Mati-matian ia lari dari kejaran anjing kampung milik salah satu warga dan setelah lima belas menit akhirnya ia lepas juga dari horornya taring anjing kampung itu. "Dasar asu!" makinya.Â
Hampir saja ia tergigit karena kebodohanya yang tidak dapat ditolerir lagi saat hendak mengambil mangga muda di rumah Hasan Sadili yang kaya raya. Kalau saja istrinya tidak hamil ia tidak akan mau repot-repot mengambil itu.
Sebetulnya, Norman, sahabatnya, telah memberikan saran padanya untuk izin saja dengan alasan masuk akal tentu Hasan Sadili akan memberikan barang satu atau dua buah.Â
Saran itu dia tolak mentah-mentah. Bukan karena ia takut berbicara dengan Hasan yang kaya raya itu, tetapi lebih karen sifat kikirnya yang lebih tinggi dari Merapi di Jogja.
Ia memiliki pengalaman buruk saat hendak meminjam sepeda motor milik Hasan yang kaya raya itu. Suatu hari, istrinya butuh dibawa ke rumah sakit secepatnya karena ada sesuatu yang mengganggu rahimnya saat hamil anak pertama. Saat ini kehamilan istrinya memasuki anak yang ketiga.Â
Hampir tiap tahun jebol terus bikin ia putar-balik otak untuk menutupi biaya persalinan, walhasil koperasi menjadi andalan pinjam dulu dengan memakai sistem gali lubang-tutup lubang. Digali terus, tutupnya malah tertunda-tunda.
Hasan tidak memberikan pinjaman motor, padahal parkiran kirinya yang luasnya cukup untuk bikin kamar dua, diisi delapan motor. "Dasar medit!" tukasnya dalam hati sembari menyunggingkan senyum kecut pada Hasan yang kaya raya lalu berlalu pergi meninggalkannya.
Sejak saat itu ia tidak pernah barang satu kali pun menginjakkan kaki di rumah Hasan yang kaya raya itu. Jangankan menginjakkan kaki, melirik ke dalam pagarnya saat terbuka tipis-tipis kala ia melintas saja ia tidak sudi.
Rasa jijik selalu tiba saat melintasi perempatan Jalan Modang. Hal itu ditenggarai karena ia harus melihat potret Hasan yang kaya raya segede gaban.Â
Potret bahagia calon bupati setempat yang  terpampang dalam spanduk, wajahnya dipenuhi dua gunung di kanan dan kiri, di tengahnya terdapat hidung jambu dengan kumis tipis, matanya yang sipit lebih terlihat seperti tumpukan ijuk sapu yang diratakan persegi panjang.Â
Tidak ketinggalan bentuk wajahnya yang bulat malah seperti donat kentang semakin menambah pantas wajah ini dipadukan dengan salah satu tokoh kartun di televis minggu pagi. Tentu penjabaran ini bukan keluar dari benak penulis, melainkan dari tokoh lelaki yang sedang kita bicarakan ini.
Singkat cerita, ia tidak bisa mendapatkan mangga muda barang satu biji pun karena keburu digonggongi asu. Walhasil dengan muka masam ia pulang dengan langkah gontai.Â
Tangannya terayun ke kanan, ke kiri, seperti hendak putus. Tatapan nanar dari wajahnya membuat siapa saja yang melihatnya saat itu merasakan kesedihan yang amat dalam.Â
Sungguh besar cintanya pada Astuti, istri tercintanya. Dan alasan lainnya ia tidak ingin anaknya jadi ileran seperti apa yang dikatakan kebanyakan orang kalau istri yang ngidam tidak terpenuhi inginnya, otomatis anaknya akan jadi beler. Hal itu ia pegang teguh dan percaya penuh, padahal belum ada bukti ilmiah yang mendukung, tapi yasudahlah kasihan juga melihat rupanya.
Tiga puluh langkah kecil lagi menuju rumahnya ia seperti kena sengatan listrik yang mencuci rasa jijiknya untuk meminta langsung pada Hasan yang kaya raya.
Di depan rumah Hasan ia memencet bel dengan bunyi aungan macan. Mendengar suara itu sontak membuatnya berkicau, "Selera orang kaya memang aneh-aneh." Tidak lama setelah itu, terdengar suara Hasan yang kaya raya.
"Mau apa kamu ke sini heh?"
"Begini pak, sebelumnya maaf mengganggu malam-malam begini, jadi istri saya itu ngidam mangga muda pak dan di sini cuma pak Hasan Sadili yang punya pohon mangga yang terkenal lezat dan manis. Apakah saya boleh meminta satu atau dua biji saja pak untuk memenuhi rasa ngidam istri saya?"
"Halah, bilang aja sam istrimu, tidak perlu ngidam-ngidam begitu. Mangga saya ini sudah saya hitung buahnya, semua itu saya tulis satu-satu siapa yang akan say berikan. Ya, saya sudah menjatah kolega bisnis saya, kolega politik saya, juga kolega arisan istri saya. Itu saja sebenarnya belum cukup. Jadi, mending kamu pulang bilang sana ke istrimu tidak usah ngidam-ngidam. Udah sana, pulang sana, ganggu saja kamu."
Bippp... Bippp... Bippp...
"Tapi pak, pak Hasan, pak... pakkkkkkkkk. Asu. Orang kok pelit amat sih, awas aja kalau anakku lahir sebagai laki-laki, aku tidak akan pernah menamakannya Hasan apalagi sadili, cuiihhh. Muka sama mangga muda sama aja, dasar asu!"
Pagi pemilihan bupati pun tiba. Sontak para panitia merasa terheran-heran bukan kepalang. Wajah Hasan Sadili yang ada di surat suara tiba-tiba berubah menjadi mangga muda. Tidak berhenti sampai di situ, semua spanduk, poster, pamflet yang di berisi foto Hasan Sadili berubah menjadi kepala mangga muda.
"Aaaaaaaaaa... coba papah lihat kek kaca!" jerit istri Hasan Sadili saat bangun tidur dan mendapati suaminya yang berada di samping dirinya dengan kepala mangga muda.Â
Hasan yang masih mengantuk, semacam mengutuk, "apa sih mah... ganggu aja arrggghhhh." "cepat sana cek ke kaca dulu pah!" Hasan yang kaya raya itu pun mengucek kedua matanya lalu beranjak menuju cermin.Â
Jerit yang lebih besar dari jerit istrinya terdengar hingga ke tempat pemungutan suara dilaksanakan berbarenga dengan jeritan Astuti dari rumah dukun beranak saat mendapati anaknya berwajah Hasan Sadili. Suami Astuti pun lari masuk kamar dukun beranak, lalu ia dapati Hasan Sadili dalam wajah anak ketiganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H