Satu per satu bulir air hujan turun dari langit, menimbulkan suara gemercik air nan merdu. Menemani Andin yang sejak satu jam yang lalu duduk di kursi belajarnya. Mengingat besok ada ulangan harian bersama, ia terus berlatih mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku paketnya.
Lagu A Thousand Years-nya Christina Perri berdering lembut di ponsel Andin. Diraihnya ponsel yang ada di atas tempat tidur. Andin terhenyak saat membaca nama penelepon itu.
“Selamat malam, Andin,” ucap seseorang di seberang sana.
Andin terdiam. Mimpi apa ia semalam? Tak lain, itu adalah suara Ello!
“Din, aku ganggu kamu belajar ya?”
“Eh... Malam, El. Enggak kok.”
“Aku boleh pinjam flashdisk-mu besok pagi? Flashdisk-ku masih dibawa adik sepupuku, sedangkan besok ada presentasi individu.”
“Oh, begitu. Boleh, El.”
“Terima kasih, Andin. Selamat malam. Lanjutin belajarnya, semangat!”
Lidah Andin sangat berat untuk berkata “tidak”. Dengan gampangnya Ello minta bantuan kepadanya saat Ello butuh. Bukan tidak mungkin setelah kebutuhannya terpenuhi, ia dibuang Ello begitu saja. Namun cinta yang masih tersisa di hati Andin selalu mencegahnya untuk membalas perbuatan Ello.
Ello adalah mantan kekasih Andin yang terakhir. Dua bulan yang lalu, Ello mengakhiri hubungannya dengan Andin tanpa alasan yang jelas. Tentu Andin merasa sangat kehilangan Ello. Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Setelah sempat down beberapa minggu, sehingga nilai ulangan tengah semester Andin turun drastis, Andin bertekad untuk move on dari Ello. Memang benar kata banyak orang, semakin kita menjauh, justru semakin kita tak rela untuk melepaskannya. But, life must go on! Andin selalu berusaha menghindar dari Ello ketika di sekolah. Sebisa mungkin ia tak akan melewati kelas XI IIS 1, kelas Ello.Ia berusaha fokus belajar, mengingat dua minggu lagi sudah ulangan kenaikan kelas. Kenaikan kelas tahun ini Andin harus bisa meraih peringkat satu lagi.
“Kenapa kamu harus kembali ke hidupku di saat aku berusaha melenyapkan rasa ini, El?” gumamnya. Andin berusaha melupakan percakapan singkat tadi sejenak, ia kembali bermain dengan soal matematika yang dihadapinya.
***
Suasana sekolah masih sepi. Andin memasuki tempat parkir siswa sebelah selatan, lalu memarkirkan sepeda motornya. Ia kembali teringat Ello. Dikeluarkannya flashdisk yang biasa ia simpan di tempat pensilnya, lalu dimasukkannya ke saku roknya.
Satu per satu siswa mulai berdatangan. Seperti biasa, sambil menunggu bel masuk berbunyi, Andin duduk di bangku yang ada di depan kelas bersama teman-temannya.
“Andiiiin!” seru seseorang dari kelas sebelah.
Kepala Andin menoleh cepat ke arah orang yang memanggilnya. “Iya?”
“Hehehe.. Flashdisk-nya mana, Din?” tanya Candra, teman Ello.
“Flashdisk gue?”
“Iya, lah. Masak flashidsk nenek buyut lo? Ello tadi malem kan udah bilang mau pinjam flashdisk lo, dan katanya lo bolehin.”
“Sebenernya yang mau pinjem flashdisk gue, lo atau Ello, sih?”
“Ello, sih. Tapi....” Candra terdiam sejenak. Sepertinya ia sedang mencari-cari alasan. “Ellonya belum dateng, lagi on the way. Katanya macet di jalan. Mungkin dia nanti dateng telat. Makanya, gue ambil ke lo sekarang.”
“Oke,” jawabku sambil merogoh saku, lalu memberikan flashdisk-ku kepada Candra
“Oh... Ternyata Andin masih ada hubungan sama Ello, ya? Duh, bau-baunya ada yang mau CLBK, nih!” sahut Delia.
“Besok jangan lupa pajak balikannya ya, Din?” Winda juga ikut nimbrung.
“Apalagi gue yang sebagai perantara lo sama Ello, gue harus dapet bagian paling banyak!” sahut Candra cengengesan. “By the way, gue mewakili Ello, makasih ya, Din. Semoga cepet balikan sama Ello, deh!”
“Apaan sih kalian? Siapa juga yang mau balikan sama Ello?” elak Andin.
Andin sedikit kecewa karena yang mengambil flashdisk darinya adalah Candra, bukan Ello sendiri. Setelah dua bulan tak pernah berbicara secara langsung, Andin rindu bercakap-cakap dengan Ello lagi, meskipun hanya singkat.
“Apa maksud Ello melakukan ini? Apakah ada harapan yang diberikannya kepadaku?” batin Andin.
Sudah Andin duga sebelumnya, Ello akan mengucapkan terima kasih kepadanya malam ini. Pesan singkat dari Ello diterimanya selepas ia belajar. Seperti kebiasaan mereka saat masih pacaran, mereka saling membalas pesan singkat itu dengan canda dan tawa yang Andin rindukan belakangan ini.
Andin menyuruh Ello mengembalikan flashdisk-nya paling lambat tiga hari lagi. Dengan alasan ada tugas bahasa Inggris yang belum di-print, sedangkan tiga hari lagi harus dipresentasikan. Ello berjanji akan mengembalikan flashdisk Andin secepatnya di tepi lapangan basket. Ya, di sanalah tempat mereka mengobrol dan belajar bersama sebelum ulangan tengah atau akhir semester. Tempat yang memiliki sejarah yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari peninggalan zaman Belanda, bagi Andin. Andin mulai membayangkan pertemuan pertamanya dengan Ello setelah hubungan itu berakhir. Mengesankankah? Menyakitkankah?
***
Andin melangkahkan kaki keluar kelas, bergegas turun dari lantai dua melewati tangga utara yang lebih dekat dengan kantin. Sejak tadi Andin belum makan siang.
“Hai Andin, calon pacarnya Ello!” sapa Delia yang langsung duduk di samping Andin yang sedang makan.
“Apaan coba?” Andin mengernyitkan dahi.
“Udah deh, sebagai sohib lo dari zaman SMP, gue peka banget sama perasaan lo,” ujar Delia.
“Coba aja Ello peka kayak lo, Del. Pasti kejadian dua bulan yang lalu nggak terjadi. Bahkan sampai sekarang, jujur.... gue masih cinta sama dia,” Andin mengakuinya.
“Tuh kan, bener apa kata gue.”
“Tapi...”
“Kenapa? Lo takut dia ngasih lo harapan palsu?”
“Duh, gue bisa nangis terharu kalau lo peka banget sama gue gini, Del,” Andin mengerling jahil.
“Lo nggak usah prasangka buruk sama Ello dulu. Kalau dia ngajak ketemuan, lo temuin aja dia. Lo kan udah kenal dia lama, Din. Pasti lo tahu dari matanya, dia serius atau nggak.”
Andin terdiam. Ia merenungkan kata-kata Delia yang masuk melalui telinga kanannya, lalu ia resapi dalam hati. Andin kembali merasakan tatapan hangat mata Ello yang penuh kasih sayang.
“Din?” Delia memukul kecil lengan Andin. “Gue udah dijemput, nih. Gue duluan ya?”
“Oke, Del.”
***
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit berlalu. Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Jam tanganku menunjukkan pukul dua siang. Lembar jawaban ulangan harian fisika kukumpulkan ke meja guru. Andin yang kemarin belajar sampai semalam suntuk, berharap usahanya membuahkan hasil yang memuaskan.
Setelah berdo’a dan menyanyikan lagu Bagimu Negeri, anak-anak menghambur keluar dari kelas. Dilanjutkan dengan melakukan aktifitas masing-masing. Anak kelas sepuluh mempersiapkan kegiatan Pramuka, anak kelas sebelas yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler hari ini pun bergegas menuju tempatnya masing-masing. Andin yang tengah duduk di bangku sebelah timur kantin seolah tak terlihat oleh sekian pasang mata yang berlalu lalang. Pandangannya kosong menatap ke arah kolam ikan yang sudah tak terawat. Andin berjalan pelan melewati tepi lapangan basket. Ia kembali mengingat seluruh memori kenangannya bersama Ello di tempat itu.
“Din?” sapa seseorang.
Suara itu sudah tak asing lagi di telinga Andin. “Ello?” jawab Andin tanpa menoleh. Ia tahu pasti siapa pemilik suara itu.
Seketika Ello duduk di samping Andin dan berkata, “Maafin aku, Din. Bukan maksudku untuk ngasih kamu harapan palsu. Aku emang cowok pengecut! Aku mudah terpengaruh oleh rasa iba. Aku masih mencintaimu, tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperjuangkan cintaku lagi. Aku tahu, aku emang salah. Tapi, asal kamu tahu, dibalik semua itu aku cuma sayang kamu! Hanya kamu, Din!"
“Maksudmu?” Andin tak mengerti.
“Aku punya temen, dari kecil aku udah temenan sama dia. Namanya Rachma. Dua bulan yang lalu, dia bilang kalau dia mencintaiku sejak lama. Dan dia bilang hidupnya udah nggak lama lagi, karena dia didiagnosa menderita leukimia. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya sama aku. Kata ibunya, hanya akulah yang bisa membangkitkan semangat hidupnya.” Ello diam sebentar.
“Aku emang sayang sama Rachma, tapi nggak lebih dari sahabat. Cintaku cuma buat kamu, Din.” sambung Ello.
“Gimana keadaan Rachma sekarang, El?” tanya Andin.
“Rachma.... Rachma sudah tiada, Din. Jujur, aku sedih. Aku benar-benar merasa kehilangan sahabat yang baik seperti dia. Dan saat ini, aku tak mau kehilangan seseorang yang aku cintai untuk kedua kalinya.”
Andin terpaku, tak bicara sepatah kata pun. Ia bisa merasakan kesedihan Ello. Sekarang ia paham, apa alasan Ello mengakhiri hubungan mereka dua bulan yang lalu.
“Ini flashdisk-mu yang kupinjam,” ucap Ello sambil mengembalikan flashdisk kepada Andin. “Besok pagi mau kamu pakai untuk presentasi tugas bahasa Inggris, kan?”
Andin mengangguk.
“Sebenernya....” Ello menarik napas. “Sebenernya, aku pinjam flashdisk-mu bukan untuk presentasi. Flashdisk-ku udah dikembalikan adik sepupuku, kok. Aku hanya ingin tahu, apa isi hatimu. Aku tahu kamu, Din. Aku tahu hobimu menulis puisi tentang perasaanmu sendiri. Dari beberapa puisi yang ada di flashdisk inilah, aku mengetahui isi hatimu,” jelas Ello. “Kita masih saling mencintai, Din. Maukah kamu menerimaku sebagai kekasihmu lagi?” tanyanya sambil menjulurkan jari kelingkingnya.
Bahagia bercampur haru rasuki relung hati Andin. Ia tersenyum hangat kepada Ello. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ditahannya agar air mata itu tidak menetes. Perlahan jari kelingking Andin pun memeluk jari kelingking Ello.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H