Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan featured

Cap Go Meh untuk Keragaman dan Kebersamaan

4 Maret 2018   16:05 Diperbarui: 19 Februari 2019   14:19 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana tahun baru Imlek, bagi orang Tionghoa Cap Go Meh merupakan suatu momen yang senantiasa dirayakan pada setiap tahunnya. Karena sesungguhnya Cap Go Meh merupakan perayaan penutup dari tahun baru Imlek, yang telah menyatu dalam akar kehidupan bangsa Tionghoa dan berlangsung selama ribuan tahun. Peringatan Cap Go Meh dirayakan pada malam ke-15 menurut penanggalan tradisional Tionghoa.

Peringatan Cap Go Meh juga turut dirayakan oleh peranakan Tionghoa di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kaum peranakan Tionghoa merupakan sekelompok masyarakat yang lahir dan besar serta menjadi warga di suatu negara tetapi memiliki garis keturunan dari nenek moyang orang Tionghoa daratan.

Para kaum peranakan Tionghoa yang telah hidup dan tetap memegang budaya leluhurnya tetapi telah berinteraksi dengan lingkungan budaya di suatu negara, sehingga pada akhirnya melahirkan gaya budaya peranakan Tionghoa yang unik, dan perayaan Cap Go Meh menjadi suatu perayaan khas Tionghoa dengan memiliki unsur budaya daerah setempat. Dalam hal kuliner misalnya di Indonesia ada Lontong Cap Go Meh, kuliner ini merupakan perpaduan budaya kuliner asli Indonesia dan kuliner Tionghoa.

Pada perayaan Cap Go Meh tahun 2018, saya berkesempatan untuk menikmati nuansa kemeriahan festival Cap Go Meh di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Kawasan ini sebenarnya bukan kawasan asing bagi saya, karena setiap minggunya saya senantiasa berkunjung ke kawasan ini sebagai anggota dari sebuah Komunitas Bahasa Mandarin.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Untuk tahun 2018, puncak festival Cap Go Meh di kawasan Petak Sembilan dan sekitarnya dirayakan pada 4 Maret 2018, dengan berbagai kegiatan acara. Ada pawai budaya seperti kirab altar sembahyang dari berbagai klenteng, tarian barongsai serta naga, perlombaan Cici dan Koko, dan bazaar kuliner yang sangat beraneka ragam. Ada juga pertunjukan budaya lokal Betawi seperti ondel-ondel, tanjidor dan gambang keromong.

Sejak pagi hari kawasan Petak Sembilan sudah sangat ramai dengan berbagai persiapan. Para peserta festival sudah berkumpul dan bersiap-siap merias altar sembahyang dari setiap klenteng yang nantinya akan diarak. Altar tersebut merupakan tempat pemujaan yang dilakukan oleh umat Tri Dharma untuk berdoa dan bersembahyang kepada Sang Pencipta, sehingga memiliki nilai kesakralan dan spiritual yang sangat dijaga dan dihormati. Saya mengamati para peserta menghias seluruh altar tersebut dengan sangat cantik dan menarik. Dengan gaya khas oriental dengan ukiran naga, burung hong, dan berbagai simbol khas Tiongkok Daratan, mengingatkan saya kepada film silat mandarin yang saya gemari pula.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Lalu saya mengunjungi sebuah tempat yang menjadi salah satu ikon kawasan Petak Sembilan, yaitu Vihara Dharma Jaya Toa Se Bio. Sebuah vihara yang sudah berdiri sejak abad 16, ketika VOC berkuasa di Batavia. Vihara ini didirikan oleh kaum perantauan dari Tiongkok Daratan yang bermigrasi sebagai pekerja dan pedagang.

Di dalam area vihara para umat datang dan melakukan upacara, melantunkan doa dan pujian guna mensyukuri berkat dan kemurahan Sang Pencipta. Di sekitar vihara saya sempat berbincang dengan tokoh setempat yang cukup disegani yang sayangnya tidak bersedia difoto, namanya Koh A Liuk.  Sebagai sosok yang telah lama beraktivitas di sekitar Petak Sembilan, Koh A Liuk menceritakan, festival Cap Go Meh memang selalu dirayakan oleh masyarakat di sekitar Petak Sembilan. 

Berbagai acara memang dipersiapkan dengan melibatkan banyak unsur budaya, sehingga  perayaan Cap Go Meh menjadi bentuk keberagaman dan kekeluargaan antar golongan masyarakat di Indonesia. Beliau memperlihatkan aktivitas di vihara Toa Se Bio senantiasa terbuka bagi semua pihak, mulai dari kegiatan sosial seperti donor darah, pembagian sembako, bahkan ketika ada acara besar seperti Cap Go Meh. Dan memang ketika acara sembahyang sedang berlangsung di vihara Toa Se Bio, ternyata cukup banyak dikunjungi oleh orang lain yang bukan umat Tri Dharma, mereka datang guna menyaksikan dan menikmati kemeriahan serta keindahan vihara ini sekaligus untuk menonton pertunjukan budaya yang menjadi acara festival Cap Go Meh.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Koh A Liuk mengatakan bahwa Cap Go Meh bukan hanya milik masyarakat peranakan Tionghoa, karena kaum peranakan Tionghoa sejatinya adalah warga negara Indonesia, sehingga perayaan Cap Go Meh sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Festival ini menjadi sebuah kegiatan yang terbuka bagi semua kalangan, ada seni budaya Betawi dan Tionghoa semua berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga. 

Sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek 234, Koh A Liuk mengungkapkan bahwa selama Orde Baru berkuasa, budaya Tionghoa diredam dengan berbagai cara oleh pemerintah saat itu, tetapi hal tersebut  tidak melunturkan nasionalisme kaum peranakan Tionghoa di Indonesia. Bahkan Koh A Liuk sesumbar bahwa hanya bentuk mata sipit saja yang mencerminkan wajah selayaknya orang dari Tiongkok Daratan, tetapi dalam hati tetap menjunjung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan bendera Merah Putih. Peranakan Tionghoa adalah warga Indonesia sejati. 

Koh A Liuk yang berambut gondrong tetapi sudah beruban dengan tato macan dan naga pada bagian lengan selayaknya pendekar Shaolin yang digambarkan di cerita silat menganggap semua masyarakat di Indonesia adalah saudara, beliau mengungkapkan sebagai ahli bela diri sewaktu muda dapat dengan mudah membuat 15 orang terkapar dalam sebuah pertarungan, tetapi kini beliau menyadari kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan ternyata lebih sulit untuk merangkul 15 orang sekaligus dalam persaudaraan sejati.

Sesudah berdiskusi dengan Koh A Liuk saya pun mengintip persiapan dari peserta festival yang akan mempertunjukkan tari barongsai. Suara musik perkusi dan gembrengan terdengar dengan sangat nyaring. Dan para personel sangat sibuk mempersiapkan kostum barongsai, tak lama kemudian barongsai diarak berjalan menuju vihara Toa Se Bio.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Festival Cap Go Meh di Petak Sembilan sangat meriah, dan kegiatan seperti ini sudah sepatutnya dilestarikan. Percampuran berbagai adat istiadat dalam kehidupan masyarakat melahirkan sebuah budaya yang memiliki keunikan. Bukti bahwa Indonesia memiliki keragaman dan kekayaan budaya yang sangat bernilai tinggi. Hal ini dapat menjadi nilai jual Indonesia untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. 

Dalam industri pariwisata, keragaman budaya telah banyak dipromosikan oleh banyak negara. Jika Singapura yang sebetulnya dapat dikatakan tidak memiliki kebudayaan lokal asli, saat ini mereka bangga dengan budaya multietnis yang nota bene dibangun oleh para pendatang. Kemudian Malaysia yang sering dianggap sebagai saudara serumpun oleh Indonesia, menjual eksotisme budaya Melayu dengan campuran budaya Tionghoa dan juga India, malah seringkali terjadi kontroversi klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. 

Bagaimana dengan Indonesia, sebuah bangsa yang memiliki banyak budaya, bukankah suatu hal yang harusnya disyukuri dan dijaga? Rasanya tidak bijaksana jika kita mencampakan budaya asli namun hanya meninggikan budaya asing. Sebaiknya semua dihormati, semua dicintai dan dijaga, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang maju dan kaya dalam budaya. Hidup Indonesia Raya.

(Dokumentasi pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun