Ketika negara-negara mulai mencoba bangkit dari keterpurukan, berbagai pembatasan yang sebelumnya diberlakukan guna mencegah Covid-19 dilonggarkan, dan masyarakat lantas mulai berkeinginan kembali merasakan hidup normal serta membeli berbagai barang konsumsi.
Namun ternyata pasokan barang tidak seimbang dengan permintaan pasar, khususnya bagi barang-barang dari luar negeri. Ketimpangan pasokan dan permintaan ini memicu kenaikan harga, ini adalah hukum dasar ekonomi.
Masalah bertambah runyam ketika harga pengadaan minyak dan gas untuk kebutuhan energi ikutan naik, apalagi setelah Rusia menyatakan operasi militer ke Ukraina yang entah kapan usai. Konflik berlarut-larut memicu harga-harga semakin tinggi.
Kabar terkini disebutkan jika Rusia sudah memangkas 60% pasokan gas melalui pipa Nord Stream, efeknya bagi warga Jerman adalah mereka didorong menghemat penggunaan energi. Krisis energi sudah dirasakan berbagai negara Eropa.
Sebelumnya warga Inggris mengeluhkan biaya hidup semakin tidak terjangkau. Jika menyimak perkembangan inflasi, berdasarkan data tradingeconomics.com di Turki tingkat inflasi sudah menyentuh hingga 73,5%, lalu Rusia 17,1%, Inggris 9%, dan kawasan Eropa mencapai 8,1%.
Amerika Serikat menghadapi inflasi 8,6%, di bagian selatan benua Amerika, Argentina mencatat tingkat inflasi tertinggi yaitu 60,7% disusul Brasil sebesar 11,73%. Bagaimana Indonesia? Hingga bulan Mei 2022 inflasi sudah berada di titik 3,55%, sebetulnya masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura 5,4%, Korea Selatan 5,4% atau India 7,04%.
Data-data tersebut mencerminkan bahwa saat ini inflasi telah menjadi masalah umum di dunia, melanda di setiap negara dan mengakibatkan biaya hidup masyarakat semakin berat.Â
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani baru-baru ini mengemukakan bahwa dirinya dicurhati beberapa rekan sejawatnya mengenai inflasi ini yang terjadi di negaranya masing-masing. Artinya semua negara memiliki masalah sama.