Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Pembahasan Sastra Klasik "Kisah Perjalanan ke Barat"

30 Agustus 2019   21:09 Diperbarui: 31 Agustus 2019   08:58 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kepustakaan klasik Tiongkok ada empat karya sastra yang dianggap sebagai karya besar dalam khasanah budaya rakyat Tiongkok, yaitu "Kisah Tiga Negara", "Tepi Air" atau "Kisah 108 Pendekar", "Impian Paviliun Merah" dan "Kisah Perjalanan Ke Barat".

Empat karya sastra ini penggambaran alur kisah berikut penggambaran karakter tokoh ceritanya sangat mendalam dan juga menggambarkan konflik serta kondisi sosial masyarakat di era-nya, sehingga karya-karya ini begitu mengakar di kalangan masyarakat Tiongkok dan menjelma sebagai warisan dan kekayaan Tiongkok dari aspek seni dan budaya.

Kita akan membahas kisah epos Perjalanan Ke Barat, kisah ini begitu legendaris, terkenal terutama salah satu karakter utamanya yaitu Kera Sakti atau Sun Wu Kong (Sun Go Kong), sosok kera berilmu tinggi dengan karakter nakal, dengan kesaktiannya diceritakan Kera Sakti mengobrak-abrik Istana Langit sebelum ditaklukan oleh Sang Budha dan akhirnya dikurung selama 500 tahun di Gunung Lima Jari.

"Kisah Perjalanan Ke Barat" merupakan sebuah karya yang penuh dengan filsafat kemanusiaan berikut juga ajaran agama Budha, uniknya kisah ini bercampur dengan aneka tokoh dewa-dewi dari kepercayaan tradisional Tiongkok dan ajaran Taoisme.

Maka tak heran "Kisah Perjalanan Ke Barat" menjadi warisan berharga bagi sastra klasik Tiongkok. Kisah ini juga menjadi populer di kawasan Asia, bahkan kisahnya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di negara Eropa dan Amerika.

Ilustrasi: uchicago.edu
Ilustrasi: uchicago.edu
Latar Belakang "Kisah Perjalanan Ke Barat"
"Kisah Perjalanan Ke Barat" sebetulnya diinspirasi oleh perjalanan ziarah seorang biksu di era Dinasti Tang (618-907) bernama Xuangzang (602-664), Xuangzang melakukan perjalanan dari ibu kota Kerajaan Tang di Chang An ke India untuk mempelajari literatur agama Budha.

Kemudian seorang sastrawan di era Dinasti Ming (1368-1644) bernama Wu Cheng En (1501-1582) memodifikasi kisah Biksu Xuanzang secara kreatif serta penuh imajinasi menjadi sebuah kisah yang sangat menarik, yaitu menggabungkan sebuah kisah nyata dengan berbagai kisah rakyat Tiongkok menjadi suatu rangkaian cerita sendiri berikut berbagai karakter menarik lainnya.

Wu Cheng En merupakan sastrawan yang lahir dan tumbuh di kalangan keluarga miskin, ayahnya adalah seorang pejabat daerah berpangkat rendah, namun kemudian menjadi pedagang.

Wu Cheng En mahir dalam seni lukis, menulis pusis, kaligrafi serta memiliki ketertarikan terhadap cerita rakyat dan berbagai legenda klasik. Sehingga tak mengherankan jika karya puncaknya yaitu "Kisah Perjalanan Ke Barat" begitu kaya akan penggambaran karakter serta konflik antar tokoh di kisah tersebut.

Ilustrasi: youlinmagazine.com
Ilustrasi: youlinmagazine.com
Lahir dari keluarga miskin, Wu Cheng En menjadikan "Kisah Perjalanan Ke Barat" sebagai ungkapan bagaimana rakyat jelata memandang dan mengharapkan kebahagiaan hidup, berikut juga dengan kesenjangan antara kalangan elit atau penguasa dengan masyarakat.

Wu Cheng En mengkritik kesenjangan sosial tersebut dalam perwujudan karakter para dewa dengan kesaktiannya, tetapi para dewa ini digambarkan memiliki ego dan arogansi. Sedangkan kesengsaraan hidup dan ketidakberdayaan manusia terhadap takdir dan kuasa Ilahi merupakan manifestasi dari kondisi sosial rakyat jelata yang kerap tertindas oleh para pejabat dan kalangan elit.

"Kisah Perjalanan Ke Barat" pertama kali diterbitkan dalam format buku novel pada tahun 1592, terdiri dari 100 bab yang menceritakan awal mula Kera Sakti lahir bertemu Biksu Xuanzang (Pendeta Suci) berkelana bersama rekan-rekannya sampai pada akhirnya mencapai Nirwana menjadi Budha.

