Mohon tunggu...
Andy Fitrianto
Andy Fitrianto Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang waktu kecil pengen jadi baja hitam robo

a father, a teacher, a runner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Matematika, Ilmu yang Mematikan

19 Agustus 2024   14:00 Diperbarui: 19 Agustus 2024   14:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Matematika, Ilmu yang Mematikan"

Beberapa waktu yang lalu, Kak ilsa dan Dek Tristan tak henti-hentinya menyanyikan lagu dengan lirik diatas. Saya penasaran, emang benar ada lagu kayak gitu? Ternyata, saat menonton youtube bersama mereka, lagu tersebut memang benar adanya.

Lirik aslinya saya tak tahu. Tapi saya menebak pastilah "Matematika ilmu yang mengasyikkan"

Apanya yang mengasyikkan? Itulah yang saya fikirkan dan 5 hari yang lalu, Kak ilsa akhirnya sepakat dengan pendapat saya.

Malam itu, Kak Ilsa belajar bersama Bunda. Saya mendengarkan dari kejauhan dan dari beberapa kosakata yang mereka dialogkan, sepertinya Matematika adalah subjek yang sedang mereka pelajari. Suara istri saya terdengar redup dan kencang bergantian. Intonasinya secara dinamis bergerak dari rendah ke tinggi. Dari beberapa data tersebut saya bisa mengambil Kesimpulan bahwa ada yang sedang dalam bahaya. Guna melindungi spesies yang terancam tersebut saya mendekat. Tidak mengintervensi tidak pula mencoba membantu. Istri saya memutuskan untuk memberi jeda istirahat 15 menit kepada Kak Ilsa untuk menenangkan fikiran sejenak sebelum lanjut "berperang" lagi.

Disaat itulah saya dan dek Tristan kompak bernyanyi "Matematika Ilmu yang mematikan"

Respons Kak Ilsa ternyata tak seperti yang kami bayangkan. Ia yang biasanya ceria dan akan merespon dengan tawa penuh semangat, kala itu hanya diam saja. Tak ada suara keluar dari mulut gadis kelas 2 SD tersebut. Hanya mata sayu yang memandang ke satu arah dengan banjir air mata di kiri dan kanan sudutnya. Ekspresi wajahnya dingin dan datar. Tapi dari air mata yang menganak sungai itu saya faham apa yang ia rasakan.

Kak Ilsa menangis bukan karena dimarahin Bunda. Karena sepanjang proses belajar tadi tidak ada satu kata pun yang menunjukkan bunda diselimuti amarah. Intonasi yang meninggi iya, tapi semua masih dalam lingkup yang wajar dan (bagi saya) tidak ada kata-kata yang menyakitkan. Kak Ilsa menangis mungkin karena Ia frustasi, "mengapa aku tidak bisa bersahabat baik dengan kumpulan angka-angka ini?" atau "mengapa mereka berlompatan tanpa bisa aku kuasai?" atau pertanyaan serupa lainnya yang mengarahkan kepada "astaga, susah sekali matematika ini?"

Entahlah, saya tidak akan mengambil kesimpulan apapun. Tapi jika menarik garis turunan dari DNA saya, mungkin apa yang Kak Ilsa rasakan adalah sama persis dengan apa yang saya rasakan puluhan tahun yang lalu ketika saya kebingungan saat berhadapan dengan pecahan yang berbeda penyebut. Atau beberapa tahun setelahnya ketika saya benar-benar tak bisa memahami persamaan kuadrat. Sepertinya saya bisa menyelami isi fikiran anak saya sendiri dari air mata yang jatuh itu.

Saya yang berniat "mengejek" Kak Ilsa dengan lagu diatas langsung merasa bersalah. Tak ada satu spesies pun di muka bumi yang tega mengejek anaknya sendiri yang kesulitan mengerjakan matematika dengan lagu konyol tersebut, bahkan beruang dan kangguru sekalipun. Saya peluk Kak Ilsa dan saya usap air matanya. Saya besarkan hatinya dengan kata-kata Mutiara dari Mario Teguh, Dalai lama dan Nelson Mandela. Tapi kak Ilsa tidak merespon karena kata-kata tersebut terlalu mengawang-awang dan utopis.

"Gak apa-apa kak, namanya juga belajar. Nanti kakak pasti bisa kok mengerjakannya. Nanti pada saat kakak mempelajarinya untuk kedua kali pasti akan lebih faham. Yang penting jangan menyerah" Kak ilsa nampak mulai tenang dengan kata-kata hangat saya tersebut. Saya pun mulai memikirkan kalimat indah berikutnya untuk mengangkat moral kakak. Mulut saya hampir saja melanjutkannya dengan nasihat yang menggunakan diri saya sendiri sebagai contoh. meninggikan diri saya sendiri alias ujub berbalut nasihat.

"Liat ayah, walapun gak jago matematika, tapi bisa menaklukkan bunda" atau "Ah, matematika! Apa itu?! gak penting! Ayah gak jago matematika juga bisa jadi guru favorit tiap bulan November!"

Tapi sejurus kemudian saya sadar bahwa ini bukan tentang saya. Ini tentang Kak Ilsa yang harus menemukan "dirinya". Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam pola pendidikan kita sebagai guru dan orang tua, ada kecenderungan untuk mengasosiasi atau mengaitkan apa yang dialami oleh anak dan murid kita dengan apa yang pernah kita alami atau kita capai.

Kata-kata seperti, "Ini sih belum seberapa, Ibu dulunya..." atau "Masa, gitu aja ndak bisa, bapak dulu lebih dari ini lho..." atau "Mama dulu belajar 20 jam sehari, kau bisa liat sekarang hasilnya gimana ..." dan kalimat-kalimat lain yang bermaksud memotivasi namun justru terjebak pada pembanggaan diri ataupun meninggikan nilai-nilai tertentu yang dialami di masa lalu. Kecenderungan "narsistik" dan "adu nasib" tersebut sebenarnya menunjukkan kalau kita tidak berfokus pada apa yang dialami dan dirasakan anak, tapi lebih kepada keakuan yang menuntut anak berfikir dan bersikap seperti halnya diri kita sekian dekade yang lalu. Melakukan asosisasi diri capaian diri dengan capaian anak, terutama jika orangtua memiliki capaian yang mengesankan, tentu akan membebani anak. Ada kecenderungan bahwa anak akan merasa terbebani dengan hal tersebut. Belum lagi mereka akan merasa jengah dengan ke"aku"an yang selalu kita tampilkan. Pun, jika yang kita bandingkan adalah level penderitaan kita dimasa lalu dengan yang mereka alami sekarang, hal itu akan memunculkan persepsi bahwa kita tidak sedang mendengar dan memahami yang mereka rasakan. Kita tidak sedang berempati dengan hal yang sedang terjadi.

Mengasosiasi atau memusatkan fokus pada pencapaian ataupun penderitaan kita di masa lampau dan meminta anak untuk berfikir dan bersikap serupa sebenarnya adalah tanda bahwa kita tidak sedang berfokus kepada anak tapi kita hanya sedang berusaha menduplikasi hidup kita kepada mereka.

Tapi ya, bisa jadi apa yang saya fikirkan diatas hanya excuse saya pribadi untuk lebih permisif kepada pencapaian anak yang belum maksimal. Agak permisif dan lebih nerimo sepertinya bukanlah hal yang buruk. Bagi saya, kalaupun kak Ilsa ternyata nanti tak jago matematika tidaklah mengapa. Tapi ia harus tetap belajar matematika semaksimal mungkin karena kita tidak tahu jalan hidup mana yang kelak akan ia dapatkan (atau ia pilih). Begitupun kalau ternyata Kak ilsa lebih menonjol di bidang lain, bahasa atau seni misalnya, maka bidang itu haruslah menjadi bidang yang harus melejitkan potensi terbaiknya sebagai seorang anak manusia.

Saya tak menampik dan tidak memungkiri bahwa ketika Kak ilsa dan Dek Tristan lahir dan tumbuh, selalu terbesit dalam benak saya agar mereka bisa jadi dokter, astronot, diplomat, Thomas Alfa Edison, Issac Newton, Lionel Messi, Jokowi, atau standar-standar tinggi lainnya yang menunjukkan bahwa mereka sebagai anak, dan saya sebagai orang tua, adalah kumpulan insan yang berhasil dalam mengarungi hidup. Tapi rasa-rasanya saya juga telah siap dan menerima jika anak-anak saya tidaklah se-Excelent yang saya harapkan dan impikan. Mereka bukan asset yang harus saya dorong sedemikian rupa untuk menjadi objek yang akan menjadi simbol kebanggaan pribadi saya. They are not my property; they live their own life. Pada titik ini, saya cuman berharap bahwa mereka dapat mencapai apa yang selalu didengungkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu menjadi insan yang selamat dan bahagia.

Tapi sekali lagi manusia bisa berubah, walaupun saat ini saya tampak sangat bijak dengan konsep ideal parenting dan pendidikan terhadap anak, bisa jadi sekian puluh tahun dari sekarang saya malah jadi orang yang getol memuluskan langkah anak saya di dunia politik dengan segala cara. Karena pada dasarnya hidup itu seperti setumpuk tempe, tidak ada yang tahu.

Air mata kak Ilsa telah mengering. Dari kedua bola matanya itu tampak optimisme yang membuncah atas motivasi dan dukungan yang telah saya berikan. Mata yang berbinar itu seolah berkata "Ayo yah, kasih kakak pertanyaan yang lebih susah"

"Hasil dari (3x + 4) (4x -3) adalah..." ujar saya mantap memberi pertanyaan.

Dengan goyangan pinggul dan ekspresi yang menyebalkan, Dek Tristan dan Kak Ilsa tiba-tiba bernyanyi dan bergoyang

"Matematika, Ilmu yang mematikan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun