Mohon tunggu...
Sesar_____
Sesar_____ Mohon Tunggu... Lainnya - Conten Writer

Menuju Waktu Yang Akan Datang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

4 Novel Iwan Simatupang yang Bagus untuk Penggiat Eksistensialisme

2 Juni 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   10:30 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iwan Simatupang dikenal sebagai pembawa angin baru dalam penulisan novel dalam sejarah Sastra Indonesia. Tulisannya membawa gaya baru, inkonvensional, dan belum pernah dieksplorasi penulis sezamannya. Hal ini didasari pada latar belakang pendidikan, budaya, serta agama yang membentuk pola pikir Iwan dalam menelurkan karya-karyanya.

Karya Novel Iwan berhasil memukau HB Jassin, seorang kritikus sastra yang menyatakan karya Iwan sebagai bentuk baru novel Indonesia dan Chairil pada puisi Indonesia. H.B. Jassin pun memaparkan bahwa Iwan Simatupang sanggup melukiskan dengan jernih jalan pikiran tokoh-tokohnya dan hakikat masalah mereka tanpa selubung-selubung kerahasiaan.

Melalui Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemendikbud, kita dapat mengetahui bahwa pria kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928 silam ini telah mengenyam banyak pengalaman dalam hidupnya. Untuk lebih jelasnya mengenai riwayat singkat kehidupan Iwan dapat di simak dalam tautan ini 

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Iwan_Simatupang

Setelah berhenti dari sekolah kedokteran karena tidak tahan melihat darah dan mayat, Iwan memutuskan ke Jakarta. Di Jakarta ia banyak membaca masalah-masalah kebudayaan yang menghantarkannya menjadi penulis aktif di Mimbar Indonesia dan Siasat.

Perkenalannya dengan kebudayaan, sastra, serta filsafat didapatinya ketika ia mendapatkan beasiswa ke Eropa pada tahun 1954. Iwan mendalami antropologi di Leiden (1956), lalu mendalami drama di Amsterdam (1957), dan mendalami filsafat di Prancis (1958). Pergumulannya dengan budaya Eropa membentuk pola pikir baru yang tercermin dalam tulisan-tulisannya di kemudian hari.

Pertemuannya dengan filsafat di Prancis memberikan banyak masukan bagi tumbuh kembang pemikiran Iwan. Tahun 50an di Prancis, eksistensialisme berkembang subur di bawah naungan Jean Paul Sartre dan rekannya, Albert Camus mengembangkan pemikir pendahulunya, Soren Kierkegaard.

Pada 1946, Sartre menulis essai kontroversial berdjudul "Existensialism Is a Humanism" sebagai responnya atas opini negatif publik terhadap pemikiran eksistensialisme. Tulisan itu mengokohkan posisi eksistensialisme sebagai pemikiran alternatif yang berkembang saat itu.

Belum ada temuan konkret mengenai pengaruh eksistensialisme Sartre yang berkembang di Prancis kala Iwan berkuliah di Sorbone pada pemikirannya.

Akan tetapi, dapat disarikan bahwa lingkungan manusia itu tinggal dapat memengaruhi sedikit banyak pola pikir dan pandangan hidupnya dalam melihat dunia. Pengalaman hidup ini terhimpun dalam penghayatan penulis terhadap kehidupan sekitarnya.

Eksistensialisme menjadi pandangan para tokoh yang dihadirkan Iwan dalam karya-karyanya. Keempat novel yang Iwan hasilkan selama hidup ini memiliki perspektif masing-masing terhadap eksistensi dari para tokoh-tokoh utamanya dalam menjalani hidup, menetukan jalan hidupnya, dan menentukan pilihan dalam hidupnya. Keempat novei ini merupakan karya-karya yang bagus untuk para penggiat eksistensialisme, yakni Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1969), dan Kooong (1975).

Baca Juga:

https://penakota.id/penulis/pulangpulangpagi

Merahnya Merah (1968)

Merahnya Merah menjadi novel pertama Iwan Simatupang yang diterbitkan oleh Penerbit Djembatan tahun 1968. Segera setelah novel ini terbit, novel ini digadang-gadang sebagai pembawa angin baru dalam penulisan novel Indonesia. Tokoh tanpa nama hadir sebagai tokoh utama, hingga tokoh ini disebut "Tokoh Kita".

Novel ini menceritakan tentang cinta segitiga dalam kalangan gelandangan. Tokoh kita menjadi gelandangan setelah menjadi  koamandan kompi, negara mencatatnya sebagai gelandangan, dan ia harus menempuh jalan sebagai manusia yang nyata dikuasai seluruhnya oleh yang ada di luar dirinya dan ia terseret ke dalamnya.

Merahnya Merah didasarkan pada peristiwa terbunuhnya Tokoh Kita di ujung golok Pak Centeng dengan bersimbah darah yang merah. Tumbangnya Pak Centeng di ujung peluru komandan polisi dengan darah yang mengucur "merah" disambut oleh senja yang "merah" di ufuk Barat. Merahnya Merah menjadi novel intelektual yang dimana tindakan, perasaan, dan pikiran tokoh-tokohnya merupakan aktualisasi filsafat.

Ziarah (1969)

Ziarah lahir dari kekecewaan amat dalam yang dirasakan Iwan Simatupang disaat istrinya, Corry, tutup usia karena sakit tifus, meninggalkan dirinya untuk selamanya. Kematian Corry (Corinne Imalda de Gaine) pada tahun 1960 sangat memukul jiwanya. Kenangan akan kematian  istrinya inilah yang mendorong Iwan melahirkan Ziarah.

Sembilan tahun setelah peristiwa ini akhirnya novel ini pun diterbitkan oleh Penerbit Djembatan pada tahun 1969. Melalui Ziarah, Iwan berhasil mendapatkan penghargaan dari Sastra Asean (SEA Write Awards) yang ia dapatkan setelah tujuh tahun kematiannya, 1977.

Ziarah lahir di tengah demam eksistensialisme. Dan novel ini menjadi penanda penting tumbuh kembang eksistensialisme di Indonesia, tentunya setelah Merahnya Merah.

Ziarah menceritakan "Tokoh Kita" (tokoh tanpa nama khas Iwan Simatupang) yang mencari istrinya, mengharapkan pertemuan pada istrinya yang telah mati. Tokoh Kita digambarkan sebagai seorang yang berkelakar aneh, warga ditempat tinggalnya telah memahaminya sebagi kondisi setelah ditinggal istrinya.

Kelakuan anehnya berangsur-angsur raib setelah ia mendapatkan kerjaan sebagai pengapur pekuburan, tempat istrinya juga dikuburkan oleh oppseter pekuburan. Singkat kata, dalam novelnya ini Iwan semakin menekankan bahwa manusia selalu dihadapkan oleh absurditas dalam hidupnya.

Kering (1969)

Novel Kering terbit setelah dua tahun Iwan wafat. Naskah Kering diselesaikan Iwan pada tahun 1961. Naskah yang belum utuh sepenuhnya diketik itu telah diserahkan pada penerbit Gunung Agung. Hal itu membuat pihak Gunung Agung bekerja keras untuk mentransliterasi tulisan tangan Iwan menjadi sebuah karya yang utuh.

Setelah mengendap selama sepuluh tahun di Gunung Agung, akhirnya pihak penerbit menelurkan karya ini pada tahun 1972. Seperti khasnya novel Iwan, tokoh yang dihadirkan ialah tokoh tanpa nama, "Tokoh Kita." Tokoh Kita diceritakan berpindah berdasarkan pilihannya dengan sadar ke daerah transmigrasi yang dilanda musim kemarau berkepanjangan.

Sebuah usaha kerja keras yang dilakukan Tokoh Kita dan kawan-kawan transmigran lainnya sangatlah sulit akibat tanah yang digarap terlalu kering akibat kemarau berkepanjangan. Pada akhirnya, novel ini menekankan suatu pesan bahwa kita tidak bisa meraih apa yang belum datang pada kita dan kita tidak dapat menolak apa yang akan menimpa kita.

Kooong (1975)

Kooong menjadi novel terakhir Iwan Simatupang yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1975. Kooong menceritakan seseorang yang dipandang di suatu desa, Pak Sastro dan seekor perkutut yang tidak dapat membunyikan suara (tidak ber-kooong).

Akan tetapi, walaupun tidak ber-kooong, Pak Sastro sangat menyukai burung ini. suatu hari burung ini hilang dan Pak Sastro memutuskan mencari burung itu. Sepeninggalan, Pak Sastro, para pegawainya yang menggadap sawah dan kebun pun tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Hal ini membuat chaos sementara keadaan desa tersebut.

Novel ini memusatkan pada pencarian itu sendiri, pencarian selalu menjadi perjalanan manusia dalam mengarungi hidup, dan manusia harus mengatasi konsekuensi setelah memilih satu hal dan meninggalkan yang lainnya.

Baca Juga:

cairan-kental-yang-sedikit-itu-mengubah-banyak-hal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun