Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Waspada Produk "Fintech" Abal-abal

10 September 2018   21:36 Diperbarui: 11 September 2018   08:54 2295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang filsuf dari era Yunani kuno bernama Heraclitus (535 -- 475 SM) mengungkapkan pepatah elegan, "Tidak ada yang kekal kecuali perubahan (there is nothing permanent except change)." Sebagai seorang pemikir ulung, 

Heraclitus telah memahami fenoma sifat dinamis dalam kehidupan, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan, dan itulah sebuah realita yang terjadi secara alamiah. 

Semuanya berubah. Bahkan perubahan pada masa kini terjadi dengan sangat drastis, tidak terpikirkan oleh sang pemikir handal seperti Heraclitus. Kita berbicara dalam konteks dalam gaya hidup manusia, yang semakin hari semakin menuntut kemudahan, kepraktisan, termasuk dalam urusan keuangan atau finansial.

Adalah financial technology (fintech) yang medorong perubahan dewasa ini serta telah menjadi primadona bagi umat manusia dalam memenuhi kebutuhan transaksi keuangan. 

Fintech  muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi smartphone, sehingga semua kebutuhan untuk transaksi dapat dilakukan dengan sangat mudah melalui aplikasi dalam genggaman tangan seseorang. 

Bayangkan saja jika pada era sebelum teknologi smartphone, orang harus pergi ke bank untuk bertransaksi atau setidaknya membutuhkan personal computer untuk bertransaksi via internet, namun kini semua itu dapat dilakukan melalui media yang lebih sederhana.

Fintech merupakan terobosan atau inovasi yang telah mengobrak-abrik pakem layanan keuangan konvesional. Berbagai aspek layanan keuangan seperti pembukaan rekening, cek saldo sampai dengan pembayaran atau transaksi semuanya telah diubah sedemikian rupa menjadi lebih mudah. 

Ya, manusia lebih dipermudah dalam hal akses finansial. Maka tak heran fintech menjadi seperti layaknya bintang di era industri finansial.

Ilustrasi: pymnts.com
Ilustrasi: pymnts.com
Keberadaan fintech turut berpengaruh terhadap bisnis lembaga keuangan, dengan keberadaan teknologi maka lembaga keuangan seperti halnya bank, asuransi dan perusahaan sejenis lainnya berlomba untuk mengembangkan aplikasi dan merilisnya kepada pengguna mereka. 

Dampaknya di sisi lain ternyata adalah terjadi tren pengurangan tenaga kerja dan kantor layanan konvensional secara fisik. Biaya tinggi untuk mengembangkan fintech faktanya seiring dengan berkurangnya beban operasional dari tenaga kerja dan jaringan kantor.

Boomingfintech, salah satunya melalui peer to peer lending pada tahun 2016 menyebabkan tutupnya ribuan kantor bank di Eropa. Hal ini memang menarik, walaupun sebetulnya menjadi sebuah kewajaran, karena bagi pengguna, akses layanan keuangan melalui aplikasi fintech  memang sangat praktis. Contoh negara di Eropa yang sukses mengaplikasikan layanan fintech adalah Swedia, di mana transaksi non-tunai  secara digital menjadi suatu hal lumrah.

Kondisi seperti ini memang memicu pula munculnya perusahaan rintisan yang seolah saling berlomba mengembangkan berbagai aplikasi. Seluruh dunia mengalami hal serupa, tak ketinggalan juga di Indonesia. 

Meskipun di Indonesia pangsa pasar layanan keuangan secara konvensional masih terbuka sangat luas serta transaksi tunai juga menjadi suatu aktivitas yang belum dapat tergantikan, namun Indonesia telah menjadi daya tarik bagi banyak perusahaan rintisan untuk memasarkan aplikasi mereka.

Indonesia Menjadi Daya Tarik Fintech

Indonesia memang menjadi daya tarik bagi para pengembang untuk memasarkan aplikasi fintech, karena dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, diperkirakan pada tahun 2018 pengguna smartphone  di Indonesia mencapai 100 juta jiwa. 

Jika mengacu kepada hasil penelitian dari World Bank, pada tahun 2017 jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia setidaknya berada di jumlah 52  juta jiwa, dengan sumbangsih 43% dari total konsumsi rumah tangga.

Setidaknya data di atas memberikan sedikit deskripsi betapa Indonesia memiliki peluang menjanjikan untuk perkembangan fintech. Bukankah dengan menggarap penduduk kelas menengah saja sudah sangat menjanjikan, penduduk kategori ini berada dalam tahap kemapanan yang cukup secara finansial dan menginginkan kemudahan  untuk layanan keuangan.

Ilustrasi: shutterstock
Ilustrasi: shutterstock
Jadi jangan merasa heran jika kita menemui saat ini banyak sekali tawaran dari aplikasi-aplikasi layanan keuangan. Mereka memang sengaja hadir untuk menggarap pasar yang sangat terbuka di Indonesia. 

Setidaknya pada awal tahun 2018 tercatat transaksi fintech mengalami kenaikan sebesar 38,23% atau Rp. 3,54 triliun. Jumlah yang sangat besar tentunya dan masih akan terus bertambah.

Awas Fintech Abal-abal

Pada dasarnya kehadiran fintech memang disambut antusias oleh masyarakat, juga secara langsung turut menggairahkan industri layanan keuangan tanah air, karena mau tidak mau lembaga keuangan mendapat kompetitor baru, sehingga mereka juga pada akhirnya harus menuruti tuntutan pasar. Akses keuangan untuk masyarakat menjadi lebih mudah dan upaya mengembangkan literasi keuangan yang telah digaungkan pemerintah juga ikut terdorong maju.

Perkembangan serta kemunculan banyaknya aplikasi fintech juga serta merta membawa masalah. Hal ini diakibatkan dari adanya para pengembang nakal yang menggunakan aplikasi mereka untuk mengakali para penggunanya. 

Memang banyak juga fintech yang berdiri secara resmi dan mendaftarkan lembaga mereka kepada Otoritas Jasa Keuangan, sehingga aktivitas mereka menjadi sah dan dipantau secara langsung oleh OJK. 

Tetapi tidak sedikit pula fintech abal-abal yang beroperasi, OJK menyampaikan data adanya 182 fintech bodong yang beroperasi. Jumlah tersebut adalah data yang terhimpun, dan bisa saja jumlahnya jauh lebih banyak.

Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id
Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id
Fintech abal-abal tersebut berkeliaran mengincar calon korban dengan berbagai bujuk rayu. Banyak hal ditawarkan guna menarik minat masyarakat. Cara paling mudah untuk mengidentifikasi fintech yang ditawarkan resmi atau bodong adalah:

1. Fintech terdaftar dan memiliki izin operasi dari OJK.

OJK menimbang banyak hal sebelum memberikan izin operasi, mulai dari kelayakan dan kepatutan pengurus, manajemen risiko sampai dengan keamanan sistem teknologi. Semua proses tersebut dilakukan agar masyarakat pengguna fintech dapat terjamin serta mendapatkan layanan secara legal dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Tidak mudah untuk mendapatkan izin tersebut. Dan OJK mengawasi serta menerapkan standar regulasi dengan sangat ketat untuk aktivitas keuangan di Indonesia, sehingga jika sebuah lembaga fintech memperoleh izin operasi, otomatis mereka telah berkomitmen untuk memenuhi seluruh persyaratan yang diajukan OJK.

2. Memiliki kantor resmi di Indonesia

Fintech harus memiliki kantor fisik secara resmi di Indonesia. Tujuannya selain untuk meyakinkan masyarakat, adalah agar segala proses yang harus dilakukan lebih mudah. Misalnya jika ada keluhan dari pengguna atau untuk urusan administrasi dan komunikasi. 

Segala mediasi perlu dilakukan secara jelas dan benar, sehingga jika sebuah lembaga fintech tidak memiliki kantor di Indonesia, kemungkinan besar fintech tersebut tergolong abal-abal. OJK pun mengharuskan secara mutlak bahwa fintech harus memiliki kantor resmi di Indonesia.

3. Memiliki e-mail resmi

 OJK mengidentifikasi bahwa fintech dengan izin operasional pasti memiliki e-mail resmi, tidak menggunakan e-mail dari provider gratisan.

Risiko Bertransaksi Dengan Fintech Abal-abal

Fintech abal-abal kemungkinan besar menawarkan berbagai fitur layanan yang diluar kebiasaan. Misalnya proses registrasi secara praktis, ya saking praktisnya mengabaikan prinsip kehati-hatian. 

Jika masyarakat menemukan modus ini sebaiknya waspada. Marak peer to peer lending alias modus pinjam meminjam uang secara digital yang beroperasi secara liar. 

Biasanya proses registrasi dan pencairannya berlangsung dengan sangat mudah dan cepat, mungkin hanya dengan modal KTP, dana sudah dapat dicairkan, namun hati-hati modus operandi seperti ini berlangsung layanknya praktek renternir. Peminjam uang dapat dijerat dengan bunga tinggi dan akhirnya dirugikan.

Bertransaksi dengan fintech abal-abal sangat berisiko, karena banyak potensi kerugian bagi pengguna, setidaknya ada beberapa:

1. Malware atau peretasan

Aplikasi yang ditawarkan bisa disusupi oleh virus atau malware dengan tujuan meretas akses pengguna. Ketika aplikasi diinstalasi, maka akses pengguna dikuasai oleh pihak peretas. Selanjutnya tentu saja berujung kerugian bagi pengguna.

2. Wanprestasi atau gagal bayar

Praktek peminjaman uang secara digital sangat berisiko gagal bayar. Karena tidak adanya kesepakatan antara pihak pemberi dana dan peminjam secara jelas. Risiko lain yang mengintai adalah kecurangan dari pihak fintech.

3. Penipuan

Fintech abal-abal beroperasi tanpa adanya transparansi pengelolaan dana, dalam hal ini pihak pemberi dana tidak tahu menahu metode pengelolaan dana yang disetorkan. Sehingga akhirnya tiba-tiba dana berikut fintech menghilang tanpa jejak.

4. Penyalahgunaan data pengguna

OJK sangat menekankan para pelaku di industri keuangan untuk menjaga kerahasiaan data nasabah. Namun untuk fintech tanpa izin resmi, tentunya mereka tidak akan mengikuti aturan tersebut. Mereka dapat dengan seenaknya menjual atau menyalahgunakan data penggunanya.

Ilustrasi: deccanchronicle.com
Ilustrasi: deccanchronicle.com
Pengelolaan fintech di Indonesia memang masih perlu ditingkatkan, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi OJK untuk memfasilitasi para pelaku di industri ini dengan ketentuan yang lebih mumpuni agar masyarakat dapat terjamin keamanannya dalam menggunakan aplikasi fintech. 

Di sisi lain masyarakat juga dituntut untuk kritis terhadap layanan fintech, jika dirasakan ada ketidakwajaran lebih baik tidak digunakan atau melaporkan kepada pihak berwenang seperti OJK.

***

Nostradamus (1503-1566) seorang ilmuwan serba bisa berkebangsaan Perancis yang disebut-sebut telah meramalkan banyak hal, bahkan kejadian-kejadian luar biasa di abad setelah masanya. 

Mungkin Nostradamus belum sempat meramalkan muncul era dimana fintech menjadi penggerak perubahan industri layanan keuangan, tetapi Bill Gates telah memberikan prediksi mengenai fintech.

Bill Gates menyampaikan bahwa sistem perbankan elektronik akan menjadi pilihan utama masyarakat yang tak punya rekening. "Pada 2030, dua miliar orang yang tak punya rekening bank hari ini akan menyimpan uang dan melakukan pembayaran dengan ponsel mereka." Menariknya hal itu memang telah terjadi, bahkan lebih cepat melalui adanya fintech.

Secanggih apapun aplikasi, diperlukan adanya kepedulian dan kehati-hatian dari penggunanya. Jangan sampai terlena oleh berbagai kemudahan serta kepraktisannya namun malah dirugikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun