Mohon tunggu...
a_selaludihati
a_selaludihati Mohon Tunggu... Guru - Andy Hermawan

Terlahir dengan nama Andy Hermawan, saat ini berprofesi sebagai edupreneur dan pendongeng.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Setop Menjadi Generasi Cengeng, Mulailah Membangun dari Tempat Anda

1 Juli 2020   16:00 Diperbarui: 1 Juli 2020   15:57 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hari yang lalu, dalam sebuah group komunikasi kami yang berisi pengelola sekolah tiba-tiba menginformasikan, bahwa ada beberapa sekolah yang berada satu wilayah dengannya akan menerapkan re-opening sekolah dengan menerapkan sistem pembatasan murid. 

Hal ini kemudian memunculkan suatu pemikiran, jika dalam kondisi seperti ini,  maka survival mode dan keterbatasan sarana pendukung pembelajaran online sepertinya banyak memunculkan sekolah yang memilih membuka kembali sekolah demi bertahan hidup meski tidak berada di zona hijau. 

Padahal pemerintah sudah memberikan surat edaran resmi, bahwa sekolah yang berada di zona hijau baru dapat membuka kembali sekolahnya sekitar 5 atau 6 bulan setelah zona wilayah tersebut dinyatakan benar-benar hijau, bahkan ketika pada saat sekolah dibuka kembali, dan dalam perjalanannya malah muncul kasus baru terkait Covid-19, maka dengan tegas, sekolah tersebut harus ditutup, terutama untuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Mengapa? Karena anak-anak pada usia ini sangat rentan terpapar vidus Covid-19. 

Sementara di group yang berdiskusi mengenai "zona nyaman", lagi-lagi hal ini bermula dari sebuah curhatan tentang ungkapan "guru harus mau keluar dari zona nyaman". Yang menjadi pertanyaan, zona nyaman seperti apa yang dimaksud? 

Kedua permasalahan di atas merupakan respon dari suatu peristiwa yang telah dialami teman-teman saya yang selama ini membaktikan dirinya sebagai pendidik. 

Pandemi Covid 19 yang membuat tiap keluarga belajar di rumah saja tanpa tatap muka di sekolah, justru menjadi ujian bagi semua warga belajar. Pandemi menjadi titik balik bagi seluruh warga belajat untuk merekonstruksi pola pikir untuk menjawab kondisi yang terjadi saat ini bahwa sekolah bisa di mana saja, belajar bisa dari siapa saja. 

Partner saya sebagai founder Kultur Metamorfosa Istimewa yang kebetulan berada dalam group diskusi tersebut menyatakan, bahwa saat ini kita harus melakukan manuver model belajar yang tepat, bukan lagi dengan cara konvensional, tepat disini mengacu pada ketepatan kebutuhan belajar peserta didik, ketersediaan waktu belajar, ketersediaan sarana, kesesuaian dengan gaya belajar masing-masing peserta didik. 

Artinya kita harus selalu siap dengan perubahan, termasuk mengatur proses tatap muka dengan memanfaatkan teknologi, untuk itu perlu disukseskan dengan membangun komitmen bersama, membuat perencanaan baru yang lebih baik. 

Hubungan antara Tri Pusat Pendidikan (guru, murid, dan orangtua) harus berjalan harmonis, selalu memunculkan romantisme demi terciptanya ekosistem belajar yang benar-benar hidup dan menjadi ruang untuk belajar dan bertumbuh. Sepertinya untuk menyadarkan kita mengenai keutamaan keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama harus dengan "sentilan" Covid. 

Jika kita mau mereview kembali pengalaman-pengalaman yang hadir pada lampau, dari mulai kita bersekolah, hingga sebelum pandemi datang, dapat digunakan sebagai suatu riset kecil atas apa yang pernah kita alami, terutama terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan ketika kita bersekolah. 

Mengapa pengalaman yang seperti ini penting untuk direview kembali? Jawbannya, ya agar kita tidak terjebak pada pengalaman yang sama. Pengalaman tidak menyenangkan kok direproduksi. 

Saya rasa yang pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan di sekolah bukan hanya saya, tetapi kita semua pasti pernah mengalami hal serupa. 

Bagaimana bisa belajar jika tidak menyenangkan, apalagi ditambah dengan adanya tekanan? Membuka kembali sekolah di wilayah zona yang "belum hijau", dan guru yang tidak mau keluar dari zona nyaman adalah ciri satuan pendidikan yang tidak tidak meyakini bahwa sesungguhnya siswa merupakan subjek atau pusat belajar yang menghadirkan pengalaman pada dirinya. 

Karena mengajar yang lazim kita alami sesungguhnya membutuhkan prasyarat bahwa siswa memang datang dan butuh untuk "diajar", bukan kita yang tiba-tiba datang mau mengajar mereka. 

Memangnya kita benar-benar dibutuhkan oleh mereka (siswa)? Yang perlu kita semua tahu, pengetahuan atas pengetahuan yang paling hakiki dan sejati harus dialami oleh seluruh pancaindera, jasad, maupun rohani secara langsung terkait dengan pengaruh proses kehidupan dan pengalaman (apa yang dilakukan dan apa yang dialami)  dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan kata lain, sangatlah disayangkan jika pilihan yang disajikan hanyalah metode siswa yang hanya duduk dengan melipat tangan, memasang telinga dan mendengarkan guru memberi nasihat.

Selain itu penerapan pemberian niai sebagai hasil dari suatu proses belajar juga dapat dikategorikan sebagai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan. Apalah yang bisa diceritakan oleh angka 6, 7, 8, atau bahkan 9? 

Bisakah ia menceritakan tentang proses, jatuh bangunnya, kebangkitannya dari kegagalan, hingga semangat yang baru lagi untuk mencoba? Bisakah angka bercerita soal perkembangannya yang signifikan soal penyesuaian dirinya dengan teman? 

Membandingkan kecerdasan anak satu dengan yang lainnya, secara ekstrim bisa diibaratkan ketika kita membandingkan kemampuan terbang antara burung dengan orang utan. Atau ketika kita membandingkan kempuan berenang antara kucing dengan ikan. 

Tidak adil bukan? Kompetisi yang sebenarnya adalah dengan diri sendiri. Berhasilnya belajar bukan karena mampu mengalahkan orang lain, tetapi karena menjadi lebih baik, lebih paham, makin mampu dari hari ke hari. 

Semua model proses belajar yang mengedepankan pembentukan ekosistem merdeka belajar tidak mungkin dihentikan hanya karena telah menyelesaikan atau telah menamatkan di bangku sekolah tertentu, sebab sesuatu yang dilakukan secara sadar oleh manusia selalu mengandung unsur belajar. 

Apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan di masa lalu, apa yang dilakukan pada saat ini, seperti apa yang direncanakan untuk masa mendatang, semua menunjukkan proses belajar sekaligus bagaimana cara melakukannya. 

Mungkin saja kita tidak mampu melihat hal yang seperti itu merupakan "pengalaman belajar", bisa jadi karena pengetahuan kita tentang belajar selama ini sempit, terbatas, karena dikungkung oleh pemahaman bahwa pendidikan identik dengan "sekolah" yang selama ini kita saksikan dan kita alami. 

Moment ini mengajak kita untuk bisa bermanuver, siap dengan perubahan, termasuk mengatur proses belajar dengan memanfaatkan teknologi. Maka dari itu, STOP MENJADI GENERASI CENGENG, jangan tenggelam dalam ilusi fatamorgana, maupun kondisi masa pandemi ini, walaupun kecil, suka tidak suka, meyakini melalui kemandirian ( madiri sejak dari pola berpikir, tindakan,dan logistik, itulah satu-satunya perubahan yang bisa menjawab harapan kita. Mari kita bangun bersama-sama dengan memulainya dari tempat anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun