Mohon tunggu...
Andy Caesar Shidqi
Andy Caesar Shidqi Mohon Tunggu... Lainnya - pulangpulangpagi

Menuju Waktu Yang Akan Datang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lelaki yang Menggonggong

25 Agustus 2020   15:42 Diperbarui: 26 Agustus 2020   18:20 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kakek tua dan anjingnya. (sumber foto: Unsplash.com/Mandy Henry)

Sesuatu yang aneh selalu merasuki pikirnya ketika ia menatap kaca.

Tidak ada yang istimewa di hari ini. Semuanya terasa sama, seperti hari-hari yang telah berlalu kemarin dan mungkin berlaku pula pada hari setelah hari ini. Pukul sepuluh malam ia mencoba tidur, lagi dan lagi tidak bisa tidur. 

Bayangan mengenai masa silam muncul seketika seperti layar bioskop yang terbentang disinari proyektor pemutar film, dan sudah bisa ditebak, ia tidak bisa tidur hingga pukul tiga pagi, lalu bangun pada pukul enam pagi. 

Hal yang sudah ia lakukan selama tiga bulan ini dengan patuh ia lakukan terus-menerus, seperti minum obat. Patuh dan teratur.

Hal itu berawal dari pertemuannya dengan perempuan malam yang biasa mangkal di emperan toko seputaran jalan Merdeka. Banyak orang bilang, ia adalah primadona jalang yang sedari umur tiga belas tahun sudah menjajakan kelaminya pada para pelancong yang kesepian. 

Tidak diketahui dengan jelas asal-usul perempuan itu. Kecuali pemilik kedai Barito. Yang orang-orang tau hanyalah paras cantik, tubuh aduhai perempuan itu.

Para pelancong yang telah terbiasa datang ke tempat wisata Pulau Indah memang telah mengenal baik perempuan ini, apalagi yang datang hanya untuk bercinta dengannya, tentu tidak sedikit jumlanya.

Dan malam itu, malam yang langitnya penuh dengan bintik-bintik kuning bersinar, ia datang ke wisata Pulau Indah. Ia datang bersama tiga tema kantornya yang memaksa dirinya untuk ikut mereka berwisata berhubung sedang libur panjang, tiga hari. 

Sia-sia belaka jika tidak diisi dengan menghibur diri setelah penat kerja menderu tubuh dan pikiran mereka, tukas salah satu temannya yang bertubuh gemuk dengan mata sipit dan wajah bulat menyerupai pegulat Jepang yang sukanya pakai popok. 

Tidak ada alasan pula untuk menolak ajakan dari teman-temannya karena ia tidak punya agenda, tidak memiliki kekasih, dan rumah orang tuanya pun teramat jauh. Walhasil, dengan sedikit enggan, ia mengiayakan ajakan teman-temannya itu.

Si Wajah Pegulat Jepang memberikan informasi bahwa di Pulau Indah ada perempuan cantik dengan tubuh aduhai bisa ditiduri dengan tarif murah. 

"Ini permpuan kualitas papan atas, murah tapi tidak murahan bung," tukas si Wajah Pegulat Jepang, lalu terbahak dengan napas yang rasa-rasanya hampir habis. Akan tetapi, ia tidak tertarik sedikit pun awalnya. Bahkan cenderung tidak peduli pada perkataan temanya itu.

Teman-temannya telah tiba di depan rumah kostnya, membunyikan klakson yang amat keras membuat banyak orang terganggu. Ia pun segera turun, lalu memaki mereka "Bangsat!" 

Perjalanan menghabiskan waktu lima setengah jam dari kota. Karena mereka berangkat setelah pukul satu siang, maka saat tiba disana langit telah gelap. 

Adzan Maghrib bersahutan menandai waktunya pintu-pintu ditutup sementara. Mereka sampai pula dan memutuskan beristirahat sejenak di kedai minum Barito.

Kedai ini tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman karena berpapasan langsung dengan pantai. Sementara ketiga temannya sedang sibuk berbincang pada pemilik kedai, menanyai penginapan, dan perihal perempuan malam, ia malah sibuk melamun di tepian kedai memandang ombak yang menderu. 

fineartamerica.com
fineartamerica.com
Tidak ada yang dapat memecah konsentrasi melamunya, hingga seorang perempuan melintas di tepian pantai. Baju merah yang ia kenakan begitu mengundang untuk dipandang. 

Rambut yang seperti air terjun itu menjatuhi bahunya, melambai-lambai ditiup angin pantai. Sontak ia pun berdiri dan memutuskan menyusul perempuan itu.

"Hei, mau ke mana kau?" si Wajah Pegulat Jepang meneriakinya.

"Aku mau cari angin ke dekat pantai," balas ia sekenanya.

"Angin kok dicari, jelas-jelas dari tadi angin ada disini, kalau tidak kita kan bakal mati tercekat tidak bisa bernapas, bodoh," Wajah Pegulat Jepang, kembali menimpali dengan ketus.

Tanpa menjawab, ia melenggang keluar kedai menuju ke tepian pantai.

Begitu kagetnya ia ketika telah dekat dan bisa menatap dengan amat jelas wajah perempuan itu. Sonia, dalam hatinya ia berceracau. Itu adalah mantan kekasihnya saat ia sama-sama duduk di bangku kelas satu SMP.

"Apakah kau Sonia? Kau begitu muda"

"Bukan, aku bukan Sonia, mungkin mas salah orang."

"Tidak aku yakin sekali kau Sonia, apa kau tidak mengenaliku?"

"Tidak."

"Sebenci itu kah kau denganku setelah kau kutinggalkan karena aku harus pindah kota mengikuti perpindahan dinas ayahku?"

"Maaf, mas, mas mungkin salah orang."

"Tidak, aku tidak mungkin salah orang."

"Kalau kau tidak percaya, silahkan tanya pada paman disampingku ini, siapa namaku, aku Elia, bukan Sonia."

Lelaki tua disamping Elia menarik dirinya. Lalu mengancam dirinya untuk tidak mengganggu mereka mala mini. Karena mala mini, Elia telah disewanya semalam pnuh dengan tarif ekstra. 

Tanpa berkata-kata, ia pun menyingkir mendekati kedai. Teman-temannya sedang pergi ke seberang jalan mencari penginapan, pemilik kedai berbicara padanya yang masih belum sepenuhnya dapat berpikir jernih. 

Masih ditempa rasa bingung yang teramat karena perempuan tadi benar-benar mirip Sonia, mantan pacarnya. 

Pemilik kedai Barito tanpa aba-aba, bercerita mengenai perempuan itu, tiba-tiba saja firasatnya berkata bahwa lelaki ini memiliki kenangan dengan ibu perempuan itu. Tentu saja pemilik kedai bukan cenayang. Ia hanya merasakan energi cinta yang kuat itu keluar dari lelaki murung ini.

Satu kalimat yang benar-benar membuatnya hampir melompat ialah, "Ibu perempuan itu sempat menitipkan anak itu padaku ketika ia sekarat. Ia bilang titip anak anjing itu. Dan tidak lama setelahnya mati karena kanker payudara yang menggeroggotinya." 

Tanpa pikir panjang, tanpa basa-basi, ia pun berlari keluar kedai. Ia berlari dan terus berlari, jauh berlari, seperti manusia yang tidak punya rasa lelah. Ia akhirnya berlari amat jauh, bahkan untuk seorang atlit lari, belum tentu bisa menyamai staminanya. 

Gila. Ia seperti kerasukan hewan yang dapat berlari sekencang-kencangnya tanpa rasa lelah ketika memburu sesuatu. 

Hingga pada suatu tempat ia menemukan kaca begitu besar terpampang pada pelataran toko dan berhenti sejenak menatap wajahnya yang berubah menjadi anjing. Lalu ia menggonggong sejadinya hingga terdengar sampai pintu kamar hotel tempat Elisa dan paman tua itu bercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun