Berbagai startup bermunculan, saling bersaing satu sama lain menarik modal dari investor juga memperebutkan pangsa pasar. Strategi paling mencolok guna merebut perhatian pasar adalah dengan melakukan promosi diskon harga besar-besaran. Maka terjadilah perang harga, karena startup ini berani dan gemar membakar uang!
Perang Harga Ala Startup
Kampanye startup memberlakukan potongan harga maupun cash back, jika pelanggan berbelanja dan melakukan pembayaran menggunakan aplikasi tertentu, maka berhak mendapatkan harga spesial lebih murah. Bahkan potongan harga yang diberikan seringkali di luar nalar, sehingga sangat menggiurkan bagi pelanggan untuk menggunakannya.
Metode potong harga besar-besaran merupakan cara mudah untuk menarik minat pelanggan di pasar. Secara psikologis pelanggan akan lebih mudah memutuskan membeli dan menggunakan sesuatu barang yang dikehendakinya dengan harga lebih murah.Â
Itu adalah hal sederhana, namun cara bersaing dengan metode perang harga tidak menjadi perkara sederhana dari perspektif bisnis.
Perang harga artinya adalah para startup bersaing dengan menawarkan harga semurah mungkin. Dengan demikian harga yang ditawarkan berada dibawah ongkos produksi atau harga modal. Apakah ini jual rugi?Â
Secara prinsip dapat dikatakan iya, jual rugi. Startup melalui berbagai promo berani menanggung kerugian, dengan harapan akan banyak pelanggan menjadi pengguna aplikasi mereka.
Menggiurkan tentunya, tak heran jika banyak pengguna melakukan instalasi berbagai aplikasi startup di gawainya masing-masing. Malah tak jarang juga seseorang memiliki banyak aplikasi untuk mengejar keuntungan harga murah.
Pelanggan cukup membayar Rp 30 ribu, sisanya ditanggung oleh modal dari startup. Jika berkaca dari pengakuan Mochtar Riady, aplikasi OVO dari Lippo Group membutuhkan dana sekitar Rp 700 miliar per bulan untuk promo.Â
Jumlah dana tersebut cukup besar, sehingga akhirnya Lippo Group memutuskan menjual 70% saham OVO.