Di beranda kamarku, satu hari setelah kejadian manis yang menimpaa kau dan aku pada malam kesenian rakyat, saat kau menarik tubuhku ke halaman belakang panggung perjuangan dan meluluhlantahkan hatiku yang keras, aku melihat beberapa helai randa tapak tertanam di mata kau yang bermusimkan kemarau. Aku berangan kau kembali jatuh pada ranting-ranting tubuhku yang baru saja tumbuh, lalu kau kujerat paksa dengan akar-akarku yang dahaga, agar kau tak berlalu tergesa-gesa meninggalkanku demi para petani tomat miskin diujung desa, yang kau malah hanya mengajari mereka berteriak merdeka.
Tiga minggu setelahnya, sepulang kau menemui pimpinan partai kau yang merah itu, yang selalu kau bangga-banggakan sebagai ruang juang kau, juga yang kau selalu berlama-lama merumuskan suatu hal yang menurutku konyol dan mengada, aku berniat merajuk barang empat atau lima hari, sebab karenanya kau sangat keterlaluan, membiarkanku memetik mawar persembahan meja riasku seorang diri, padahal kau tahu, kau dan aku adalah dalangnya.
"Juang..." Bisik kau, sedang daun telingaku hampir jatuh terbawa angin. "Kita berjuang, Sekar, sebab dalam aku, aku melihat kau, menyirami lahan- lahan kerontang dengan air matamu yang lupa kau seka, takkan ku biarkan kau mengering, Sekar, sedang dalam kau, aku melihat aku, aku yang sedang membenahi perairan ladang kau dan aku yang tandus, yang semestinya kau dan aku menebar benih-benih pohon, tangis anak kecil, dan jembatan beton, maka jangan biarkan aku meregang bermusimkan angin, Sekar." Sambung kau, sedang cermin almari di seberang tempat kau dan aku berdiri merekam bulat- bulat, menerka-nerka judul ala-ala, bilamana kau dan aku adalah sepasang aktor film berbintang.
Sebetulnya, aku yang masih kanak-kanak, tak pernah faham tiap-tiap apa yang kau katakan, kecuali bual-bualan kau soal rakyat pada malam setelah kepulangan kau itu. Kadang-kadang kebodohanku datang, layaknya bocah, ku lempar kau suatu pertanyaan: mengapa harus ada perang? Kau pun mendongengiku tentang nenek moyang dan musuh-musuh, masa depan, juga perdamaian, sembari tangan kau meraba masuk ke dalam rok jarik batikku yang lusuh, "Beginilah dunia jikalau penindasan, kesengsaraan, kemelaratan itu tiada, Sekar".
Di atas dipan, di kamarku, sesaat setelah kau gauli tubuhku yang baru saja mekar, ku lihat kau dan wajah kau yang lindap samar-samar, terdengar degup kau yang berirama ganjil. Aku mencoba memahami, seperti biasa setelah ejakulasi, mungkin kau kembali memikirkan persoalan rakyat, atau mungkin kau harus kembali menyiapkan diri untuk menemui petinggi partai kau pada esok hari.
"Sekar, kau tahu aku mencintaimu, kan?"
"Ya...sebab itu kau menanami aku"
"Hahaha" Kau tertawa, pun aku. Tak lama, suasana kembali hening, kau mengurung mataku lewat bola mata kau yang mencuat, meniadakan keraguanku, sementara lagi-lagi cermin almari merekam kau dan aku secara terang-terangan, "Sekar, menikahlah denganku lusa, lalu setelahnya ikutlah aku kemana pun aku berpelesir" Pinta kau, ini menandakan terkaanku tadi terbukti salah, namun "lusa" dan "berpelesir" melahirkan banyak pertanyaan dibenakku, aku yang sudah tergila-gila dengan kau menepiskan semua itu, ku isyaratkan anggukan dan senyum manja, kau tertawa, wajah kau memerah, tak jauh berbeda dengan warna tomat-tomat para petani yang kau ajarkan mereka mengeja kebebasan, dan bual-bualan soal kemerdekaan di masa depan.
Fajar mulai melaksanakan tugasnya, melahap rakus segala bentuk terang yang timbul, tak terkecuali rembulan dalam bingkai kamar tempat kau dan aku berlaga, dan waktu tak membiarkannya lari begitu saja, setangkai mawar di meja rias, di samping almari tua, terkekeh-kekeh sesaat menguping pembicaraan kau dan aku. Tetapi kemudian ia layu, dan mati kelelahan, kau bukan petani yang mahir, aku yang betul-betul lahir dari rahim petani membayangkan hari depan dan ladang kenestapaan, aku mempertanyakan bibit dan pupuk apa yang ibu dan bapakku gunakan kala menanami aku, dan kau harusnya tahu, kau dan aku adalah dalangnya.
***
Kau mati, dan tak membawaku ke dalam liang lahat kau yang sebetulnya cukup untuk aku dan kau yang lain menyelip, orang mati seperti kau tak lagi membutuhkan hari perayaan. Kau tak lagi bisa berandai membayangkan hari esok, kau mati, kau tak lagi bisa berbual. Ya, kau mati, membawa para petani dan benih-benih tomat sisa mimpi-mimpi semalam. Kau mati, setelah menanamiku benih diri kau yang lain di dalam aku.
***
Dan padi sedang menguning tepat seperti lima puluh sembilan tahun silam ketika sekumpulan burung-burung gereja asyik bercengkerama di pucuk- pucuk ilalang, melahirkan melodi yang membingkai sejarah terpendam. Sesekali, helai padi yang rapuh melayang terbawa angin, menyisir lembut rambutku yang telah memutih, menjatuhkan peluh pada kerut-merut wajahku yang hampir mencapai satu abad usianya.