Mohon tunggu...
Muhammad Andy Dava
Muhammad Andy Dava Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Partikelir Timur Jawa Dwipa Penikmat Sejarah, Politik, Filsafat, Kopi, dan Alkohol Lokal

Amorfati Ego Fatum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

One Belt-One Road, Jalur Sutra Abad-21 China

7 Maret 2021   16:07 Diperbarui: 7 Maret 2021   18:09 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan atau yang biasa disebut dengan OBOR atau sebutan yang lebih sensitif, yaitu Jalur Sutra Baru (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21) adalah strategi pembangunan yang diusulkan oleh Pemimpin Pemerintahan Tiongkok, Xi Jiping, yang berkonstelasi pada konektivitas dan kerjasama kooperatif antara negara-negara Eurasia, terutama Republik Rakyat Tiongkok. Strategi tersebut menegaskan tekad Tiongkok untuk mengambil peran lebih besar dalam urusan global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Tiongkok. Jalur Sabuk (Belt) adalah jalur darat. Sedangkan Sabuk Jalan (Road) adalah jalur laut.

Pemerintah Tiongkok tengah merencanakan dan menjalankan proyek pembangunan kurang lebih 60 negara dengan estimasi biaya lebih dari 1 triliun US$, konflik Laut China Selatan dan poros Jakarta-Beijing-Moskow menjadi landasan Tiongkok berambisi untuk menjadi 'pemimpin' bagi Eurasia, khususnya Asia. 

Tiongkok mempunyai kendali penuh sepanjang Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan beberapa negara lain di Asia. Dapat dianalisa peranan Tiongkok pada konflik Tibet terlebih dahulu. Kebijakan represif Tiongkok terhadap Tibet merupakan babak awal bagi Tiongkok menuju negara pengendali dengah pengaruh hegemoni, menggantikan Amerika Serikat.

Dalam proses hegemoni atau bentuk Neo-Imperialisme China yang menggantikan Amerika Serikat berawal dari konflik di Timur Tengah. Amerika Serikat mengincar jalur sutra, Tiongkok pun mengincar hal yang sama, sedangkan negara yang dilanda konflik? Tentunya lebih memilih bersekutu dengan blok Timur daripada harus menyerah ke tangan Amerika dan sekutu.

OBOR dapat mengancam kedaulatan dan stabilitas negara lain? Zorawar D Singh dalam tulisannya mengatakan bahwa meskipun OBOR ditulis sebagai inisiatif ekonomi tetapi memiliki implikasi yang lebih dalam, khususnya keamanan.

Sejauh mana aktivitas ekonomi Tiongkok yang meningkat di sepanjang jalur laut ini akan diterjemahkan ke dalam aktivitas militer dan dalam bentuk peningkatan kehadiran militer, terutama dalam hal instalasi permanen dan basis dukungan belum diketahui pasti.

Jika kalian penasaran, silahkan cari berita mengenai pangkalan militer milik Tiongkok di sepanjang jalur sutra. Nanti kalian akan paham sendiri kenapa Tiongkok rela membuat mega proyek dengan estimasi biaya lebih dari 1 triliun US$.

Negara-negara yang berhadapan langsung dengan proyek OBOR, akan memainkan peran yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan OBOR. Pemimpin di negara-negara yang terjena dampak OBOR melakukan pengembangan sektor maritim sebagai sarana untuk meningkatkan konektivitas di dalam negeri dan dengan dunia. Oleh sebab itulah, berbagai upaya pengembangan kegiatan maritim. Sedangkan keuntungan negara yang terkena dampak OBOR ialah pengembangan industri dan investasi asing maupun pengembangan infrastruktur.

Diperkirakan China akan menggelontorkan sekitar Rp 12.000 triliun dalam beragam proyek infrastruktur di sepanjang jalur sutra, termasuk negara di Asia Tenggara, negosiasi teramat krusial lantaran China pasti menginginkan keuntungan besar dalam konteks bisnis maupun politik.

China punya kekuatan ekonomi, militer, geopolitk. Negara do Asoa Tenggara 'khususnya' mungkin mendapatkan sesuatu, tetapi tidak dengan harga murah, pasti China meminta tradeoff. Tradeoff apakah yang diinginkan oleh China dan membuat beberapa negara bankgrut seketika karena utang luar negeri? Tentunya China meminta jaminan perusahaan milik negara. Tentang betapa bahayanya OBOR seperti yang telah dibahas dalam tulisan di atas.

Laman Tirto.id memuat tentang langkah Malaysia dan Pakistan yang menyatakan akan menimbang ulang kesepakatan mereka dengan China terkait Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan atau OBOR. Islamabad merasa bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani kedua negara lebih dari satu dekade yang lalu itu tidak adil dan lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan China.

China-Pakistan Economic Corridor adalah proyek pembangunan raksasa yang bertujuan untuk menyambungkan Pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan daerah Xinjiang di China melalui jalan raya, jalur kereta, serta pipa bawah tanah. Menurut Financial Times, CPEC merupakan proyek terbesar dan paling ambisius dari OBOR yang nilainya sekitar 62 miliar US$. PM Malaysia, Mahathir Mohamad pada bulan Juli kemarin mengatakan sejumlah proyek terkait OBOR di Malaysia dihentikan sementara dan biaya-biaya proyek itu akan ditinjau kembali.

Keputusan itu diambil oleh PM Malaysia karena ia tidak mau terciptanya sebuah kondisi di mana kolonialisme versi baru tercipta karena negara-negara miskin tidak mampu bersaing dengan negara kaya, maka dari itu kita membutuhkan perdagangan yang adil.

Financial Times mencatat, Pakistan, Sri Lanka, Laos, dan Montenegro, masuk dalam daftar proyek OBOR yang tersendat dan berakhir dengan utang yang menggunung, seperti kasus Sri Lanka dan Maladewa. Jumlah negara yang mengalami hal serupa bukan tidak mungkin akan bertambah. Menurut Financial Times, banyak dari 70-an negara yang terlibat dalam OBOR adalah negara-negara dengan ekonomi yang cukup berisiko menurut data yang dikeluarkan oleh OECD.

Guardian melaporkan, mereka khawatir China akan menggunakan OBOR sebagai alat diplomasi perangkap utang yang nantinya akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang menguntungkan China, misalnya dalam kasus pertikaian LCS dan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sejumlah negara lain juga khawatir bahwa kehadiran China melalui OBOR di banyak negara akhirnya akan berujung pada ekspansi militer.

Di Indonesia sendiri salah satu proyek OBOR yang sedang berjalan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Presiden Jokowi menyambut OBOR secara posiitf karena dirasa sejalan dengan visinya untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara maritim.

Meski demikian, laporan dari Tenggara Strategics, Indonesia mesti bersikap hati-hati terhadap inisiatif tersebut. Terlebih, kontroversi terkait rumor tenaga kerja China dalam waktu beberapa terakhir ini cukup marak. Bukan tidak mungkin, saat Indonesia ataupun negara-negara yang terlibat dalam proyek OBOR tidak berhati-hati, negara-negara ini akan memiliki masalah dengan OBOR.

*Lengkapnya mengenai One Belt-One Road: Refleksi Awal Globalisasi China "Jalur Sutera" sebagai Bentuk Corak Ekonomi Politik China Abad 21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun