Sejarah perkembangan demokrasi di dunia selalu beririsan dengan perkembangan institusi kepolisian. Apalagi pada negara yang terlebih dahulu mengalami apa yang disebut dengan rezim otoritarianisme, baik militer, agama atau monarki.
Irlandia utara, Mexico, Korea Selatan adalah beberapa contoh negara yang memiliki proses sejarah transisional dari negara otoritarianisme menuju demokrasi. Tidak semuanya berjalan ideal. Berbagai alasan sosio-kultural, sejarah dan kondisi politik ekonomi, menjadi faktor utama berjalannya proses demokratisasi.
Tidak dapat dipungkiri, transisi menuju negara yang demokratis tidaklah mudah. Termasuk membangun institusi kepolisian yang cocok dengan iklim demokrasi.Â
Sebagai sebuah gagasan yang operatif, demokrasi sendiri merupakan gagasan dasar yang memungkinkan banyak orang dapat berpartisipasi pada urusan bersama. Sehingga menjadikan kekuasaan menampakan dirinya tersebar dimana- mana. Atau dengan kata lain wajah kekuasaan tidak saja ada pada aktor negara yang formal tetapi juga tampak pada non state aktor.
Relasi kekuasaan model ini membuat konflik menjadi laten. Karena kekuasaan dan kepentingan tampak mengemuka, menciptakan goncangan gagasan dan sosial dimana-mana.Â
Apalagi kemudian ketika demokrasi dianggap sebagai "media kebebasan" semata, tanpa mempedulikan kerangka kesepakatan dasar bangsa yang termaktub dalam konstitusi negara. Sehingga demokratisasi dijadikan momentum untuk menyoal tentang persoalan  yang bersifat disintegratif, separatisme maupun individualisme.
Pemaknaan kebebasan demokrasi macam ini diyakini menjadi persoalan yang dapat menggangu jalannya pembangunan demokrasi itu sendiri, karena kemudian demokrasi akan diasumsikan sebagai ancaman bagi eksistensi kedaulatan negara.Â
Selain itu perbedaan gagasan, konflik kekuasaan dan kepentingan melahirkan kesemrawutan informasi (infodemik) yang rawan ditumpangi informasi bohong (fake news), provokatif. Dimanfaatkan gerakan sosial yang berkaitan dengan gangguan terhadap pembangunan dan persatuan nasional yang kemudian memantik kerinduan kembali kepada jalan otoritarianisme .
Demokrasi dan demokratisasi sejatinya  merupakan cara banyak pihak untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, masyarakat yang taat hukum, dan adanya dialektika tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat. Termasuk di dalamnya menciptakan institusi kepolisian yang melahirkan model- model pemolisian yang dekat dengan solusi-solusi kongkrit kebutuhan negara dan masyarakat.Â
Model pemolisian yang mendorong kepatuhan hukum, keamanan dan keselamatan warga masyarakat dari ancaman kejahatan dan gangguan keamanan lainnya termasuk persoalan kemanusiaan dan pembangunan lainnya sebagai mana ciri organisasi kepolisian dengan paradigma kontinental.
Proses demokrasi dan paradigma kontinentalisme dalam Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), menjadikan Polri tidak saja sebagai salah satu institusi keamanan negara Indonesia yang utama. Proses ini menjadikan Polri sebagai penjaga konstitusi, sekaligus menjadi tolok ukur evaluasi terhadap proses demokratisasi itu sendiri.Â
Dengan pertanyaan besarnya, apakah kepolisian mampu mendorong demokratisasi dengan supremasi hukumnya, sehingga menjadi jembatan terwujudnya cita-cita nasional sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi negara ?
Proses demokratisasi Polri ini memiliki harapan dapat menggeser paradigma kolonialisme kepada kontinentalisme dalam struktur dan budaya kepolisian.  Kegagalan proses demokratisasi Polri ini akan menyebabkan kepolisian terjebak dalam pragmatisme demokrasi yang sarat dengan kepentingan politik ekonomi dengan meninggalkan kepentingan publik dan mengabaikan konstitusi negara dan memperkokoh polri dengan watak paradigma  kolonialisme.
Pada pengalaman beberapa negara yang mengalami transisi menuju demokrasi, institusi polisi pada akhirnya tidak sukses menjadi instrumen penting demokrasi. Yang terjadi pragmatisme demokrasi dan kesadaran palsu (false consciousness) tentang demokrasi membuat polisi terjebak pada tarikan kepentingan romantisme otoritarianisme maupun patrimonial oligarki tradisional yang cenderung mengikuti watak paradigma kolonialisme.
Untuk mencegah polisi terperangkap dalam jebakan pragmatisme demokrasi yang mengedepankan konflik kekuasaan dan kepentingan, maka polisi harus menempuh jalan menampilkan dirinya sebagai instrumen demokrasi yang kokoh untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri melalui upaya secara terus menerus yang antara lain :
Melakukan dialektika konstruktif dalam memecahkan masalah negara dan masyarakat melaui proses saling mendengar kehendak publik tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh polisi, dan cocok dengan kebutuhan pelayanan terbaik dari polisi,
Polisi berusaha tanpa henti untuk menjadi  garda terdepan dari penghormatan terhadap hukum sebagai "boundary norm" yang wajib dipatuhi oleh siapapun sebagai penegasan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum (equality before the law).Â
Upaya ini menjadi prasyarat penting untuk mengukur apakah peradaban demokrasi sedang berjalan, atau malah kembali kepada watak tradisional polisi yang hanya menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan dan kepentingan semata. Tidak menjadikan hukum sebagai alat dari pembangunan negara dan penjaga martabat bangsa.
Selain hal tersebut diatas kepercayaan diri polisi menjadi penting. Keyakinan bahwa institusinya dapat di percaya sebagai aktor demokrasi melalui kebijakan, program dan kegiatan yang mengakar di masyarakat. Polisi bersama masyarakat dan untuk masyarakat dengan seluruh harapan yang melatarbelakanginya.Â
Dengan menjadikan kriminogenik sosial, politik dan ekonomi sebagai objektif yang harus dicegah. Menghindari terjadinya kriminalitas, ketidakteraturan sosial bahkan bahaya lain yang mengancam keberlangsungan hidup bersama.
Melakukan kolaborasi strategis pada tataran atas bahkan elite harus didasarkan pada pijakan kepentingan nasional yang lebih luas. Berpikir tentang kedaulatan sebagai negara merdeka di tengah kompetisi dan ancaman globalisasi yang berorientasi pada pasar bebas. Free fight liberalism yang melahirkan ketimpangan sosial, mendorong berkembangnya privatisasi yang justru bertentangan dengan prinsip sosio-demokrasi yang menjadi pijakan konstitusi negara.
Mampu mengantisiapasi kejahatan transnasional yang berdimensi politik dan ekonomi apalagi pada era VUCA (Votality- Uncertainty - Complexity - Ambiguity ) mendorong setiap negara untuk lebih cerdas dan cermat dalam memaknai setiap peristiwa dan kebijakan politik negara lain. Dibutuhkan pemahaman bersama dalam mendudukan kepentingan nasional diatas kepentingan negara lain, yang sangat membutuhkan kehadiran negara termasuk polisi.
Pemahaman untuk terus mengembangkan organisasi tidak saja berdasarkan pada prinsip kompetensi, dengan pencapain target operasional dalam urusan pengelolaan kejahatan dan keamanan lainnya tetapi juga memanfaatkan waktu untuk meningkatkan pencapaian organisasi dalam menginternalisasi nilai-nilai universal dalam kaitannya dengan good governance, disiplin, integritas, trustworthy, serta keunggulan kompetitif dalam menjalankan peran, fungsi dan tugas pokoknya .
Betapa terjal dan kompleksnya jalan reformasi untuk mewujudkan polisi yang cocok dengan iklim demokrasi sebagaimana juga dilalui oleh banyak negara termasuk Indonesia.Â
Pilihan tersebut umumnya meliputi upaya struktural, instrumental dan kultur yang diawali dengan pemantapan organisasi polisi yang mandiri, diikuti dengan pemahaman kesadaran demokrasi pada personel kepolisian. Sehingga terbentuk budaya polisi yang mengkombinasikan kompetensi yang bersifat teknis dan taktis.Â
Personil Polisi bergerak lincah dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman secara cepat dan tepat, serta memiliki kemampuan menjawab tantangan zaman dengan menghadirkan solusi dari persoalan bangsa dan negara.
Pilihan jalan reformasi kepolisian seiring dengan jalan konsolidasi demokrasi, termasuk perkembangan masyakat serta kondisi ekonomi dan politik negara dan dunia. Kondisi demikian adalah faktor yang saling mempengaruhi, termasuk bagi negara Indonesia yang posisi dan cara pandang demokrasi oleh militernya juga menjadi kunci dari proses perkembangan demokrasi dan polisi itu sendiri.
Pada sisi lainnya, secara internal untuk mewujudkan polisi yang dicita-citakan bersama dalam proses perjalanan demokrasi, organisasi memerlukan tahapan reformasi berikutnya sebagai institusi yang mengandalkan kompetensi, kelincahan (agility) dan kemampuan sumber daya manusianya. Oleh dari itu institusi kepolisian wajib memastikan adanya upaya strategis dan berkelanjutan, untuk melahirkan personil kepolisian yang cocok dengan kondisi zamannya.Â
Selain itu, organisasi perlu selalu mengembangkan model pemolisian, yang merupakan cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara yang terus berkembang serta memiliki kompleksitas (complex), dinamis (dynamic) dan menantang (chalenging).
Dalam konteks ini, pada beberapa negara maju yang demokratis, institusi kepolisian mereka memberikan perhatian penuh pada sistem pendidikan dan latihannya sebagai struktur utama dan strategis tempat manusia polisi di bentuk, dikembangkan sebelum menjalankan tugas termasuk memformulasikan kebijakan pemolisian yang dikenal dengan evidence based policing.
Sistem pendidikan dan latihan kepolisiannya akan menjadi epicentrum penting pembangunan karakter dan keahlian personil kepolisian. Riset-riset kepolisian terkait dengan sumber daya kepolisian yang meliputi kualifikasi, kuantifikasi, struktur populasi polisi ditinjau dari gender, ras dan golongan, sarana dan prasarana, pengembangan birokrasi polisi maupun model-model pemolisiannya, akan memberikan jawaban strategis terhadap problem yang dialami kepolisian dalam relasi ancaman dan kemampuan sumber daya negara secara keseluruhan.
Tidak mudah tentunya memformulasikan gagasan reformasi demokratisasi kepolisian kedepan. Namun setidaknya pada kondisi saat ini, diperlukan refleksi dan kontemplasi dari para Bhayangkara sejati untuk memaknai betapa pentingnya posisi polisi dalam banyak urusan negara, bangsa dan masyarakat. Ditengah- tengah krisis dunia yang diakibatkan oleh pandemi covid 19 dan pertarungan antar negara yang menjadi kutub kapitalisme dunia maupun konflik peradaban sebagaimana dihipotesakan oleh Samuel Huntington.Â
Kontraksi sosial tanpa ujung karena manusia terjebak pada individualisme dan komunalisme yang menguras energi pemerintah manapun dalam mereduksi dampak keamanannya. Efektifitas polisi menjadi tantangan tidak saja dalam melahirkan peradaban demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, tetapi juga dapat menjadi perisai peradaban (shield of civilization) dari bangsa Indonesia dan menjadi wajah pemerintah yang demokratis sekaligus konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H