perangkat medis, kurangnya solidaritas kemanusiaan serta rendahnya literasi masyarakat selama bayang-bayang wabah adalah indikator konkret yang tidak bisa dilerai. (lht. wabah di Hindia Belanda).
Paradoks Kebijakan Pemda Buteng
Mesti kita mempunyai pengalaman menghadapi wabah, cara kita memandang persoalan tetaplah parsial, kerangka berpikir masa tentang virus dipahami secara tunggal sebagai ancaman satu-satunya yang dapat menggilas kehidupan, akhirnya sikap kita cenderung jatuh dalam ruang kepanikan.
Untuk ukuran  buteng, tentu hal ini bukan tanpa sebab, selain dihegemoni oleh corak produksi media yang  tak mempunyai agenda apa-apa kecuali viewers dan ratting, paradoksi kebijakan dari sistem pemerintahan menjadi alasan kuat untuk kita benarkan. Padahal, kekuatan pertama untuk menghadapi rumitnya masa wabah adalah tangguhnya otoritas institusi untuk membangun benteng pertahanan, di sanalah kebijakan sebaik-baiknya berdiri untuk memberikan penjelasan. Utamanya menyangkut kesehatan dan keamanan publik, jika pemerintah menunda prioritas ini dikemudian hari, semuanya akan menjadi terlambat, potensi kegagalan sejarah dalam menghadapi wabah akan direka ulang hari ini.
Alih-alih merumuskan kebijakan secara matang, sikap pemerintah malah acuh dan ambigu, surat edaran tentang ketertiban umum (social distancing) dikebiri dengan kegiatan buka bersama di gedung kesenian center , belum lagi perintah stay at home kepada seluruh lapisan masyarakat  seolah menjadi patalogis yang berkepanjangan, logic-nya mana mungkin orang berdiam di rumah tanpa suplay pangan dari pemerintah sementara orang-orang dihadapkan pada kenyataan rasa lapar (nelayan, petani, dsb).
Yang lebih ironi adalah saat 15 mei kemarin. Setelah suspect diumumkan dan dikarantina, peraturan darurat dalam terminologi isolasi wilayah untuk memutus potensi penyebaran tidak pernah disampaikan bentuk tertulisnya seperti apa. Sialnya, pemerintah malah melakukan simulasi penguburan mayat korban covid yang berimplikasi pada ledakan panik masal di jazirah masyarakat. Tentu perang melawan wabah memang bukan sebatas melakukan evakuasi pasien suspect, melakukan simulasi pemakaman jenazah atau membuat surat himbauan, terlebih membuat teror dengan kegiatan basa-basi.
"Isu kelengkapan fasilitas medis, jaminan atas pangan termaksud kenyamanan masyarakat harusnya menjadi prioritas untuk diakomodir dalam kebijakan" .