Memang lingkungan akan membawa pengaruh paling kuat, terhadap pilihan seseorang. Kemarin sambil menunggu bulik operasi, di rumah sakit Bethesda sempat tanya :”Kenapa kok milih profesi ini dok ? “, “MemangAyahnya juga Dokter ya ?” tanyaku. Dan rata-rata para dokter akan melahirkan anak yang berprofesi dokter pula. Ini juga berlaku untuk untuk artis, orang tuanya artis, kecenderungan anaknya akan menjadi artis. Orang tuanya pengusaha kecenderungan anaknya juga pengusaha. Cuma yang menjadi agak miris, jarang sekali seorang petani yang ngadhang-gadhang anaknya jadi petani.Malah yan sering terjadi Bapaknya petani anaknya jadi karyawan. Jarang yang bapaknya petani anaknya juga petani tapi dengan system pertanian yang lebih maju tentunya.
Daerah kami masih banyak sawah, maklum rumah saya didesa, kalau berangkat kerja masih sering melihat pemandangan para petani yang mencangkul sawah, kadang jam setengah lima pagi, ketika jalan-jalan pagi, kami berpapasan dengan mereka yang sedangmenuju sawah.
Waktu kecil saya sering didongengi bahwa kehidupan pak tani itu mulyo, sugih rojobrono, tapi kenyataannya, sekarang ini, kehidupan mereka soro. Untuk mencapai kehidupan mulya, para petani itu harus mempunyai minimal dua hektar sawah untuk diolah. Jaman sekarang sawah seluas dua hektar, belinya pakai uang gambar gareng apa…, karena rata-rata, petani saat ini hanya memiliki sawah seluas seribu meter saja.
Berkaca dari keluarga dijogja, yang kemudian saya coba generalkan, bahwa kebanyakan orang jogja, meskipun hidupnya kekurangan, tapi orang tuanya berusaha untuk menyekolahkan anaknya setinggi dan semampu mungkin. Mereka sadar bahwa pendidikan adalah asset, ketika pola pikir dirubah nasibpun akan berubah. “Aku ora menehi opo-opo yo le. Aku mung iso nyekolahke, aku mung iso minterke kowe…” begitu kata yang pernah dicapkan oleh nenekku, semasa hidupnya. Harapan para orang tua, setelah lulus anaknya diterima kerja dalam perusahaan yang besar, bekerja dengan rapi dan bersih, bekerja dikantoran lebih bergengsi daripada bekerja di rumah, yang glumutan dan bersentuhan dengan blethokan lumpur sawah. Anak-anaknya diarahkan untuk jad ikaryawan, jadinya para orang tua yang berprofesi petani itu, lupa mewariskan ilmu pertaniannya dan menceritakan serunya pekerjaan mereka yang luhur kepada generasi keduannya.
Beberapa hari terakhir heboh tentang harga beras yang melonjak, konon katanya harganya setara dengan13 ribu, undha-undhi dengan nilai satu dolar AS , kurs saat ini. Secara pribadi, saya senang-senang sedih, senangnya, muncul harapan baru, dengan harga beras yang baru ini kehidupan petani semoga menjadi lebih baik, kualitas padi juga menjadi bagus, swasembada pangan tercapai. Indonesia menjadi lumbung padi kembali. Sedihnya, sebagai karyawan, saya tidak punya uang lebih, saya harus ngirit, saya harus berbagi dengan kebutuhan kebutuhan lainnya, harus pandai-pandai mengatur cash flow rumah tangga karena harga beras yang semakin mencekik.
Sudah lama tidak pernah mendengar berita, tentang penyaluran kridit untuk petani oleh pemerintah. Era 80-an,ada istilah REPELITA, Rencana pembanguan lima tahun, sebuiah program andalan pemerintah waktu itu. Berbagai bentuk kridit dan kemudahan dana bagi para petani sudah direncanakan oleh Negara, dana sudah disiapkan tinggal mengelontorkan saja. Juga tidak pernah mendengar, alasan mengapa pemerintah menghentikan kridit bagi para petani ini. Mungkin program Repelitanya sudah tidak sesuai dengan pemerintahan baru, tapi kridit dan dan pengembangan bagi para petani masih relevankan ?
Malah yang terdengar santer adalah, kridit ini sudah diambil oleh para pengusaha, dengan system yang kataanya modern, lebih mudah dan cepat. Siapa sih yang tidak tergoda dengan Kridit yang mudah dan cepat cair ini, termasuk menggoda para petani untuk beralih menjajal pinjaman ini.
Sama dengan bank plecit, begitu bahasa jogja mengistilahkan, atau sama seperti renternir. Kridit dengan sistim ini akan berdampak buruk dikemudian hari, yakni bunga yang fantastis. Kadang para petani harus berususan dengan pemberio kridit, karena tidak mampu membayar bunganya lagi yang sudah tidak masuk akal. Memang uang yang dipijami seolah tidak berbunga, tapi diujung hari mereka mengorok leher para petani lugu ini. System ijon, dengan pembelian hasil panen dengan harga tengkulak sebagai imbalannya. Dilematis, para petani butuh uang untuk beli pupuk, tapi hasil panennya harus dijual dengan dengan harga yang murahnya tidak wajar. Dipasar harga beras melangit tetapi petani tetap hidup irit, yang untung siapa ? para pemodal tersebut, eh pemodal atau tengkulak sih sebenarnya?
Namanya masyarakat heterogen, ketika beras dipasar harganya melejit, ternyata ada ceruk pasar lagi yang justru ngedab-ngedabi, ceruk pasar yang luar biasa besar, belum tergarap rapi. Ceruk pasar ini, adalah ceruk pasar untuk beras organic. Seorang teman pernah bercerita, bahwa beras organik di jogja, perkilonya kisaran diatas 25 ribu…. Saya sempat begitu gumun harga yang begitu mahal ini, tapi tetap ada pasarnya, tetap ada pemainnnya. Mereka tidak terpengaruh dengan beras yang beredar dipasar umum, belum lagi beras yang sudah mulai dikampayekan untuk para penderita diabetes, yakni beras merah, yang rata-rata perkilonyasudah dua puluh ribuan harganya. Untuk kemasan lima kilogram rata-rata dijual kisaran seratus ribu.
Menurutku ini kesempatan untuk bergeser ke tempat lebih baik bagi petani. Dengan memadukan dan menerapkan pengetahuan dan berbagai literature yang didapat dari bangku kuliah oleh generasi kedua atau anak petani ini. Semapt terbayang, kayaknya menarik, jika para petaninya berpendidikan strata satu itu mampu menerapkan ilmunya, kemungkinan-kemungkinan untuk inovasi produk segera terjadi. Pengolahan dan penegelolaan hasil tani akan lebih mudah dikelola dan dipasarkan. Contohnya adalah penciptaan segmen pasar beras organic, beras untuk kesehatan. Harganya pun bisa beberapa kali lipat, prosesnya tidak jauh berbeda, bukan ?
Pasar lagi demam dengan semua yang berbau organik, mulai beras oranik sampai sayur organik. Ini terkait dengan kesadaran kesehatan yang semakin baik. Katanyaproses penanaman organik itu tanpa bahan kimia, jadi lebih sehat kalau dikonsumsi oleh tubuh. Tapi menurutku semua organik belum tentu baik….. buktinya senapan organik itu justru berbahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H