Mohon tunggu...
Andryan
Andryan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mental Plagiat, Mental Tempe

8 April 2016   17:17 Diperbarui: 8 April 2016   17:44 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desain dapat ditemui pada benda-benda di sekitar kita. Desain dapat berupa bangunan arsitektur, alat makan, pakaian, dan peralatan elektronik. Desain menurut KBBI adalah kerangka bentuk; rancangan. Sekarang desain menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia karena pada dasarnya manusia mencari hal-hal yang indah, dan desain menjadikannya demikian.

Dalam membuat sebuah desain diperlukan pengetahuan dan kemampuan desain yang cukup untuk menghasilkan sebuah desain yang baik dan dapat diterima. Hal ini yang menyebabkan sebagian orang menjadi tidak sabar dan melakukan tindak plagiarisme. Plagiarisme menurut KBBI adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta. Plagiarisme menjadi jalan tercepat yang sering ditempuh. Hasil karya yang sudah dirilis ke publik menjadi target utama plagiarisme. Entah mencomot sebagian elemen dari desain tersebut atau bahkan mengambil secara mentah-mentah desain tersebut dan mengakuinya sebagai hak milik pribadi. Ditambah lagi dengan hadirnya media digital dan internet yang mempermudah akses terhadap hasil karya desain. Belum ada undang-undang dan aturan hak cipta yang berlaku bagi konten digital yang beredar di internet. Tanpa adanya aturan yang tegas, hasil desain sangat rentan untuk dibajak.

Pembajakan konten digital sangat marak dan terjadi di belahan dunia manapun. Banyak website-website yang menyediakan konten digital berbayar dengan gratis (namun pemilik website itu sendiri mendapatkan keuntungan dari pemasangan iklan yang muncul di layar komputer pengunjung). Software, buku digital, music, video, video game, dan karya digital lainnya beredar luas tanpa harus membayar sepeserpun. DMCA (Digital Millennium Copyright Act), perlindungan konten digital Amerika Serikat, memantau dan memblokir website-website atau konten-konten yang dianggap melanggar hak cipta. Namun dalam kondisi tertentu, pemilik website dapat mengurus permasalahan ini, dan dalam beberapa kasus pemilik website tersebut menang dan konten tersebut diizinkan untuk beredar kembali. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan konten digital masih lemah dan mudah dipatahkan. Dari sekali membajak akan menjadi kebiasaan berkepanjangan yang sulit dihentikan.

 

Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah mentalitas orang yang melakukan plagiarisme. Meskipun ada aturan dan sanksi tegas, orang-orang dengan "mental tempe" akan tetap melakukan plagiarisme demi keuntungan pribadi. Perlu perombakan mental untuk mengurangi dan mencegah berlanjutnya tindak plagiarisme, terutama di Indonesia. Mentalitas sering menjadi masalah besar dalam melakukan perubahan kea rah yang lebih baik. Contoh keseharian yang dapat kita amati adalah pelanggaran lalu lintas.

Mentalitas seperti inilah yang perlu diubah. Sedangkan perubahan mental memerlukan waktu yang panjang dan berkesinambungan. Contohnya Singapura yang sekarang sudah sangat maju dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Sekitar 50 tahun yang lalu Singapura masih tampak kumuh dan kurang tertata, tampak seperti perkampungan. Pemerintahan Perdana Menteri pertama Singapura, Yee Kuan Yew, membawa Singapura menjadi negara yang sangat maju dengan sistem pemerintahan yang efektif bagi masyarakatnya.

Sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama terjadi dan terbentuknya kebiasaan plagiarisme? Ada 3 faktor besar yang membantu melahirkan tindak plagiarisme. Mari kita lihat terlebih dahulu faktor pertama.

Faktor pertama adalah kehadiran teknologi internet. Teknologi yang sekarang sudah menjadi kebutuhan masyarakat ini pertama kali digunakan sebagai teknologi militer yang kemudian dikembangkan agar dapat digunakan oleh masyarakat luas. Internet sangat membantu mencari informasi, mengirimkan data, komunikasi jarak jauh, dan fungsi lainnya. Ditambah lagi dengan semakin murahnya harga paket internet yang memungkinkan banyak orang untuk mengakses internet. Kemajuan teknologi ini ternyata memberikan dampak yang cukup buruk bagi industri kreatif modern.

Teknologi internet memungkinkan manusia untuk mengakses secara langsung konten-konten digital yang dihadirkan, baik legal maupun illegal. Hal ini tentunya merugikan bagi pihak produsen yang bersusah payah membuat dan mengeluarkan biaya yang umumnya besar. Bagaimana tidak, susah payah membuatnya, ternyata dinikmati secara gratis oleh masyarakat umum. Coba saja Anda bayangkan, Anda susah payah membuat sebuah karya yang bagus, eh malah dicuri orang tidak bertanggung jawab dan diakui sebagai hak milik pribadi. Sialnya lagi jika Anda tidak dapat membuktikan bahwa karya tersebut adalah benar milik Anda. Tentunya Anda marah besar dan menangis sampai meluapkan sungai.

 

Orang-orang tertentu memiliki keahlian dalam menyalin konten digital dari konten asli menjadi konten salinan alias bajakan. Konten bajakan ini kemudian disebarkan kepada masyarakat luas untuk mendapatkan keuntungan. Lewat manakah konten-konten bajakan ini disebar? Tentu saja melalui media internet. Lho, bukannya ada juga yang disebarkan secara fisik juga? Yang itu juga termasuk salah satu medianya. Namun sekarang yang marak digunakan adalah media internet. Cukup dengan berlangganan internet dengan kecepatan yang layak, si pembajak mampu menghasilkan keuntungan yang cukup besar, melihat internet menghubungkan semua belahan dunia. Lalu untungnya dari mana jika memasarkan lewat internet? ‘Kan rugi, tidak dibayar. Ingat bahwa ada media yang namanya iklan atau advertisement. Iklan memberikan keuntungan dengan cara dipasangkan ke halaman website yang ditampilkan pada layar komputer user. Apabila pengguna meng-klik iklan tersebut, maka pengguna akan dibawa ke halaman yang sudah disiapkan sebelumnya. Iklan ini dapat berupa halaman website tertentu, program judi, atau yang paling berbahaya website berisi malware dan virus. Dengan setiap klik ini pemilik website mendapatkan keuntungan sesuai dengan perjanjian yang sudah diikat dengan menyedia jasa iklan. Jadi penyedia sendiri diuntungkan, pemilik website diuntungkan,  dan pengguna juga mendapatkan hal yang dicari.

 

Industri kreatif tentunya sudah menggunakan media internet untuk mempublikasikan karyanya. Sebagai contoh, sebuah rumah produksi film mempublikasikan trailer filmnya ke YouTube untuk disaksikkan banyak orang dengan harapan akan banyak orang yang datang ke bioskop untuk menonton film tersebut. Sebagian orang akan dating ke bioskop, yang artinya produsen mendapatkan keuntungan. Namun sebagian orang akan dengan sabar menunggu hasil bajakan (dari kualitas rekaman kamera sampai kualitas FHD BluRay) supaya dapat menonton film tersebut dengan gratis, yang artinya produsen tidak mendapatkan keuntungan apapun. Jadi, apakah internet yang menyebabkan maraknya plagiarism? Coba kita lihat dulu 2 faktor lainnya.

Faktor kedua adalah undang-undang atau hokum yang melindungi konten digital. Konten digital sebenarnya sudah mendapatkan perlindungan dari undang-undang dan hokum, namun sepertinya hal ini masih belum efektif melihat masih maraknya pembajakan dan seperti tidak dapat dihentikan. Terdapat beberapa kasus di mana DMCA, peraturan perlindungan untuk konten digital di Amerika, memblokir website-website tertentu yang dianggap telah menyebarkan konten digital secara ilegal. Namun hal ini tampak kurang efektif, karena seringkali masalah tersebut diurus oleh pihak yang bersangkutan dan akhirnya website tersebut diizinkan untuk kembali beroperasi seperti normal. Akibatnya, pembajakan terus berlanjut dan menjadi sebuah bentuk kebiasaan.

Undang-undang masih belum mampu melindungi konten digital dengan baik. Sebuah bentuk prevensi plagiarisme yang umum digunakan adalah watermark. Watermark memberikan tulisan tertentu di atas karya yang menjadikan karya sulit untuk ditiru secara keseluruhan. Namun dalam kondisi tertentu, watermark ini masih dapat dihilangkan dengan rapi. Watermark akan lebih efektif untuk konten digital (gambar) yang memiliki warna yang sangat beragam, karena dengan demikian akan lebih sulit untuk dihilangkan tanpa memberikan noda yang tampak aneh pada karya.

Meskipun demikian, masih diperlukan sebuah bentuk perlindungan untuk konten digital yang tersusun dengan baik untuk mempertegas kekuatan hokum dalam media digital. Tanpa adanya hukum, para desainer seperti “ditelanjangi” di depan umum, tanpa adanya “pakaian” yang melindungi mereka di tengah badai plagiarisme. Para seniman dan desainer membutuhkan kepastian hokum agar dapat berkarya dalam ketenangan.

Faktor ketiga adalah mentalitas orang yang melakukan plagiarisme. Mentalitas perlu dirombak, seperti program Revolusi Mental yang dulu sempat dicanangkan oleh Pak Jokowi. Memang hampir semua permaaslahan yang timbul, terutama di Indonesia, berasal dari mentalitas yang lemah dan kurang sadar dengan nilai dan norma masyarakat. Orang-orang bermental lemah, alias mental tempe, adalah orang-orang yang biasanya suka dengan kepraktisan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mau kaya? Korupsi. Mau nilai bagus? Nyontek. Mau dapat posisi strategis? 

Nyuap aja. hal-hal seperti kerap terjadi di Indonesia, sehingga tidak heran bahwa Indonesia menduduki posisi tinggi dalam hal korupsi. Apa ini efek kebanyakan makan mie instan ya? Yang pasti, semua ini adalah permasalahan mentalitas. Contoh sana contoh sini, jiplak sana jiplak sini. Yang penting hasil bagus, dapat keuntungan. Tidak perllu memeikirkan nasib orang yang membuat dengan susah payah. Seandainya saja posisi penjiplak dengan pembuat dapat ditukar, barulah terasa bagaimana sengsaranya.

Banyak orang yang hanya mau untung namun tidak mau merugi. Ya, memang sudah sewajarnya bila manusia selalu berorientasi atau mengincar keuntungan. Namun coba saja Anda pikirkan, apa sih hal yang menguntungkan namun tidak ada ruginya? Tentunya tidak ada, karena jika ingin untung maka Anda “harus” rugi, sedikit atau banyak. Yang penting tidak tekor sudah bagus. Tetapi yang namanya manusia pasti ada yang murni hanya mengejar keuntungan. Orang-orang bermental lemah akan selalu memikirkan keuntungan-keuntungan tanpa mempertimbangkan kerugian yang diimbulkan, terutama bagi orang lain. Akibatnya keuntungan justru beralih kepada orang kurang bertanggungjawab yang sudah ”mencuri”nya dari pembuat sesungguhnya.

Dari ketiga factor tersebut, faktor manakah yang menjadi akar utama dari masalah plagiarisme? Internet menyediakan beragam fitur dan fasilitas untuk memasarkan produk-produk yang ingin kita hadirkan kepada pengguna. Namun ternyata plagiarisme secara digital buka satu-satunya jalan. Plagiarisme secara fisik pun sering terjadi, dan sangat sering ditemukan di pasar-pasar yang menjual produk-produk tiruan.

Undang-undang dan aturan-aturan yang kurang jelas mengatur peredaran media digital memperparah tindak plagiarisme. Namun DMCA pun tampaknya masih belum bisa melindungi media digital. Dan semua kembali kepada mentalitas tiap orang yang melakukan plagiarisme. Toh, meskipun media internet hilang dan aturan-aturan tegas ditegakkan, orang-orang tertentu akan berusaha mencari cara untuk melakukan plagiarisme. Karena memang seperti itulah manusia, akan selalu mencari jalan untuk melalukan sesuatu, baik maupun buruk. Mentalitas adalah inti dari permasalahan utama yang perlu diperbaiki, demi kemajuan pribadi, bersama, maupun bagi Negara Indonesia sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun