Penjelajahan pelosok negeri untuk kesekian kali bersama Gebrakers. Kumpulan manusia petualang peringkat 1 abad ini. Kami mencoba mengulik sisi barat kota kelahiran Presiden SBY yaitu Pacitan, Jawa Timur. Pantai Klayar namanya. Hasil ngobrol-ngobrol santai saya dengan pedagang lokal disana, konon nama “Klayar” berasal dari guyonan lokal “Klayar-kluyur”. Serupa dengan arti “Ngider-ngider” dalam bahasa Betawi alias jalan-jalan. Nikmati sajian pesonanya berikut ini.
Long Road To Heaven….
Jalur dengan liku tanjakan dan turunan curam adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai lokasi. Pantai Klayar berorientasi di sisi barat kabupaten Pacitan. Kami menyisir rute dari kota Jogja melewati Wonosari. Sepanjang lintasan geologi berstruktur tandus di wilayah ini, kami hanya melihat tudung perbukitan kapur mengelilingi dari ujung ke ujung jalan. Jika diperhatikan seksama, kontur alam seperti ini persis seperti kawasan Gunung Kidul Jogja. Hingga tulisan ini diturunkan, tercatat belum ada sarana transportasi yang dapat memudahkan akses kunjungan bagi wisatawan menuju Klayar. Walhasil, kami pun merental satu unit elf beserta supirnya. Bagi saya, rekam perjalanan selama kurang lebih 2 jam dari pusat kota ini benar-benar tidak terasa. We passed those route by laughing over and over.
Menjelang sore, kami melipir di sebuah sudut kiri jalan. Ikka Wuwiwa, salah satu rekan kami mengatakan bahwa sudut ini adalah posisi dataran tertinggi untuk mengabadikan Pantai Klayar dari atas. Seketika mesin dimatikan, seisi mobil pun menjerit penuh kekaguman. Satu-persatu segera berhambur keluar demi memastikan pandangan menakjubkan saat itu. Sinergi biru laut demikian manis, membentur halus deretan karang hitam yang berbaris rapi di tepian. Kami berlari memanjakan telapak kaki saat menginjak hamparan halus pasir putih bersih. Layaknya sebuah pesisir, vegetasi berupa pohon-pohon kelapa tumbuh liar di sekitarnya. Lembayung senja dengan spektrum jingga kemerahan memeluk erat langit di garis batas barat. Seperti menyaksikan alam asyik dengan romansa pesisirnya. Klayar dan segenap muara Samudera Hindia menyambut kami dengan anggun sekali, Kawan!
Dikarenakan hari yang semakin gelap, kami bergegas melakukan persiapan untuk bermalam. Membuka tenda, mengeluarkan beragam logistik, memasak, hingga makan malam bersama. Kejutan berikutnya muncul di paruh waktu malam. Semakin larut, nyatanya cuaca semakin cerah. Seolah tirai bumi dibuka, bulan sabit meliuk samar. Komuni bintang-bintang pun muncul satu-persatu dengan genit sinarnya. Kami pun saling berbagi cerita hidup dan tawa hingga pagi buta. Dari 4 tenda yang dibawa, hanya 1 tenda yang dipakai. Kami lebih memilih tidur terbungkus sleeping bag di luar. Di bawah naungan langit Klayar.
Idiosyncrasy Like Waves Dashed….
Lepas sholat subuh. Kami berlanjut menghangatkan tubuh. Bergelas-gelas kopi, teh, dan susu diseduh. Eksplorasi hari Minggu kami awali dari sisi barat pantai. Kami mendaki perbukitan tebing-tebing berkarakter karst. Bagi yang asing dengan istilah ini, karst merupakan struktur bumi hasil pelarutan batuan gamping, granit, atau batuan pasir lainnya*. Mirip seperti permukaan goa. Uniknya, gugusan karst di Pantai Klayar berukuran raksasa dan berwarna gading pucat. Menjulang tinggi puluhan meter. Angkuh berdiri sekuat apapun gemuruh laut menderu. (*Sumber: Kelompok Studi Karst, Fakultas Geografi, UGM).
Kini giliran sayap lain yang kami singgahi. Matahari mulai naik perlahan dengan sinar hangat yang menyenangkan pagi itu. Penelusuran pantai dilakukan dengan berjalan di atas karang-karang hitam hingga ujung timur. Warga sekitar rupanya sudah memulai aktivitasnya yaitu panen rumput laut. Biota merah maroon yang satu ini ternyata menjadi salah satu sumber perekonomian penduduk lokal. Saya bertemu banyak siput dan bulu babi mungil pula di celah-celah karang. Bahkan di beberapa bagian terdapat rangkaian soft coral. Strukturnya kenyal berwarna terang kecokelatan. Serasa menginjak semangkuk jelly dingin.
Hollow Rocks Againts Flute Sea….
Tak terasa, tibalah kami di lokasi yang menjadi ikon fenomenal Klayar. Gugusan endapan batu gisik (beach rocks) berdiri gagah sekali. Terbentang membaur dengan ombak yang menggulung tebal paralel. Arus laut terlihat kuat menyisakan buih yang mencumbu bibir pantai. Atraksi ini semakin sempurna dengan sensasi ”Karang Suling” (blow pipe) yang bersembunyi di balik cekungan-cekungan tebing. Mau tahu pola permainannya? Ketika ombak kencang datang, cekungan ini memancarkan air setinggi lebih dari 5 meter. Jika angin bersahabat, ia pun akan mengeluarkan tiupan serupa bunyi suling bambu. Berdirilah di atas cekungan tadi, maka tubuh akan bergetar tersiram semburan air laut dalam interval 5-10 detik. Such a playful pure shores!
Bagi penggila fotografi, menurut saya lokasi puncak bukit bagian timur adalah titik terbaik untuk mengabadikan Klayar. Perlu sedikit memanjat memang. Namun segera terbayar seketika melemparkan pandangan dengan gradasi laut hijau toska, berkolaborasi harmonis dengan topografi karst. Klayar merupakan maha karya wisata bahari yang terisolasi. Tipikal laut yang telak membuat saya jatuh cinta. Dan oh ya… pada pandangan pertama.
Salam Gebrakers.
Jelajahi negeri dengan tawa.
Andyna Sary
9 November 2011
(Photo by: Asia Travel Guide, Freddy Wally, Fajar NF, Asrizal Sabri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H