Mohon tunggu...
Andy Fitrianto
Andy Fitrianto Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang waktu kecil pengen jadi baja hitam robo

a father, a teacher, a runner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Antar Materi Modul 2.3

25 Juli 2024   12:41 Diperbarui: 4 Agustus 2024   22:44 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Coaching merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan potensi guru dan kualitas pembelajaran. Program Guru Penggerak, yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menempatkan guru sebagai coach yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan mendampingi rekan-rekan sejawatnya. Coaching ini memiliki relevansi yang kuat dengan peningkatan kualitas pembelajaran.

Guru Penggerak sebagai coach di sekolah memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuan guru-guru lain melalui proses pembelajaran yang reflektif dan kolaboratif. Proses coaching ini berfokus pada peningkatan kompetensi profesional guru, mendorong mereka untuk terus belajar, berinovasi, dan mengadopsi praktik-praktik pengajaran yang lebih efektif. Dengan adanya coaching, guru tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru tetapi juga dilatih untuk menerapkan strategi-strategi pengajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran secara keseluruhan.

Dalam modul 2.3 tentang coahing ini, saya belajar tentang bagaimana melejitkan potensi murid ataupun rekan sejawat yang menjadi mitra dalam proses coaching. Proses coaching melibatkan mendengar empatik, pengajuan pertanyaan yang berkualitas dan kesadaran diri yang kuat dalam proses dialog yang mengarahkan coachee untuk dapat menemukan sendiri solusi atas permasalahan yang dihadapi sehingga memunculkan kesadaran intrinsik atas langkah yang diambil dalam penanganan masalah tersebut.


Dalam pengalaman belajar yang terjadi, saya menemukan suatu konsep berfikir yang paling mendasar Ketika akan melakukan proses coaching yakni tentang menjadi coach yang memiliki kesadaran penuh dan tidak menghakimi. Dengan menjadi pribadi yang objektif dan tidak memiliki prasangka atas kasus yang terjadi, pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan objektif yang ditujukan benar-benar untuk membantu coachee dalam menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi.


Dengan apa yang sudah saya pelajari dan saya kaitkan dengan atribut yang saya miliki, maka saya dapat melihat jika kemampuan saya dalam meramu pertanyaan terbuka untuk mengarahkan coachee menemukan solusinya secara pribadi adalah hal yang sudah baik dan perlu dipertahankan. Namun di sisi lain, saya merasa bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki perihal keterlibatan dalam proses belajar coaching yakni menguatkan kesadaran diri agar tercipta mindfulness dalam tiap proses coaching hingga tercipta interaksi yang baik dan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Semua hal yang dipersiapkan untuk melaksanakan coaching tersebut pada akhirnya akan mengarahkan kepada peningkatan komptensi baik coach maupun coachee serta mengarahkan kepada kematangan pribadi. Kematangan dalam hal ini adalah tentang menjadi pribadi yang peduli dan mau untuk mendengarkan orang lain dengan dasar empati yang tinggi serta membantu mereka melejitkan potensi serta menemukan solusi.
Hal yang kemudian menjadi fokus utama pemikiran saya dan harus digali lebih jauh adalah bagaimana coaching ini dapat menjadi suatu proses diskusi berkualitas yang benar-benar dilaksanakan dalam dunia nyata. Terlepas dari segala konsep materi yang begitu menarik dan inspiratif, mengejawantahkan setiap gagasan dalam modul coaching tersebut kedalam diskusi yang sesungguhnya memerlukan kesungguhan dan komitmen dalam menjalankan tiap tahapan coaching yang disesuaikan dengan peruntukannya. Coaching adalah sebuah konsep ideal dalam penemuan solusi masalah murid maupun rekan sejawat, namun sayangnya dalam dunia nyata banyak sekali hal tidak ideal yang pada akhirnya menjadi gap atau jarak antara konsep dan praktiknya.

