Mohon tunggu...
Andy Labina
Andy Labina Mohon Tunggu... -

Hallo, saya andylabina "Langkahku adalah guruku "Rasaku adalah nabiku "Alam liar adalah sekolahku

Selanjutnya

Tutup

Nature

Semeru, "The Mountain of Shit!"

29 Oktober 2013   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:53 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“The Mountain of Shit” entah dari mulut yang mana kata kata itu berasal, cuma sudah menjadi semacamstereotype dan bahan wacana diantara para penggiat alam, penikmat alam, petualang hingga pelancong yang barusan saja berkunjung kesana. Kenapa kata “barusan” ini saya beri tanda petik, sebab mereka yang sudah lebih dulu menapakkan kakinya di areal pendakian Gn. Semeru di tahun 2011-2013 saja yang mendapati sampah dimana-mana, dan juga (maaf) shit/ kotoran manusia di mana-mana. Siapa yang tidak mengenal TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru), sebuah cagar alam plus areal konservasi yang terletak pada koordinat geografis antara 7 51″ 39′- 8 19″ 35′ Lintang Selatan dan 112 47″ 44′- 113 7″ 45′ Bujur Timur dan berada pada ketinggian 700 – 3676 mdpl ini terbetang diantara 4 (empat) kabupaten, yakni Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Mulai dari Lagu yang tercipta, Buku yang diterbitkan, karya foto yang diabadikan  hingga teknologi cinema sudah mulai mem-publish setting di areal tersebut. Dan efek publikasi selalu selalu berimbas pada kurva lurus naiknya jumlah pengunjung disana. Namun sayangnya, naiknya jumlah pengunjung tersebut juga berbanding lurus pula dalam satu curva dengan volume sampah dan kerusakan ekosistem disana. Meskipun setiap tahunnya, pihak pengelola TNBTS selalu melakukan closing-schedule dan ecosystem repaired tiap bulan November hingga Mei tahun berikutnya tetap saja tidak bisa mengganti jumlah pohon pinus yang makin sedikit di areal camp ranu kumbolo dari tahun ke tahun, yang makin tahun makin sedikit hingga nantinya mungkin bakalan gundul di kawasan tersebut lantaran kayunya habis dipakai bakar bakar oleh para pengunjung dan porter yang ingin menghangatkan diri dan tamunya dengan api unggun. Belum lagi dengan  aksi vandalisme terhadap shelter shelter yang ada hingga ke batu batu dan batang pohon yang sampai sekarang-pun saya masih belum tahu apa benefitnya selai hanya sebagai penunjuk eksistensi diri pernah kesana. Bukankah itu sudah cukup dengan mengabadikan melalui media foto (kalau ada), video (kalau perlu) atau mungkin tulisan dalam journal online (kalau bisa). Untuk sampah yang paling banyak ditemukan disana adalah bekas botol minuman, tas plastik, sisa kemasan makanan kaleng, puntung rokok, kaleng bahan bakar, dan semuanya itu adalah materi yang secara fisik susah diurai secara alamiah oleh lingkungan. Syukur-syukur kalau sudah ada yang dibakar sebagian, meskipun sisanya tetap saja ditinggalkan disana untuk menunggu (kalau-kalau ada yang membawanya turun), atau berpikir kalau mereka masuk ke kawasan tersebut ada HTM (Harga Tiket Masuknya) jadi sudah pasti ada yang bagian membersihkan, dan mungkin yang paling parah adalah mereka yang berpikir meremehkan bahwa sampah mereka itu masih sebagian kecil dari keseluruhan sampah yang ada di kawasan Taman Nasional, jadi bukan sebuah problem, kesalahan, ataupun pelanggaran (bagi mereka). itu masih sampah sisa bahan konsumsi, belum lagi (maaf) sampah sisa proses konsumsi tubuh mereka saat buang air besar maupun kecil. Kurangnya eduksasi dasar, dan kesadaran (secara pribadi) dari mereka yang masuk ke TNBTS entah dengan motif apapun, membuat gunung Semeru menjadi “Mountain of Shit” baik itu di spot camp, shelter, hingga jalur pendakian, ada baiknya kita sedikit berhati-hati jalan di track, dan memilih spot berkemah sebab banyak pengunjung yang datang tanpa pendidikan dasar wawasan cinta alan dan kesadaran akan lingkungan yang rendah buang hajat di sembarang tempat, dan terkadang juga tanpa etika membiarkan kotorannya begitu saja tanpa menggali terlebih dahulu sebelumnya dan menguburnya supaya (minimal) tidak berbau dan tidak dilihat serta diijak pengunjung lainnya. Ketika saya berkunjung kesana bulan Mei lalu, ketika pagi dan saya baru keluar tenda saya di Ranu Kumbolo, di tanjakan sisi utara danau (bersandingan dengan track masuk kawasan camp) saya melihat beberapa orang bersebelahan, ada sekitar 7 orang dalam satu barisnya sedang (maaf) buang air besar bersamaan dengan menghadap ke semak semak dan (maaf) pantat mereka dihadapkan ke lokasi camp sambil asyik menyulut rokok menjalankan ritual pagi. Oh God!! Saat saya berbincang dengan salah seorang porter, beliau mengatakan bahwa hampir semua lokasi tanjakan di sekeliling lokasi camp Ranu Kumbolo, dan semak semak di sekitaran Kalimati sudah full dengan spot bekas “buang hajat” pengunjung, dia-pun kini enggan ambil kayu disekitar sana, sebab takut menginjak lanyaran banyak yang tidak dikubur, melainkan hanya ditutpi dengan tissue atau dibiarkan terbuka begitu saja. Baik sampah dan (maaf) kotoran manusia ini semakin bertambah jumlahnya pasca dihelatnya sebuah event di Semeru, entah itu acara pendakian bersama yang mengatasnamakan “gathering” sebuah komunitas, perusahaan, atau “brand adventure“. Dan, pasca acara, semacam tidak ada tanggung jawab dan statement secara resmi dari penyelenggara acara atas sampah yang ditimbulkan dari event-nya tersebut. Karena kita semua diuntungkan dari situ, Peserta event bahagia karena dapat pengalaman dan kenalan baru, penyelengara acara diuntungkan dengan ramainya peserta yang mendaftar, berarti semakin bersar pendapatan mereka, warga sekitar dan pemilik transpotasi diuntungkan, MAPALA setempat diuntungkan dengan adanya pekerjaan sebagai panitia acara, Porter dan Guide Lokal ramai order, dan pihak pengelola TNBTS pun senang karena pedapatan bertambah dan mereka disibukkan dengan ramainya pengunjung. Lantas Siapa yang dirugikan? Itu masih menjadi pertanyaan. [caption id="" align="alignnone" width="650" caption="Sisa sisa peradaban, perbekalan, dan hasil konsumsi manusia modern. Semuanya bukan barang organik yang sulit bahkan butuh ratusan tahun bagi alam untuk mengurainya. Lupa dibawah turun oleh para pendaki yang kurang bijaksana"][/caption] Photo by : Denali Adventure Surabaya (at Jambor Nasional Avtech 2013) Cuma mereka yang memiliki kepeduliaan terhadap alamnya yang lalu mem-publish tulisan tulisan sehubungan dengan posting saya ini baik sebelum atau sesudahnya. Dan, memang butuh lebih dari sekedar kepeduliaan, melainkan aksi nyata, bukan dari prakarsa satu orang saja, kalau perlu prakarsa dari setiap individu untuk kemudian dirupakan dalam sebuah kesadaran & kegiatan untuk menjagah kelestarian TNBTS seperti yang pernah terabadikan dan dituliskan beberapa tahun lalu, hingga bisa  membuang jauh ingatan kita kalau disana pernah mendapatkan stereotype sebagai “The Mountain of shit”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun