Ini adalah kesekian kalinya, Budi seorang Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri ternama di kota besar muak dengan para kaum Feminisme. Baginya Kesetaraan gender sudah tidak lagi relevan. Toh, ruang-ruang diskusi, ruang publik, pendidikan, kesetaraan gaji, bahkan dunia perpolitikan telah melibatkan para kaum perempuan untuk ikut andil.
Budi merasa kalau Feminisme pada saat ini telah kehilangan eksistensinya, Feminisme hanyalah alat bagi kaum perempuan untuk menindas kaum pria, melemahkan kaum pria merupakan tujuan untuk mencapai kesetaraan itu sendiri.
Budi pun memilih keluar dari forum-forum serta aksi berbau Feminisme yang ia ikuti, tak ada lagi yang harus dibela, perempuan dalam pandangan sempitnya telah mencapai hak-hak yang semestinya.
***
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda, seorang gadis bernama Nilam sibuk mengutukki dirinya dengan makian dan cercaan. Sebab ia telah gagal mengejar impiannya untuk menuntut ilmu di Perguruan Tinggi Negeri. Bukan karena ia tak lolos tes seleksi melainkan restu tak ia dapati dari keluarganya.
Bagi keluarga Nilam, perempuan setinggi apapun pendidikannya tetaplah perempuan, yang mana tempatnya berada di sumur, dapur, kasur.
Nilam merasa tidak mendapatkan keadilan sebagai seorang perempuan, padahal media selalu menggembar-gemborkan "Kesetaraan Gender." lantas di mana letak kesetaraan itu? Kemanakah Nilam harus menuntut haknya? Bagaimanakah cara Nilam mendapatkan hak atas kesetaraan itu?.
Ah, Nilam lupa satu hal; kalau Feminisme hanya dijajakan di kota, gadis-gadis desa bukanlah bagian dari mereka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H