"Liat ayah, walapun gak jago matematika, tapi bisa menaklukkan bunda" atau "Ah, matematika! Apa itu?! gak penting! Ayah gak jago matematika juga bisa jadi guru favorit tiap bulan November!"
Tapi sejurus kemudian saya sadar bahwa ini bukan tentang saya. Ini tentang Kak Ilsa yang harus menemukan "dirinya". Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam pola pendidikan kita sebagai guru dan orang tua, ada kecenderungan untuk mengasosiasi atau mengaitkan apa yang dialami oleh anak dan murid kita dengan apa yang pernah kita alami atau kita capai.
Kata-kata seperti, "Ini sih belum seberapa, Ibu dulunya..." atau "Masa, gitu aja ndak bisa, bapak dulu lebih dari ini lho..." atau "Mama dulu belajar 20 jam sehari, kau bisa liat sekarang hasilnya gimana ..." dan kalimat-kalimat lain yang bermaksud memotivasi namun justru terjebak pada pembanggaan diri ataupun meninggikan nilai-nilai tertentu yang dialami di masa lalu. Kecenderungan "narsistik" dan "adu nasib" tersebut sebenarnya menunjukkan kalau kita tidak berfokus pada apa yang dialami dan dirasakan anak, tapi lebih kepada keakuan yang menuntut anak berfikir dan bersikap seperti halnya diri kita sekian dekade yang lalu. Melakukan asosisasi diri capaian diri dengan capaian anak, terutama jika orangtua memiliki capaian yang mengesankan, tentu akan membebani anak. Ada kecenderungan bahwa anak akan merasa terbebani dengan hal tersebut. Belum lagi mereka akan merasa jengah dengan ke"aku"an yang selalu kita tampilkan. Pun, jika yang kita bandingkan adalah level penderitaan kita dimasa lalu dengan yang mereka alami sekarang, hal itu akan memunculkan persepsi bahwa kita tidak sedang mendengar dan memahami yang mereka rasakan. Kita tidak sedang berempati dengan hal yang sedang terjadi.
Mengasosiasi atau memusatkan fokus pada pencapaian ataupun penderitaan kita di masa lampau dan meminta anak untuk berfikir dan bersikap serupa sebenarnya adalah tanda bahwa kita tidak sedang berfokus kepada anak tapi kita hanya sedang berusaha menduplikasi hidup kita kepada mereka.
Tapi ya, bisa jadi apa yang saya fikirkan diatas hanya excuse saya pribadi untuk lebih permisif kepada pencapaian anak yang belum maksimal. Agak permisif dan lebih nerimo sepertinya bukanlah hal yang buruk. Bagi saya, kalaupun kak Ilsa ternyata nanti tak jago matematika tidaklah mengapa. Tapi ia harus tetap belajar matematika semaksimal mungkin karena kita tidak tahu jalan hidup mana yang kelak akan ia dapatkan (atau ia pilih). Begitupun kalau ternyata Kak ilsa lebih menonjol di bidang lain, bahasa atau seni misalnya, maka bidang itu haruslah menjadi bidang yang harus melejitkan potensi terbaiknya sebagai seorang anak manusia.
Saya tak menampik dan tidak memungkiri bahwa ketika Kak ilsa dan Dek Tristan lahir dan tumbuh, selalu terbesit dalam benak saya agar mereka bisa jadi dokter, astronot, diplomat, Thomas Alfa Edison, Issac Newton, Lionel Messi, Jokowi, atau standar-standar tinggi lainnya yang menunjukkan bahwa mereka sebagai anak, dan saya sebagai orang tua, adalah kumpulan insan yang berhasil dalam mengarungi hidup. Tapi rasa-rasanya saya juga telah siap dan menerima jika anak-anak saya tidaklah se-Excelent yang saya harapkan dan impikan. Mereka bukan asset yang harus saya dorong sedemikian rupa untuk menjadi objek yang akan menjadi simbol kebanggaan pribadi saya. They are not my property; they live their own life. Pada titik ini, saya cuman berharap bahwa mereka dapat mencapai apa yang selalu didengungkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu menjadi insan yang selamat dan bahagia.
Tapi sekali lagi manusia bisa berubah, walaupun saat ini saya tampak sangat bijak dengan konsep ideal parenting dan pendidikan terhadap anak, bisa jadi sekian puluh tahun dari sekarang saya malah jadi orang yang getol memuluskan langkah anak saya di dunia politik dengan segala cara. Karena pada dasarnya hidup itu seperti setumpuk tempe, tidak ada yang tahu.
Air mata kak Ilsa telah mengering. Dari kedua bola matanya itu tampak optimisme yang membuncah atas motivasi dan dukungan yang telah saya berikan. Mata yang berbinar itu seolah berkata "Ayo yah, kasih kakak pertanyaan yang lebih susah"
"Hasil dari (3x + 4) (4x -3) adalah..." ujar saya mantap memberi pertanyaan.
Dengan goyangan pinggul dan ekspresi yang menyebalkan, Dek Tristan dan Kak Ilsa tiba-tiba bernyanyi dan bergoyang
"Matematika, Ilmu yang mematikan"