Beberapa waktu lalu kita melihat bersama di berbagai media terjadi sebuah kericuhan di sebuah asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur (17/8/2019). Kemudian kericuhan itu berbuntut hingga ke Manokwari dan Sorong. Banyak konflik-konflik serupa sering terjadi di sekitar kita. Saya rasa siapapun tidak menginginkan adanya suatu pertikaian yang akhirnya dapat menimbulkan kerusakan hingga korban jiwa.Â
Namun percikan-percikan api kecil sering muncul dan dengan mudahnya dapat tersulut hingga membesar. Saya tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai peristiwa ini lebih lanjut, saya hanya ingin mengajak kompasioner sekalian untuk sama-sama belajar mengelola konflik dengan baik agar tidak mudah terprovokasi atau memprovokasi suatu konflik karena kitasemuabersaudara. Mari kita simak bersama. Kata konflik berasal dari bahasa Latin "confegere" yang berarti saling memukul.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik berarti pertentangan, percekcokan, atau perselisihan.
Dalam sudut ilmu Sosiologi, konflik sosial dapat diartikan sebagai berbagai masalah sosial yang menimbulkan pertentangan dalam kehidupan masyarakat atau bernegara, yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat atau pandangan tertentu, akibat tidak adanya rasa toleransi dan perasaan saling mengerti akan kebutuhan individu masing-masing.
"Apa penyebab konflik?"
- Perbedaan Inividual
- Perbedaan Kebudayaan
- Perbedaan Kepentingan
- Perbedaan Sosial
" Apa sajakah macam-mocam konflik?"
- Konflik Sosial
- Konflik Antar Kelompok
- Konflik Antar Negara
- Konflik Antar Organisasi
- Konflik Individu
" Dengan cara apa saja konflik dapat diatasi?"
- Â Paksaan ( Koersi )
- Â Arbitrasi
- Â Mediasi
- Â Negosiasi
Yang akan kita bahas kali ini mengelola konflik dengan menggunakan metode "Daur Belajar"
" Bagaimana daur belajar itu?"
" Dapat diterapkan untuk siapa saja, dimana?"
" Kapan saatnya dipakai?"
Disebut sebagai daur belajar, agar kita sama-sama belajar merespon peristiwa apapun dengan mengedepankan keterkaitan hubungan antara sebab dan akibat, daur belajar ini memiliki  konsep yang  mirip dengan daur kehidupan pada makhluk hidup.Â
Jika kita menemukan suatu peristiwa, maka kita harus mengungkap kebenaran atau keabsahan data dari suatu peristiwa tersebut. Data ini bisa kita peroleh dari wawancara dengan siapapun yang dianggap mengetahui peristiwa tersebut, olah tempat kejadian perkara, mengumpulkan bukti fisik, dan lain sebagainya.Â
Kemudian setelah itu kita dapat menganalisis data temuan yang sudah diperoleh secara menyeluruh, dalam menganalisis data ini dapat dibantu dengan memantik pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas dimensi cara berpikir kita. Setelah analisa ini dirasa cukup, maka kita boleh menarik pada suatu kesimpulan, dan setelah memperoleh kesimpulan barulah kita terapkan.Â
Dari gambaran ini, banyaknya konflik terjadi karena sering kali pada saat kita mendengar, mengalami, atau melihat suatu peristiwa, dengan mudahnya kita langsung memberikan kesimpulan, dan ujung-ujungnya menerapkan sebuah eksekusi tanpa mengungkap fakta yang disertai pengumpulan data dan menganalisisnya terlebih dahulu.Â
Kebiasaan yang demikian ini yang menjadikan masyarakat kita mudah sekali terprovokasi dengan adanya suatu peristiwa. Dalam hal ini posisi kita selalu berada sebagai pengikut, bukan sebagai pelopor. Daur belajar ini dapat diterapkan untuk merespon peristiwa apapun yang terjadi pada siapapun yang seitap saat dapat dipakai.Â
Maka, sebelum kita melakukan sesuatu, hendakanya kita dapat menelaah lebih jauh dan lebih dalam terhadap suatu peristiwa yang berkaitan dengan sebab-akibat. Kelolalah konflik dengan baik, agar terjadi suatu penyelesaian yang cantik, agar tercipta suatu kerukunan, kedamaian, ketentraman dan keadailan di negeri kita ini dan selalu mengingat bahwa kitasemuabersaudara.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H