Salah satu gap tersebut adalah, tidak setiap dari CGP akan memiliki kesempatan melakukan coaching secara formal dengan rekan sejawat. Ada banyak hal yang menyebabkan proses coaching formal ini tidak terbentuk. Salah satu faktor yang paling utama tentu saja budaya. Budaya berdiskusi tentang suatu hal penting untuk dicari solusinya mungkin tidak selalu bisa ditemukan di semua sekolah. Budaya untuk menjadi seorang rekan yang memiliki mental dan cara pandang seorang coach juga belumlah terbentuk. Alhasil setiap kali terjadi proses diskusi tentang pencarian solusi masalah dengan rekan kerja, pola diskusi yang seringkali muncul adalah melakukan asosiasi dengan pengalaman pribadi yang berujung pada menggurui dan memberi solusi langsung tanpa memberi kesempatan kepada coachee untuk menemukan solusi mereka sendiri.

Lebih lanjut lagi, perihal kemungkinan melakuan coaching di dunia nyata, sebenarnya hal tersebut juga bisa dilakukan dalam diskusi-diskusi informal tanpa harus menunggu terjadinya coaching formal. Acap kali kita sering meremehkan curhatan rekan kerja disela-sela aktifitas sehari-hari hanya sebagai obrolan ringan semata. Jika saja dalam setiap obrolan curhatan tersebut kita menghadirkan diri sepenuhnya dengan mendengar empatik dan menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan tidak mungkin sebuah obrolan ringan tadi justru berubah menjadi diskusi berkualitas yang membangun.

Namun demikian, tidak serta merta apa yang kita harapkan dalam proses coaching akan berjalan sesuai apa yang kita harapkan. Seperti halnya buku panduan cara bermain sepakbola tidak serta merta membuat kita mampu mengalahkan Barcelona. Pun mempelajari materi coaching ini tidak pula membuat kita dapat langsung menciptakan diskusi ajaib yang berkualitas. Kita tidak akan secara instan terlepas dari asumsi dan asosiasi, pertanyaan terbuka yang dapat menggiring pun bukan hal mudah untuk dilakukan. Itu baru dari sisi coach saja. Dilihat dari sisi coachee pola diskusi model ini pun mungkin bukan hal umum ditemukan. Terutama ketika coachee berharap akan solusi yang datangnya dari orang lain, bukan dari mereka sendiri.

Namun demikian, akan selalu ada pertama kali untuk segala hal. Termasuk proses ber-coaching. Kemampuan kita untuk mendengarkan curhatan kawan dengan kesadaran diri yang tidak menghakimi, menyusun pertanyaan terbuka yang tidak sekedar “terbuka”, tapi mampu menjadi panduan coachee untuk menemukan jalan akan terbentuk dengan sendirinya seiring berjalannya diskusi yang dilaksanakan dengan mindfully.

Dari apa yang sudah dipelajari tentang materi coaching ini, saya mendapati beberapa hal di masa lalu yang saya anggap kurang tepat jika kita terapkan dalam sebuah diskusi dengan rekan sejawat ataupun murid, utamanya jika diskusi tersebut dimaksudkan menjadi sebuah proses coaching. Hal yang kurang tepat itu adalah asumsi dan asosiasi. Saya acapkali melabeli atau memberikan penilaian terlalu jauh kepada lawan bicara ketika mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Nyatanya penilaian tersebut rawan mengakibatkan bias pada apa yang kemudian akan saya sampaikan atau tanyakan. Kecenderungan mengasumsi tersebut kemudian akan mengarahkan kepada kecenderungan mengasosiasi. Tindakan menghubungkan apa yang dialami orang lain dengan apa yang pernah kita alami untuk kemudian memberikan pandangan dari sudut pandang kita bisa jadi tetap akan memberikan manfaat dan mencerahkan. Namun hal tersebut nampaknya memperkecil kemungkinan seseorang untuk dapat menjadi mandiri dan menjadi pribadi yang tergerak secara intrinsik untuk menjalankan apa yang mereka percayai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun