Mohon tunggu...
ANDWITA VERA AYU LORENZA
ANDWITA VERA AYU LORENZA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta

Hobi Bermain Musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

SDGs Tujuan 14: Pembangunan Berkelanjutan Sektor Kelautan dan Perikanan Melalui Kebijakan Konsep Ekonomi Biru

15 April 2024   15:01 Diperbarui: 15 April 2024   15:03 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta - Sebagai negara kepulauan dan masuk kedalam salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki komitmen dalam pengelolaan laut beserta perlindungannya. Sebagaimana yang tertera dalam Perpres No 16 Tahun 2017 yang sejalan dengan pasal 235 UNCLOS 1982 “negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kewajiban internasional terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut”.

Pemanfaatan potensi kekayaan kelautan dan perikanan masuk kedalam indikator pembangunan tujuan 14 (SDGs) agenda 2030 yaitu Life Below Water dimana inti dari tujuan 14 yaitu untuk mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudra dan maritim dengan memegang prinsip “No One Left Behind”. Di Indonesia pembangunan berkelanjutan telah dijadikan acuan utama dalam sektor kelautan dan perikanan (Life Below Water) melalui konsep kebijakan Blue Economy.

Dilansir dari website Lemhannas, Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono “Diyakini kalau laut biru maka langit menjadi biru dan kehidupan dimasa yang akan datang tetap berlanjut dengan baik” (29/07/2022).

Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia yaitu, keterbatasan SDM, jumlah nelayan yang menurun, overfishing, praktik illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing baik oleh kapal perikanan Indonesia maupun kapal perikanan asing dan komitmen kelembagaan di bidang kelautan. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, peningkatan suhu air laut, serta asidifikasi atau reaksi gas karbondioksida yang menyebabkan penurunan kadar keasaman air laut. Menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2020 ditemukan fakta bahwa dua pertiga terumbu karang ditemukan dalam kondisi rusak.

Permasalahan lainnya, potensi perikanan yang kurang dioptimalkan, potensi perikanan tangkap hingga tahun 2019 diperkirakan mencapai 6,26 juta ton pertahun dengan jumlah penangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,007 ton atau sebesar 80% dari MSY (Maximum Sustainable Yield), sedangkan kemampuan tangkapan pada saat itu baru sebesar 3,5 juta ton pertahun, diperkirakan masih terdapat 1,5 juta ton potensi perikanan pertahun yang belum dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia

Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas kondisi ini ? jawabannya tentu pemerintah, yang disebabkan kurangnya komitmen kelembagaan serta kurangnya harmonisasi antara pemerintah dengan para stakeholder yang terlibat dalam menjaga keamanan ekosistem laut.

Blue Economy Sebagai Alternatif Kebijakan Ekonomi Kelautan Di Indonesia

Untuk menangani permasalahan tersebut, Kemenlutkan mengembangkan tiga pilar utama sebagai strategi dari ekonomi biru, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Serta lima fokus implementasi, yakni penangkapan ikan yang terukur berbasis kuota, perluasan wilayah konservasi laut, pengembangan budi daya laut, pesisir, dan tawar, pengelolaan sampah laut, dan pengelolaan berkelanjutan pesisir serta pulau kecil.

Kebijakan Ekonomi Biru sebagai akselerator sustainable recovery dan SDGs. Blue Economy mampu menjadi acuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan khususnya pada Negara Berkembang Pulau Kecil (SIDS) yang sangat bergantung pada laut. Untuk membangkitkan Blue Economy yang berkelanjutan dengan pengoptimalisasi pengelolaan sektor kelautan dan pesisir serta dibutuhkan kolaborasi dari negara-negara yang tergabung dalam Archipelagic and Island States (AIS) Forum.

Dilansir dari website KLHK, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan  “ Konsep Ekonomi Biru menjadi salah satu konsep holistic dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus dalam pelestarian lingkungan, inklusi sosial dan penguatan ekosistem laut, dan untuk mempercepat aksi kolaboratif sangat penting untuk menyatukan pemikiran para pemimpin, akademisi, pakar dan business leader”.

Kamar Dagang Dan Industri Indonesia  mendukung penuh Kebijakan Blue Economy, karena dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan devisa negara dan penerimaan pajak semakin meningkat.

Tantangan Blue Economy Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia

Dalam artikel BULETIN APBN yang dikeluarkan oleh Badan Keahlian Setjen DPR RI, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi kebijakan blue economy, yaitu terbatasnya pendanaan APBN, belum optimalnya WPP dalam pengelolaan perikanan, infrastruktur belum memadai serta meningkatnya jumlah wisatawan. Selain itu, pada awal tahun 2023 terjadi perlambatan ekonomi global yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Pertama, terbatasnya pendanaan APBN dimana dalam RPJMN 2020-2024 dibutuhkan dana sebesar USD 1.641,3 Miliar, namun APBN hanya mampu mendanai sekitar 20-25% kebutuhan tersebut. Untuk memenuhi pendanaan tersebut Bappenas Menyusun kebijakan utama yaitu Blue Economy Development Framework yang cikal bakal munculnya strategi Blue Finance Policy Note.

Kedua, kurangnya koordinasi lintas batas provinsi yang menyebaban perikanan tangkap laut nasional ditangkap secara berlebihan. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan sistem WPP, setiap WPP diwakili oleh Lembaga Pengelola Perikanan (LPP). Namun hingga saat ini belum ada anggaran operasional khusus, kurangnya SDM, kantor, serta fasilitas lainnya.

Ketiga, infrastruktur yang belum memadai akan berdampak pada destinasi wisata laut dan peisisr utama. Untuk mengatasinya membutuhkan investasi lebih dari USD 5 Miliar yang diprioritaskan untuk mengurangi sampah di laut seperti kota peisir, kota tepi Sungai, dan destinasi wisata pesisir. Pemerintah perlu menanamkan investasi pada infrastruktur pengelolaan sampah. Penanganan sampah di di sestinasi wisata yang memiliki nilai pariwisata tinggi akan dapat menanggulangi permasalahan peningkatan jumlah wisatawan. Karena wisatawan menjadi penyumbang sampah terbanyak di setiap destinasi wisata. 

Referensi

Dpr.go.id. (2023). BULETIN APBN Vol. III, Edisi 1, Januari 2023.

Kadin.id. Program Prioritas Ekonomi Biru.

Lemhannas.go.id. (2022). Menteri Kelautan dan Perikanan RI Paparkan Lima Implementasi Kebijakan Biru Kepada Peserta PPRA 64.

Menlhk.go.id. (2023). Menteri LHK : Perlu Kolaborasi Negara-Negara Pulau Kepulauan Untuk Bangkitkan Ekonomi Biru Berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun