“Wow…. Aku suka banget cerita ini..” reaksiku ketika baca pesan dalam handphone. Sebuah WA Messeger dari teman persekutuan. Hari ini saya diingatkan kembali, sebuah cerita, vintage kali ya… karena sudah lama sekali. Sebenarnya Saya dengar kisah ini ketika kelas tiga sekolah dasar. Dari guru, yang sekarang saya panggil mas Joko.. Nggak tahu kenapa, saya sering latah kerap memanggil seseorang dengan sebutan Mas. Beberapa kali pernah dingatkan teman kerja: :”Masak… Direkturmu kamu panggil Mas ?” “ Iyo… aku lali je..”, jawabku tanpa merasa bersalah. Katanya memanggil mas itu tidak menghormati, panggilan Bapak itu jauh lebih sopan dan bentuk penghormatan. Menurutku menghormati lebih kearah sikap dan perlakuan kita, bukan dari panggilan. Itu menurutku lho… bisa juga salah. Cerita ini saya mix and match, dari broadcast yang saya terima dan story telling mas joko yang kucoba susun kembali.
Kisah yang bermula di Rusia. Seorang ayah yang memiliki putra yang berusia kurang lebih 5 tahun, dan memasukkan putranya sekolah musik untuk belajar piano. “Belajarlah yang tekun, Nak. Niscaya kelak Engkau akan menjadi seorang Pianis yang tersohor..” Begitu sang ayah selalu menyemangati dan menyirami harapan pada buah hatinya..
Suatu ketika, di kota tersebut kedatangan seorang pianis terkenal yang akan menggelar sebuah konser. Dalam waktu singkat tiket konser telah terjual habis. Sang ayah sempat membeli 2 buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.
Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh. Penonton telah siap. Pun dengan Sang ayah dan putranya yang tepat berada di sampingnya. Seperti halnya anak kecil sepantarannya, anak ini pun tidak betah duduk diam. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi.
Lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut terlambat menyadari bahwa putranya tidak ada di sampingnya. Lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya menuju panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri salah satu piano yang disediakan untuk sang Pianis tersebut.
Rasa ingin tahunya sedemikian besar. Tanpa takut si anak duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu. Lagu sederhana, lagu yang baru beberapa bulan lalu dipelajari dalam kursusnya. Dengan keterampilan seadanya, mulailah mengalun lagu Twinkle-twinkle Little Star.
Sang operator terkejut mendengar adanya suara piano. Ia mengira bahwa konser telah dimulai.Tanpa sadar ia menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, sebagian mengeluh dan meneriakkan “Hhhhhhuuuuuu…..”, melihat di panggung bukan sang pianis yang mereka idolakan melainkan hanyalah seorang anak kecil, seperti sedang berlatih bermain piano.
“Hai…Nak, kalau belajar piano jangan distu. Ini panggung terhormat…” teriak seorang penonton. “Rugi aku, sudah bayar mahal hanya untuk menonton pertunjukkan anak kecil…” lainnya menimpali. “Panitianya mana, masa kita hanya disuruh menndengarkan musik yang nggak karuan nadanya…” umpat lainnya.
Melihat kegaduhan di panggung, Sang pianis pun terkejut. Ia bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, bukannyai marah, ia tersenyum dan berkata, “Teruslah bermain, Nak. Ulangi lagi…Teruskanlah permainanmu…” Sang pianis menyemangati sambil duduk di depan piano yang lain. Sang anak yang mendapat ijin, meneruskan permainannya, tanpa menghiraukan para penonton.
Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainannya. Ia mengisi nada-nada yang kosong, hingga ketukan permainan menjadi rapat dan kompleks. Hingga akhirnya tercipta suatu komposisi permainan rumit namun sangat indah. Nada yang awalnya berantakan, ketukan yang tidak teratur lama kelamanan menjadi ritmis dan harmonis. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
Pelan-pelan para menonton mulai merasakan permainan yang indah. Kegaduhan mulai reda . Mereka seakan terhipnotis dengan permainan yang sedang didengarkan. Musik yang sederhana itu menjadi sebuah konser piano yang rumit dan indah. “Kenapa musik ini menjadi enak sekali ya…”, komentar salah satu penonton yang seakan baru saja tersadar.