"Ini permpuan kualitas papan atas, murah tapi tidak murahan bung," tukas si Wajah Pegulat Jepang, lalu terbahak dengan napas yang rasa-rasanya hampir habis. Akan tetapi, ia tidak tertarik sedikit pun awalnya. Bahkan cenderung tidak peduli pada perkataan temanya itu.
Teman-temannya telah tiba di depan rumah kostnya, membunyikan klakson yang amat keras membuat banyak orang terganggu. Ia pun segera turun, lalu memaki mereka "Bangsat!"Â
Perjalanan menghabiskan waktu lima setengah jam dari kota. Karena mereka berangkat setelah pukul satu siang, maka saat tiba disana langit telah gelap.Â
Adzan Maghrib bersahutan menandai waktunya pintu-pintu ditutup sementara. Mereka sampai pula dan memutuskan beristirahat sejenak di kedai minum Barito.
Kedai ini tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman karena berpapasan langsung dengan pantai. Sementara ketiga temannya sedang sibuk berbincang pada pemilik kedai, menanyai penginapan, dan perihal perempuan malam, ia malah sibuk melamun di tepian kedai memandang ombak yang menderu.Â
Rambut yang seperti air terjun itu menjatuhi bahunya, melambai-lambai ditiup angin pantai. Sontak ia pun berdiri dan memutuskan menyusul perempuan itu.
"Hei, mau ke mana kau?" si Wajah Pegulat Jepang meneriakinya.
"Aku mau cari angin ke dekat pantai," balas ia sekenanya.
"Angin kok dicari, jelas-jelas dari tadi angin ada disini, kalau tidak kita kan bakal mati tercekat tidak bisa bernapas, bodoh," Wajah Pegulat Jepang, kembali menimpali dengan ketus.
Tanpa menjawab, ia melenggang keluar kedai menuju ke tepian pantai.