Dikisahkan petualangan Kera Sakti, Pendeta Suci dan rekan kerap dibantu oleh Dewi Guanyin atau Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) dalam menyelesaikan kesulitan.

Ilustrasi: popculture.id
Ilustrasi: popculture.id
Tokoh "Kisah Perjalanan Ke Barat"
Biksu Xuanzang (Pendeta Suci)
Biksu Xuanzang adalah tokoh nyata yang diangkat menjadi salah satu karakter utama dalam kisah ini. Sesungguhnya Biksu Xuanzang memang menjalani perjalanan dari Chang An ke negeri India di masa Dinasti Tang, tetapi Wu Cheng En menggambarkan sosok Pendeta Suci dalam "Kisah Perjalanan Ke Barat" sebagai reinkarnasi dari salah satu murid Budha yang terkena hukuman karena tertidur di saat Sang Budha sedang memberikan pengajaran.

Karakter Pendeta Suci diceritakan sebagai sosok pria alim dan memegang teguh ajaran agama dan gaya hidup sebagai seorang biksu. Karakter ini memiliki kebijaksanaan dalam memandang kehidupan, karena selalu melihat dari perspektif agama.

Sering kali dikisahkan Pendeta Suci selalu menolak berbagai godaan berupa rayuan wanita, harta maupun makanan dan minuman karena bertentangan dengan kaulnya sebagai seorang biksu. Jadi Pendeta Suci adalah tokoh yang sangat lurus.

Ilustrasi: bestchinanews.com
Ilustrasi: bestchinanews.com
Tetapi sifat sangat lurus ini justru kerap menjadi persoalan dalam perjalanan mengambil kitab suci, terutama pada saat menghadapi jebakan para siluman yang menyamar sebagai orang tua atau anak-anak dengan tujuan mengelabui rombongan Pendeta Suci.

Para siluman itu menganggap Pendeta Suci sebagai manusia suci dan jika mereka berhasil menyantap dagingnya maka akan mencapai hidup abadi.

Sifat Pendeta Suci ini justru bertentangan dengan Kera Saki, sehingga kedua tokoh ini kerap berbeda pendapat bahkan sampai berpisah sesaat. Pendeta Suci terkadang tidak bisa membedakan hal benar atau salah, dalam konteks kondisi yang dihadapi sedang berupaya dikelabui oleh siluman.

Pada salah satu bab, diceritakan bahwa Pendeta Suci mengusir Kera Sakti, karena Kera Sakti dianggap membunuh satu keluarga, padahal sesungguhnya keluarga tersebut adalah penyamaran dari Siluman Tengkorak Putih. Kera Sakti sebelumnya telah berulang kali memberi peringatan, namun hal itu justru diabaikan oleh Pendeta Suci.

Sun Wu Kong (Kera Sakti)
Merupakan tokoh paling menonjol, lahir dari sebuah batu, ketika energi langit dan bumi bertemu batu tersebut lantas meledak kemudian lahirlah Kera Sakti. Kemudian Kera Sakti tumbuh dan menjadi raja kera di Gunung Bunga dan Buah.

Lantas karena bermaksud mencari jalan untuk hidup abadi, Kera Sakti berhasil menjadi murid dari seorang petapa, serta berhasil mempelajari ilmu berubah 72 wujud.

Kera Sakti digambarkan sebagai karakter liar, keras kepala, temperamental namun cerdas. Berkat kesaktiannya Kera Sakti berhasil memiliki senjata berupa tongkat emas penyangga lautan dan membuat kekacauan di Istana Langit. Akibat ulahnya itu, Kera Sakti dihukum oleh Sang Budha selama 500 tahun di Gunung Lima Jari.

Ilustrasi: 24h.com.vn
Ilustrasi: 24h.com.vn
Titik balik perjalanan kisah Kera Sakti adalah karena peran dari Dewi Welas Asih yang memberikan kesempatan untuk bertobat dengan cara mengawal Pendeta Suci menuju ke barat. Kera Sakti adalah sosok dengan loyalitas atau kesetiaan yang tinggi.

Hal ini ditunjukan betapa Kera Sakti begitu mengasihi dan tetap berupaya menjadi murid yang baik walaupun Pendeta Guru member hukuman dan tidak begitu saja mempercayai pendapatnya.

Zhu Bajie (Sang Babi)
Sebetulnya tokoh ini sangat menarik. Latar belakangnya adalah seorang Perwira Langit yang sedang sial, karena mabuk kemudian menggoda Dewi Bulan sehingga dijatuhi hukuman dan apesnya lahir menjadi siluman babi.

Ilustrasi: theworldofchinese.com
Ilustrasi: theworldofchinese.com
Wu Cheng En menciptakan tokoh ini dengan sifat malas, sembrono serta sering tergoda oleh hal-hal duniawi, bertolak belakang dengan sifat Pendeta Suci. Sang Babi kerap kali dikerjai oleh Kera Sakti dan kedua tokoh ini sering berdebat dan saling mengejek. Pertikaian dan persahabat kedua tokoh ini cukup memberi warna humor dalam "Kisah Perjalanan Ke Barat".

Sang Babi sesungguhnya merupakan murid setia, tetapi karena kemalasan dan sifat buruknya terkadang membawa masalah dan kesulitan bagi Pendeta Suci dan rombongannya.

Sha Wujing (Pendeta Pasir)
Sebelum menjadi murid Pendeta Guru, Sha Wujing atau Pendeta Pasir merupakan Perwira Langit yang bertugas menjaga lentera, namun karena kecerobohannya dijatuhi hukuman turun ke dunia manusia. Pendeta Pasir memiliki sifat rajin, pekerja keras, polos namun kurang cerdas.

Ilustrasi: hero.fandom.com
Ilustrasi: hero.fandom.com
Pendeta Pasir memiliki peran sebagai penengah ketika Kera Sakti dan Sang Babi bertikai. Karena sikap rajinnya, Pendeta Suci sangat menyayangi Pendeta Pasir. Karakter Pendeta Pasir digambarkan sebagai sosok setia dan rela berkorban untuk rekannya, bahkan dalam suatu kisah, Pendeta Pasir rela menggantikan posisi Kera Sakti yang sedang dihukum Pendeta Suci.

Pangeran Naga Putih (Kuda Putih)
Tokoh ini tergolong jarang berinteraksi dalam "Kisah Perjalanan Ke Barat". Sesungguhnya murid ke empat Pendeta Suci ini adalah Pangeran Naga Putih yang menjadi pesakitan, kemudian dikurung di suatu danau. Karena Naga Putih memakan kuda Pendeta Suci di awal perjumpaan mereka, lantas sebagai hukumannya, Dewi Welas Asih meminta Naga Putih untuk menjelma menjadi Kuda Putih sebagai tunggangan Pendeta Suci. 

Walaupun menjadi tokoh yang tidak terlalu aktif, Kuda Putih pernah dalam kondisi darurat tampil berupaya menyelamatkan Pendeta Suci yang sedang ditawan siluman. Menariknya Kuda Putih rela menjadi tunggangan menanggung berat beban dalam perjalanan jarak jauh selama 18 tahun.

Pelajaran Dari Karakter Para Tokoh "Kisah Perjalanan Ke Barat" 
Entah sengaja atau tidak, Wu Cheng En menggambarkan setiap tokoh utama dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Menariknya tokoh-tokoh itu seakan menggambarkan atau mengajarkan kepada para pembacanya mengenai sifat dasar manusia, seperti ketaatan, alim, malas, pekerja kelas, setia atau cerdas.

Ilustrasi: lanzhou.weebly.com
Ilustrasi: lanzhou.weebly.com
Selain sebagai bacaan yang sangat menghibur, dalam "Kisah Perjalanan Ke Barat" terkandung banyak filsafat dan pelajaran kebaikan dan kebijaksanaan. Tentunya dikemas sesuai dengan perwujudan dari tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

***
Sebagai sebuah karya sastra, "Kisah Perjalanan Ke Barat" tetap dikenal melintas waktu. Menjadi suatu warisan budaya bagi generasi ke generasi. Ceritanya tetap kental mempertahankan ciri cerita rakyat sebagai akarnya.

Perbendaharaan dan narasinya begitu hidup dna menarik. Secara keseluruhan, "Kisah Perjalanan Ke Barat" merupakan sebuah karya hebat yang sangat layak untuk dibaca.

Ilustrasi: xijucn.com
Ilustrasi: xijucn.com
Kisah ini telah diadaptasi dalam berbagai bentuk mulai dari film, opera sampai game. Artinya "Kisah Perjalanan Ke Barat" tidak hanya menjadi sebuah karya klasik kuno, tetapi berhasil menyesuaikan dengan perkembangan waktu. Ini yang membuat "Kisah Perjalanan Ke Barat" begitu disukai dan senantiasa dirindukan untuk selalu disimak, walaupun telah berulang kali diceritakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun