Bintang telah jatuh tertidur pada malam yang terang-benderang dihiasi bulan. Sementara itu, tiga anak kecil masih saja sibuk bermain-main, mondar-mandir seperti tidak bisa tidur. Akhirnya kakek memutuskan untuk naik ke loteng, ke kamar ketiga cucu-cucunya itu, "Ayo lekas tidur para cucuku yang hebat," tukas kakek yang mengagetkan ketiga cucunya itu.Â
Seperti paduan suara mahasiswa, ketiga cucunya menjawab di sisa-sisa rasa kagetnya, "Aku... aku... tidak bisa tidur kakek."Â
"Baiklah kalau begitu kakek akan menceritakan suatu cerita tentang Halida dan Hamida pada kalian, tapi kalian harus berjanji untuk tidur setelah itu, setuju?"Â
"Setuju kek," jawab yang paling kecil.Â
"Gimana ya, yaudah deh iya kek," tukas yang paling tua. "Iya, iya, kakekku," sahut yang nomor dua menimpali.Â
"Kalau begitu naiklah ke tempat tidur kalian masing-masing, kakek akan mulai ceritanya," balas kakek segera.
Selepas siang dua anak kecil biasa bermain-main di kali dekat rumahnya. Tentu saja pada saat itu belum ada sekolah formal pada umumnya seperti sekarang ini.Â
Alam adalah guru besar yang mereka miliki. Mereka berdua menghabisan waktu pagi sampai siang di ladang atau kadang memberi makan sapi-sapi dan domba-domba di kandang, setelahnya, tentu saja bermain.
Mereka berdua kembar, serupa tapi tak sama. Satu yang keluar duluan dari rahim ibunya bernama Halida, sedang satu lagi yang keluar setelah Halida dari rahim ibunya ialah Hamida.Â
Bapaknya biasa memanggil mereka Lida dan Mida. Bagai pinang dibelah dua, wajah mereka sangat-sangat identik, postur tubuh pun begitu, rambut lurus, mata hitam, kulit kuning langsat. Benar-benar komposisi yang pas untuk seorang perempuan yang ada di tahap dewasa awal. Hewan-hewan melata ikut senang menggoda mereka untuk sekadar mendapatkan tawa mereka.Â